Episode 8

1997 Words
Vanya sudah sampai di kantornya lebih awal dari biasanya karena ada beberapa hal yang harus ia urus secepatnya. Jujur saja, sampai sekarang Vanya masih memikirkan kata-kata Devan di pantai dua hari yang lalu. Devan menyukainya ya? Tanpa sadar Vanya tersenyum tipis, namun tiba-tiba seseorang mengejutkannya, "Ve!" "Feli! Kau mengejutkanku." Feli duduk di kursi sebelahnya, tempat kerjanya, "Lagian kau melamun, ada apa? Kau memikirkan Devan ya?" Vanya menganggukkan kepalanya, bohong jika Vanya mengatakan kalo dia sedang tidak memikirkan Devan, "Ya, aku masih ragu kalau Devan benar-benar menyukaiku." "Memangnya apa yang membuatmu ragu soal perasaan Devan padamu?" Vanya termenung, apa yang Devan lakukan dulu pada Vanya membuat Vanya ragu. Vanya pikir, Devan tidak benar-benar menyukainya karena Devan mengenal Vanya baru beberapa hari, walaupun dulu mereka dekat tapi Devan tidak tau kalau Vanya adalah Vanya yang dulu menjadi mainannya dengan teman-temannya. "Aku tidak tau apa Devan mengatakan hal itu pada perempuan lain atau tidak. Karena mungkin bukan aku saja yang dekat dengan Devan, mungkin saja ada banyak perempuan lain di luar sana." Masa lalunya membuat Vanya berpikir kalau Devan hanya bermain-main dengan perempuan, tidak pernah serius. "Kalau begitu, kau hanya perlu pura-pura saja kalau kau percaya padanya. Kenapa kau kelihatan bingung, bukannya itu bagus untuk rencana mu? Ya. Feli benar, Vanya juga bingung kenapa dia terlalu memikirkan itu. Harusnya Vanya mengikuti alurnya, bukan banyak berpikir seperti ini. Apapun yang Devan katakan, anggap saja itu hanya masalah biasa. "Baiklah, aku tidak akan memikirkan itu lagi." Vanya kembali melanjutkan pekerjaannya, namun ia kembali memikirkan masalah orang tuanya. Dari mana dia mendapatkan uang 2 milyar? Semakin hari bunga semakin bertambah, kalau Vanya tidak segera melunasi, keluarganya akan ada dalam masalah besar. Rentenir itu pasti tidak akan berhenti untuk membuat keluarganya dalam kesusahan. "Fel, sepertinya aku akan mencari kerja tambahan." "Kerja tambahan?" "Ya, kau tau kan berapa banyak hutang keluargaku? Gaji di sini tidak akan cukup, jadi aku akan berusaha untuk mencari kerja tambahan." Feli juga ingin sekali membantu Vanya, tapi sayangnya Feli juga bukan berasal dari keluarga yang mampu, dia pun bekerja keras untuk keluarganya di kampung. Feli menyimpan uang gaji sedikit di sini, dan sisanya ia kirimkan untuk keluarganya. Ayah Feli sudah meninggal, sedangkan Feli juga memiliki 3 orang adik. Ibu Feli hanya penjual kue, itu lah kenapa Feli bekerja keras untuk memantu perekonomian keluarganya. "Ve, aku minta maaf karena tidak bisa membantumu, tapi kau jangan khawatir, aku akan membantumu mencarikan pekerjaan tambahan yang sesuai untukmu." Vanya menggelengkan kepalanya, dia tidak keberatan jika Feli tidak membantunya karena Vanya pun tau bagaimana kondisi keluarga Feli. Cukup Feli ada untuknya dan memberikannya semangat, itu sudah cukup. "Jangan minta maaf, aku tau kalau kau juga membutuhkan uang untuk keluargamu. Tapi kalau kau mau membantu ku mencari kerja tambahan, dengan senang hati aku menerima bantuan mu." "Siapa yang mau mencari kerja tambahan?" Seseorang di belakangnya membuat Vanya dan Feli tersentak kaget. Devan, laki-laki kini tepat di belakang mereka berdua dengan satu tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Vanya menoleh ke belakang, "Pak Devan?" Feli menciut, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Vanya, dia masih speechless karena kehadiran Devan. "Anastasia, kau ke ruangan ku sekarang." Perintah Devan, tanpa menunggu jawaban Vanya, dia kembali ke ruangannya. Vanya menghela nafas, dia kemudian melakukan apa yang Devan perintahkan padanya. Sesampainya di ruangan Devan, Vanya berdiri di depan meja dengan kepala menunduk. "Duduk." Ucap Devan tegas. Vanya mengangguk, lalu duduk di kursi depan Devan. Vanya mencoba untuk menenangkan dirinya agar tidak gugup. Jujur saja, Vanya belum sepenuhnya berani saat di depan Devan. Walaupun dia berniat untuk balas dendam, tapi entah kenapa Vanya belum seberani itu untuk bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu dia antara mereka berdua. Kalau kata Feli, nyali Vanya masih ciut untuk membalaskan dendamnya. Vanya mendongak, "Kenapa bapak memanggil saya?" "Sebentar lagi, perusahaan ini akan ada proyek besar, dan saya sedang membutuhkan sekretaris untuk membantu saya mengurus semuanya." Devan berkata terus terang. Vanya mengangguk, "Bapak mau saya mencarikan sekretaris untuk bapak?" "Tidak." Devan menatap Vanya datar. "Lalu, kenapa bapak memanggil saya ke ruangan bapak?" "Coba kau berdiri." Perintah Devan kini membuat Vanya semakin bingung, sebenarnya apa yang Devan inginkan. Tadi menyuruhnya duduk, tapi sekarang malah menyuruhnya berdiri. Aneh. Vanya mengikuti perintah Devan, dia lantas berdiri sesuai apa yang Devan perintahkan. Devan menarik sudut bibirnya, dia melihat penampilan Vanya dari atas sampai bawah, tidak buruk. "Saya ingin kau menjadi sekretaris saya." "Hah?!!" Vanya menutup mulutnya karena saking kagetnya sampai berteriak begitu keras. Sungguh, Vanya tidak menyangka kalau Devan akan menjadikan Vanya sebagai sekretarisnya. "Maksud bapak, saya jadi sekretaris bapak?" "Sudah jelas kan, kalau saya ingin kau menjadi sekretaris saya." "Tapi kenapa saya pak?" Tanya Vanya yang masih terlihat bingung. "Kau mempunyai semua kriteria menjadi sekretaris. Itu kenapa saya ingin kau yang menjadi sekretaris saya." Bukan tanpa alasan Devan ingin menjadikan Vanya sebagai sekretarisnya, seperti yang Devan katakan barusan kalau Vanya memenuhi kriteria untuk menjadi sekretaris. Devan sudah mencari tau bagaimana kinerja Vanya selama bekerja di perusahaan. Vanya termasuk karyawan yang disiplin. Devan sangat menyukai orang yang disiplin, terutama disiplin waktu. Devan tidak suka orang yang terlambat kerja walaupun satu detik saja. Rajin dan pintar. Vanya selalu mengerjakan segala macam kerjaan dengan sangat baik. Vanya tidak pernah menunda-nunda pekerjaan, dia rela pulang malam agar pekerjaannya selesai hari itu juga. Dan terakhir Vanya juga mempunyai kinerja yang sangat bagus untuk perusahaan. Selain itu, Vanya mempunyai komunikasi yang baik dan kerjasama tim yang baik. "Boleh saya memikirkannya dulu pak?" "Silahkan. Saya memberimu waktu 1 hari untuk berpikir karena saya tidak punya waktu lebih. Proyek ini akan segera dilaksanakan." Vanya mengangguk, walaupun satu hari menurut Vanya tidak cukup, tapi dia harus bisa memikirkan dengan matang-matang. "Kalau begitu, boleh saya pamit keluar?" Devan mengangguk. Vanya berdiri dan berpamitan, lalu dia berjalan keluar dari ruangan Devan. Devan tersenyum tipis, selain alasan Vanya memenuhi kualifikasi sebagai sekretaris, Devan juga ingin melihat Vanya bekerja dari dekat. Devan bisa mengawasi Vanya dari dekat juga. Entah apa yang membuat Devan melakukan itu selain memang karena ada proyek besar, tapi intinya Devan ingin terus dekat dengan Vanya. Mengingat kemarin saat keluarganya makan malam bersama keluarga tunangannya membuat Devan muak. Jadi kemarin malam, keluarga mereka membahas mengenai pertunangan kedua anaknya. Leila ingin pernikahannya dengan Devan di percepat, tapi sayangnya Devan tidak bisa berbuat apa-apa karena semua orang tuanya yang sudah mengatur. Seperti apa yang Devan pikirkan, kalau acara makan malam itu memang bukan acara biasa, pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Devan masih mempunyai waktu untuk membuat pernikahan itu tidak terjadi. Karena Devan tidak ingin menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak dia cintai. ****** Vanya dan Feli sampai di kontrakan hampir Maghrib. Rasanya lelah karena bekerja seharian, tapi rasa lelah hilang karena tergantikan dengan kehadiran kedua orang tuanya. Kalau biasanya selepas kerja Vanya akan mencari makan di luar, tapi kali ini saat Vanya pulang, semua makanan sudah tersaji di meja. Ibunya yang memasak, dia begitu merindukan masakan ibunya ini. Saat Vanya selesai mandi, dia kembali terlihat segar. Vanya keluar dari kamar dan menghampiri kedua orang tuanya yang sedang menunggunya untuk makan malam. "Mama masak apa hari ini?" Ucap Vanya duduk di lantai. Mereka memang makan tanpa kursi dan meja seperti apa yang mereka lakukan saat makan bersama di kampung. Suasana seperti itu yang Vanya inginkan, dia jadi teringat dengan rumahnya di kampung. "Mama masak ikan goreng, sambal, dan lalapan." Persis seperti dulu, makanan seperti itu sudah cukup untuk keluarganya. Walaupun sangat sederhana, tapi yang penting adalah kebersamaan mereka. "Feli mana?" Tanya Ayah Vanya. "Dia masih di kamar, nanti dia akan menyusul." Dan tak lama kemudian, Feli muncul dari arah kamar. Dia bergabung duduk di lantai bersama Vanya dan kedua orang tuanya. "Whoa, seperti biasa masakan tante terlihat sangat lezat." Puji Vanya. "Ayo makan, kalian pasti sangat lapar karena kerja seharian bukan?" Ibu Vanya mengambilkan nasi dan lauk untuk Vanya dan Feli. Feli tersenyum melihat kedua orang tua Vanya yang sangat baik dan perhatian padanya. Feli jadi merindukan Ibu dan adik-adiknya di kampung, sudah lama sekali Feli tidak bertemu dengan mereka. Tak terasa air mata Feli jatuh, Ibu Vanya melihatnya, "Fel, kau menangis?" Feli menggeleng, "Feli hanya merindukan Ibu dan adik-adik Feli di kampung." Vanya menatap melas sahabatnya itu, "Suatu saat kita pasti bisa pulang ke kampung Fel." "Kau bisa menganggap kami keluarga, karena Tante dan Om juga sudah menganggap Feli sebagai anak kami." Feli mengangguk, dia bahagia sekaligus terharu. Beruntung mempunyai sahabat seperti Vanya karena mempunyai keluarga yang menyayangi Feli seperti anaknya sendiri. "Ayo makan, makan yang banyak." Mereka kemudian melanjutkan acara makan malam. Setelah selesai makan, Vanya duduk di teras rumah. Dia kembali memikirkan tawaran Devan untuk menjadi sekretarisnya. Vanya sama sekali tidak tau bagaimana harus menjadi sekretaris karena Vanya tidak mempunyai pengalaman menjadi sekretaris. Vanya hanya pegawai kantor biasa, apa dia bisa menjalankan tugas sebagai sekretaris? Feli datang dan duduk di samping Vanya, "Kau memikirkan Devan lagi atau memikirkan soal pekerjaan tambahan?" "Devan ingin aku menjadi sekretarisnya." Feli mengernyitkan dahinya, "Devan ingin kau menjadi sekretarisnya?" "Ya, dia memberiku waktu satu hari untuk memikirkannya. Tapi aku bingung harus bagaimana." Feli menepuk bahu Vanya, "Apa yang kau bingung kan hah? Kau terima saja." Vanya berdecak, "Kau gila! Mana bisa aku menjadi sekretaris? Kau tau kalau aku hanya karyawan biasa, aku tidak tau tugas sekretaris seperti apa." "Hei, kalau kau menjadi sekretaris Devan, itu artinya kalian semakin dekat. Kau bisa memanfaatkan itu untuk mendekati Devan dan membuat Devan semakin tertarik padamu. Bukannya Devan sudah bilang kalau di menyukaimu kan? Kau tinggal memanfaatkan itu." Vanya tampak berfikir keras, dia langsung menghadap Feli dengan semangat, "Kau benar Fel! Masalah tugas sekretaris dan segala t***k bengek nya aku pasti bisa mengatasinya." Vanya tersenyum miring, kenapa dia tidak berpikiran sampai kesitu? Vanya pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Devan menyukainya kan? Kali ini Vanya tidak hanya akan membuat Devan menyukainya, tapi Vanya akan membuat Devan mencintainya. Vanya menyeringai, Devan Gunawan, kali ini dia yang akan bertekuk lutut padanya, mengharapakan cinta darinya sampai akhirnya dia menjadi gila karena mencintainya. ****** Keesokan harinya, Vanya sudah siap datang ke ruangan Devan untuk memberikan jawaban perihal menjadi sekretaris. Sebelum mengetuk pintu, Vanya menghela nafas. Tok tok tok. "Masuk." Suara Devan dari dalam sana. Vanya mendorong pintu, dia masuk ke dalam. Di sana, Devan tengah duduk menghadapnya. Vanya berjalan, sampai di depan meja, dia berhenti. Tanpa suara, Devan menyuruh Vanya untuk duduk. Vanya mengangguk, lalu duduk tepat di depan Devan. "Kau sudah memikirkan semuanya?" "Sudah pak. Saya menerima tawaran bapak untuk menjadi sekretaris bapak." Devan menarik salah satu sudut bibirnya, seperti dugaannya, Vanya pasti tidak akan menolak, "Jawaban yang bagus, kau bisa bekerja sebagai sekretaris saya besok." "Besok pak?" Vanya terkejut, Vanya pikir tidak secepat itu untuk menjadi sekretaris Devan. Karena yang Vanya tau, proyek besar itu masih belum mulai. "Ya, ada masalah?" "Tidak pak." Vanya menggelengkan kepalanya. "Nanti siang, saya akan mengajakmu makan siang." Vanya tidak tau apa itu kata perintah atau kata ajakan. Karena Devan tidak bertanya apa Vanya mau atau tidak, terdengar seperti kata perintah kalau seperti itu. Vanya akhirnya mengangguk saja. "Kalau begitu, saya pamit keluar pak." "Silahkan." Vanya berdiri dan pergi meninggalkan ruangan Devan. Devan tersenyum, tiba-tiba moodnya menjadi lebih baik karena Vanya menerima tawaran untuk menjadi sekretarisnya. Tak selang lama, seseorang kembali membuka pintu ruangannya. Menampilkan seorang perempuan yang berpakaian seksi berwarna hitam yang datang menemuinya. Devan menghela nafas, "Untuk apa kau kesini? Kalau kau ingin membahas soal pernikahan kita, aku tidak ada waktu." Leila tersenyum walaupun Devan berkata seperti itu, "Aku kesini untuk mengajakmu makan siang Dev." "Tidak bisa, aku sudah ada janji untuk makan siang dengan klien." "Siapa? Dia perempuan atau laki-laki?" Devan menggelengkan kepalanya, dia tidak perduli dengan pertanyaan perempuan itu. Devan berdiri, sedangkan Leila menahan tangannya, "Kau mau kemana?" Devan melepaskan tangan Leila, "Aku ada rapat, kau bisa pulang sekarang." "Oke, aku akan me-" "Kau tidak perlu menungguku karena aku akan sangat lama." Devan memotong kata-kata Leila karena dia tau Leila pasti akan menunggunya seperti biasa. Tapi sayangnya Devan tidak ingin melihat Leila berada di kantornya. Devan pergi dari ruangannya, membuat Leila mengeluh kesal. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD