Episode 7

2000 Words
Devan senyum-senyum saat dia masuk ke dalam rumahnya, wajahnya terlihat cerah entah kenapa setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu bersama Vanya. Saat melewati ruang tamu, senyumnya menghilang kala dia melihat sosok perempuan yang selalu mengganggu hidupnya, siapa lagi kalau bukan tunangannya sendiri. Leila kembali ke rumah Devan karena dia tidak tau kemana dia harus pergi mencari Devan. Akhirnya Leila memutuskan untuk menunggu Devan dia rumah Devan sendiri. Leila tersenyum saat dia melihat Devan sudah pulang. Namun sayangnya laki-laki itu bukannya menyapanya tapi malah melewatinya begitu saja. Leila berjalan menghampiri Devan yang hendak menaiki tangga menuju kamarnya, "Devan! Kau dari mana saja?" "Aku lelah, sebaiknya kau pulang." Leila menatap Devan dengan kesal, alih-alih menjawab pertanyaannya, Devan malah menyuruhnya pulang. Dengan kata lain, Devan mengusirnya. Leila menarik tangan Devan, dia tidak akan pulang begitu saja. Hei, Leila sudah menunggu Devan 2 jam lebih, tidak mungkin Leila pulang tanpa mendapatkan apa-apa, "Aku ingin berbicara denganmu." "Sudah ku katakan, aku lelah. Aku ingin istirahat, besok saja kita berbicara." "Devan! Aku hanya ingin tau kau dari mana. Kenapa susah sekali kau menjawabnya. Atau kau pergi dengan perempuan lain? Iya kan?!" Devan menghela nafas berat, selain cerewet dan manja, Leila juga selalu bersikap over posesif padanya, itu yang membuat Devan malas bertemu dengan perempuan itu. Percuma Leila bertanya seperti itu karena Devan tidak akan memberitahu siapapun soal kencan dengan Vanya hari ini. Devan paham betul bagaimana sifat Leila, karena kecemburuannya itu dia selalu mengacaukan hidup perempuan yang dekat dengan Devan. Kali ini Devan tidak akan membiarkan Vanya yang menjadi korban. "Aku pergi dengan teman-temanku. Kau puas kan?" Devan melangkahkan satu kakinya pada pijakan tangga, namun Leila kembali mencegahnya lagi, "Tunggu! aku masih belum selesai berbicara denganmu Dev." "Apa lagi? Aku sudah menjawab pertanyaan mu tadi. Sekarang aku mau istirahat, kau pulang saja." Leila menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku kesini bukan hanya untuk menanyakan itu saja." "Papa mengundang keluargamu untuk makan malam bersama, kau mau kan?" Devan mengiyakan, lagipula Devan tidak mungkin menolaknya kan? Kalau mau, Devan lebih memilih tinggal di rumah saja. "Kau bisa pergi sekarang?" Devan mengusirnya secara halus. Leila akhirnya mengangguk. Devan menaikkan salah satu sudut bibirnya karena akhirnya Leila pergi dari rumahnya. Devan kembali melanjutkan jalannya menuju kamarnya. Devan membuka pintu kamarnya. Kamarnya yang luas, tempat tidur yang besar berwarna putih yang bisa menampung 4 sampai 5 orang untuk tidur disana. Dinding yang berwarna cokelat tua. Terdapat satu set sofa dan televisi besar di sana. Jendela kaca yang besar membuat siapapun bisa melihat bangunan-bangunan kokoh dari atas kamar. Kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya pun juga luas yang di lengkapi dengan walk in closed. Devan berdiri di dekat jendela kaca, pikirannya tertuju pada saat dia dan Vanya pergi berkencan. Vanya mungkin tidak menganggapnya berkencan, tapi menurut Devan ini pertama kali di dalam hidupnya, Devan berkencan dengan perempuan. Devan memang kerap pergi dengan Leila, tapi dia tidak pernah menganggapnya kencan karena Devan tidak pernah menginginkan itu terjadi. Leila yang memaksanya, begitupun dengan orang tuanya. Ingatan Devan kembali pada kejadian baru saja, ayah Leila mengundang keluarganya untuk makan malam di rumah mereka. Devan merasa sesuatu akan terjadi, keluarga Leila pasti mengundangnya bukan perihal biasa tapi karena ada maksud lain. ****** "Sekarang, kau ceritakan padaku. Kemana kau dan Devan pergi, hm?" "Pantai." "Pantai?" Tanya Feli memastikan. "He'em, dan kau tau apa yang terjadi disana?" Vanya tersenyum miring, dia kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu saat Devan mengajaknya pergi ke pantai. Flashback. Pertama kali Vanya menginjakkan kakinya di pasir pantai. Vanya tidak bohong, dia memang baru pertama kali pergi ke pantai. Devan adalah orang pertama yang membuat Vanya merasakan betapa indahnya pantai yang luas di depannya itu. Belum lagi udara yang segar membuat Vanya lebih menikmati hidupnya yang begitu-begitu saja. "Kau tau? Ini pertama kalinya aku pergi ke pantai." Vanya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a sembari menatap ombak di depannya. Rambutnya yang di gerai, membuat sang pemilik rambut berulang kali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga karena terkena terpaan angin pantai. Devan menoleh ke samping, Devan terpana ketika melihat Vanya dari arah samping. Perempuan itu terlihat sangat cantik, di lihat dari sudut manapun. Devan benar-benar mengagumi perempuan di sampingnya itu. Devan kemudian tersenyum tipis, "Oh ya? Jadi, apa aku orang pertama yang membawamu kesini?" Vanya mengangguk-anggukan kepalanya,"Ya. Kau orang pertama." Devan merasa bahagia karena dialah orang pertama yang mengajak Vanya pergi ke pantai, "Tapi, sahabatmu yang bernama Leon itu, apa dia tidak pernah mengajakmu kesini?" "Aku sudah bilang, kalau kau yang pertama. Itu berarti Leon atau siapapun itu tidak pernah membawaku kesini." Vanya yang tadinya menatap ke depan, kini beralih menatap Devan. Mereka saling menatap satu sama lain, entah apa arti tatapan itu tapi tatapan mereka terasa berbeda seperti sebelum-sebelumnya, "Kau benar-benar orang pertama yang membawaku kesini Dev, aku mengatakan yang sejujurnya." Devan terdiam, dia merasa sesuatu bergejolak di hatinya saat Vanya mengatakan itu. Tatapan Vanya seolah menghipnotis dirinya, Devan bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya detak jantungnya yang kini berdetak lebih cepat. Devan tersenyum, kali ini bukan senyum tipis andalannya, tapi senyum lebar yang membuat Vanya terpesona begitu saja. Devan menyelipkan helai rambut Vanya ke telinga, "Kau juga orang pertama yang aku ajak ke pantai." Devan juga tidak berbohong, dia tidak pernah mengajak perempuan manapun pergi ke pantai sekalipun itu Leila. Karena mereka tidak pernah pergi kemanapun selain ke mall. Leila sangat gila belanja, kapanpun Leila ingin berbelanja, Devan harus menjadi orang yang menemaninya. Jujur saja, Devan tidak betah berada di mall. Dia harus mengikuti setiap langkah Leila, dia bosan harus menunggu Leila berlama-lama kalau sedang belanja. Vanya yang tadinya hampir terbawa suasana, dia mengedipkan matanya mencoba untuk bersikap biasa saja "Aku percaya." "Baguslah. Karena aku pun berkata sejujurnya padamu." Vanya kembali menatap ke depan, jujur saja Vanya tidak nyaman berada di situasi dimana dia dan Devan bertatap-tatapan seperti tadi. Makanya Vanya mengalihkan pandangannya ke depan, "Laki-laki sepertimu pasti lebih suka pergi ke mall bersama tunanganmu atau tidak pergi ke bar untuk bersenang-senang. Tidak mungkin pergi ke pantai yang tidak ada apa-apanya. Iya kan?" Vanya menarik sudut bibirnya ke atas, tebakannya mungkin benar karena laki-laki seperti Devan pasti tidak akan membuang waktunya untuk pergi ke tempat seperti ini. Devan mungkin lebih suka menghabiskan uang untuk pergi belanja dengan tunangannya, atau mungkin pergi ke pub, dimana dia bisa bersenang-senang dan menghibur dirinya dengan mabuk-mabukan. Devan menyentuh lengan Vanya, agar Vanya menghadapnya. Vanya benar, dia memang selalu pergi ke mall dengan Leila, tapi kalau pergi ke pub, Vanya salah besar. Devan tidak pernah pergi ke tempat seperti itu. Dia tidak suka mencium bau alkohol, menghisap asap rokok, apalagi bermain-main dengan perempuan di sana. "Kau salah Vanya. Aku sama sekali tidak pernah pergi ke bar." Vanya lagi-lagi terdiam, tatapan Devan benar-benar membuatnya mati kutu. "Mungkin kau mengira kalau laki-laki sepertiku dengan sangat mudahnya menghabiskan uang untuk bersenang-senang ke bar dan bermain-main dengan perempuan di sana, tapi satu hal yang harus kau tau. Aku tidak pernah bermain-main dengan perempuan manapun. Tidak ada satu orang pun perempuan yang membuatku merasa kalau aku menyukainya." Jeda. "Kau perempuan pertama Vanya. Perempuan pertama yang membuatku selalu memikirkan mu saat kau tidak ada di dekatku, membuatku merasa hidupku lebih berarti setelah sekian lama hidupku tidak pernah bahagia karena perjodohan konyol itu." Vanya speechless. Sungguh kata-kata yang membuat wanita manapun tercengang mendengarkan kata-kata yang terlontar dari mulut Devan. Vanya sampai tidak tau harus bagaimana, tubuhnya lemas dan mulutnya terasa kaku untuk mengatakan sesuatu. Tapi Vanya tidak bisa membiarkan hatinya terlena hanya karena kata-kata manis Devan. Dulu pun Devan berkata-kata manis di depannya, tapi pada akhirnya semua itu hanya pura-pura. "Devan, aku minta maaf karena sudah menuduh mu. Aku hanya-" Devan menyentuh bibir Vanya dengan hari telunjuknya, "Tidak apa-apa, wajar kalau berfikir seperti itu." Mungkin bukan Vanya saja yang berpikiran seperti itu, orang lain pun akan berpikir sama mengingat Devan itu pengusaha muda yang sangat kaya raya. Gosip-gosip banyak pengusaha kaya yang bermain-main dengan wanita pun bukan rahasia umum lagi. Dan Vanya berpikir kalau Devan salah satunya, tapi ternyata tidak. Devan memegang tangan Vanya, "Vanya Anastasia, aku tau ini mungkin terlalu cepat mengingat kita mengenal belum lama. Tapi aku tidak mau memendam semuanya lebih lama lagi. Aku tau kalau kau mungkin tidak percaya dengan apa yang akan aku katakan sekarang, tapi kau harus tau kalau aku mengatakan itu tulus dari hatiku yang paling dalam." Dag dig dug, dag dig dug, sekiranya seperti itu suara detak jantung Vanya saat ini. Devan sepertinya akan mengatakan hal yang serius. Tuhan, ingatkan Vanya agar cepat sadar kalau ini hanya rencananya saja, dia tidak boleh percaya dan terlena dengan sikap romantis Devan. "Aku menyukaimu." Vanya ternganga, katakan padanya kalau ini memang kenyataan. Ini Devan sedang menembaknya atau dia hanya mengatakannya saja? Tapi Devan mengatakan kalau dia menyukainya. Menyukai bukan berarti mencintai kan? Flashback off. "Lalu apa yang kau katakan padanya?" Vanya mencoba mengingat kembali. Vanya tidak menjawabnya karena saat itu ponsel Devan berbunyi dan dia pergi sebentar untuk mengangkat telepon. "Ini awal yang bagus Fel. Devan sudah mulai menyukaiku, sewaktu-waktu mungkin bisa saja dia mencintaiku." Pesona Vanya memang tidak bisa diragukan lagi. Terbukti banyak laki-laki yang ingin menjadi kekasihnya. Mereka bahkan ada yang ingin membelikan Vanya apartemen dan mobil mewah, tapi sayangnya Vanya tidak menginginkan itu semua. Kebanyakan dari mereka sudah mempunyai istri dan juga anak. Ada juga yang masih bujangan, tapi di lihat dari tampangnya saja, mereka bukan laki-laki yang baik. Kalau Vanya bisa memikat banyak laki-laki, Vanya pasti bisa memikat hati Devan. "Tapi kau juga harus hati-hati, jangan sampai kau sendiri yang tergila-gila padanya. Kau tau kan kalau Devan yang sudah membuatmu seperti ini." Vanya mengangguk dengan sorot mata tajam, "Kau tenang saja, aku tidak akan jatuh di lubang yang sama." "Vanya." Suara lembut itu menyapanya. Ibu Vanya datang bersama suaminya yang tak lain adalah ayah Vanya. "Mama, ayah." Kedua orang tua Vanya ikut duduk di di lantai. Mereka ingin membicarakan alasan mereka menyusul Vanya ke Jakarta. "Vanya, ada hal yang ingin mama dan ayah bicarakan padamu." "Apa?" "Ini soal alasan kenapa mama sama ayah menyusul kamu kesini." Vanya ingat, kalau orang tuanya akan menceritakan perihal tersebut. Vanya juga penasaran karena orang tuanya pun mendadak ke Jakarta. Ibu Vanya menatap suaminya, suaminya mengangguk memberi kode agar istrinya itu bisa mengatakannya sekarang. "Mama sama ayah kesini karena kami terus di kejar rentenir nak." "Jadi kalian kesini untuk bersembunyi?" "Iya. Kita tidak tau harus kemana lagi. Jadi kita memutuskan untuk menyusul kau di Jakarta. Ayah juga sudah meminta Bu Darsih - tetangga - untuk menjaga rumah dan mengatakan kalau kita sudah tidak tinggal di sana lagi." Orang tua Vanya memilih untuk menyusul anaknya ke Jakarta hanya untuk sementara sampai mereka menemukan cara bagaimana mendapatkan uang yang banyak agar bisa melunasi hutang-hutangnya. Vanya sendiri juga kaget, dia tau kalau hutang kelurganya sangat banyak. Bahkan gaji Vanya selama setahun tidak bisa menutup semua hutang-hutangnya. Orang tuanya berhutang untuk Vanya agar bisa bersekolah dan kuliah. Belum lagi untuk biaya operasi ayahnya dulu saat patah tulang. Sebenarnya tidak sebanyak sekarang, kebanyakan itu dari bunga-bunga yang terkumpul karena kadang orang tua Vanya tidak membayar tepat waktu. Itu resiko karena berhutang pada rentenir. Jumlah bunganya bahkan lebih banyak dari pada jumlah hutangnya. "Tapi bagaimana kita mendapatkan uang sebanyak itu ma? Gaji Vanya selama setahun pun juga tidak akan cukup." "Maaf om, tante kalau Feli lancang. Kalau boleh Feli tau, berapa jumlah hutangnya? Kenapa kalian sampai bersembunyi ke sini." "2 milyar." Ucap Vanya dan kedua orangtuanya bersamaan. Seketika Feli ingin pingsan saat itu juga. Uang sebanyak itu, tidak mudah untuk mendapatkannya. Pantas, Feli terkadang heran, Vanya sudah bekerja selama 2 tahun di Jakarta, dan dia juga setiap bulan mengirimi setengah gajinya untuk orang tuanya. Tapi belum lunas juga. Rupanya 2 milyar?! Vanya hanya memikirkan satu orang yang mungkin bisa untuk membantunya. Tapi Vanya tidak yakin untuk berbicara padanya. Vanya tidak mau dia berurusan dengan keluarganya. Bagaimana mungkin Vanya bisa mendapatkan uang 2 milyar dalam sekejap?!! *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD