Episode 3

1962 Words
Vanya sudah rapi dengan setelan kerjanya, namun dia melihat Feli yang masih tidur. Vanya duduk di sisi ranjang, dia melihat Vanya yang terlihat pucat. Vanya menempelkan punggung tangannya pada dahi Feli, panas. Feli demam. "Fel, kau sakit? Badanmu panas sekali." "Hm. Aku merasa tidak enak badan, rasanya lemas sekali." Vanya menatap melas Feli, padahal semalam Feli terlihat baik-baik saja, "Ya sudah, kau istirahat saja. Aku yang akan bicara dengan Devan, kalau kau sakit." "Baiklah. Kau tidak apa kan berangkat sendiri?" "Tidak apa-apa Fel. Ah ya, apa kau bisa beli obat sendiri? Aku tidak punya waktu untuk membelikan mu obat." "Aku bisa beli sendiri kok. Kau berangkat saja, nanti telat lho. Devan akan memarahi mu." Jarak antara kontrakan mereka dan apotek memang tidak terlalu jauh. Vanya mengangguk, dia berdiri, "Cepat sembuh ya? Aku berangkat dulu." "Hati-hati." Vanya pergi dari sana. Saat Vanya keluar rumah, dahinya mengernyit melihat mobil berwarna putih di depan kontrakan. Vanya melanjutkan langkahnya melewati mobil yang terparkir di depan kontrakannya itu, dia tidak perduli juga itu mobil siapa. "Anastasia." Langkah Vanya tiba-tiba terhenti. Suara itu lagi, hanya ada satu orang yang memanggilnya Anastasia. Devan! Vanya berbalik, dan benar saja, dia melihat Devan berdiri di samping mobil tersebut, "Pak Devan? Bapak kenapa disini?" Devan mendekati Vanya, "Saya tadi tidak sengaja lewat sini, lalu saya melihat kontrakan anda, jadi saya berhenti." Dahi Vanya saling bertautan, untuk apa Devan berhenti di depan kontrakannya? Devan tersenyum canggung, Vanya pasti bingung kenapa dia berhenti disini, "Begini, karena kebetulan saya lewat sini, jadi saya berniat untuk mengajakmu berangkat bersama, kau mau?" Vanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal, apa dia tidak salah dengar? Devan mengajaknya berangkat bersama? Vanya jadi curiga, apa Devan beneran kebetulan lewat atau dia sengaja menunggunya di depan? "Tapi pak--" "Ah kalau kau tidak mau, tidak apa-apa." Devan memotong pembicaraan. "Bukan gitu pak, eh-- saya mau." Devan tersenyum tipis, entah kenapa dia merasa senang karena Vanya tidak menolaknya, "Kalau gitu, ayo berangkat." Devan tidak sadar kalau dia menarik tangan Vanya, Vanya sendiri terdiam saat Devan menyentuh tangannya. Devan kemudian sadar, dia langsung melepaskan tangannya, "Maaf, ayo." Devan jalan lebih dulu, di susul Vanya. Vanya berusaha untuk tidak terpengaruh dengan sikap Devan padanya, dia tidak boleh terpesona begitu saja. Devan mengendarai mobilnya meninggalkan pelataran hotel. Di dalam mobil, bukan cuma Vanya yang merasa canggung, kini Devan pun merasakan hal yang sama. Apalagi saat dia tidak sadar menarik tangan Vanya. Sebenarnya Devan tidak kebetulan lewat, saat dia dalam perjalanan ke kantornya hatinya mengatakan kalau dia ingin sekali pergi ke kontrakan Vanya. Awalnya sempat ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menuruti kata hatinya. "Apa kau tinggal sendirian?" Devan mencoba untuk membuat suasana tidak canggung lagi dengan memulai percakapan. "Tidak, saya tinggal dengan teman saya. Namanya Felicia, dia juga bekerja di kantor bapak." Vanya menjawab setenang mungkin, padahal jantungnya selalu saja tidak karuan seperti biasa. Untuk yang kedua kalinya Vanya satu mobil dengan Devan. Doa Vanya untuk tidak terjadi hal seperti ini ternyata tidak terkabulkan. "Lalu, dimana teman mu?" "Feli sakit pak, sebenarnya saya juga mau berbicara dengan bapak kalau Feli tidak berangkat karena demam." Devan mengangguk, "Jadi itu kenapa kau berangkat sendirian?" "Iya pak." Mereka kembali diam cukup lama, tapi kemudian Devan melirik Vanya sekilas, "Anastasia?" "Ya?" "Sebenarnya kau tidak perlu memanggilku pak saat kita berada di luar kantor, kau cukup memanggilku Devan saja." Vanya menoleh ke samping, "Tapi pak, saya merasa tidak enak, bagaimanpun juga bapak atasan saya. Tidak sopan jika saya memanggil bapak, Devan saja." Devan menarik kedua sudut bibirnya, sebenarnya dia ingin lebih akrab dengan Vanya, maka dari itu Devan ingin Vanya memanggilnya Devan saja saat di luar kantor. Tapi Devan tidak mungkin mengatakan alasan itu bukan? "Kau tau, saya terlihat tua jika kau memanggilku bapak. Saya lebih suka kau memanggilku Devan saja, anggap saja saya temanmu saat kita sedang tidak bekerja. Bagaimana?" Vanya menyeringai di dalam hati, ini adalah tanda-tanda baik untuknya. Sepertinya membuat Devan jatuh cinta padanya, tidak sulit. Bahkan sekarang, gerak-gerik Devan sudah menunjukkan rasa ketertarikannya pada Vanya. Tapi Vanya tidak boleh berharap lebih tinggi, dia akan memulai rencananya dengan pelan-pelan. Vanya akhirnya mengangguk,"Iya De--van." "Bagus." Diam-diam Devan melirik Vanya dengan senyum tipis andalannya. Devan tidak tau kenapa dia ingin lebih dekat dengan Vanya. Devan juga merasa kalau dia dan Vanya sudah pernah dekat sebelumnya. Ada rasa yang tidak bisa Devan utarakan, tapi yang pasti Devan tidak ingin Vanya jauh darinya. Akhirnya mereka sampai, Devan turun dan membukakan pintu untuk Vanya. Mereka berdua menjadi pusat perhatian semua karyawan, mungkin heran kenapa Vanya dan Devan berangkat bersama. Vanya sendiri merasa tidak enak hati menjadi pusat perhatian, takutnya semua karyawan malah menggosipkannya, "Pak Devan duluan saja, saya nanti menyusul." "Ruangan kita satu arah kan? Kenapa tidak bareng saja?" Vanya menggeleng pelan sambil melihat karyawan lain yang melihat kearahnya, "Apa Pak Devan tidak lihat? Kita menjadi pusat perhatian sekarang? Lebih baik bapak duluan saja." Devan juga melihat sekelilingnya, saat itu juga semua karyawan yang tadinya melihatnya menjadi salah tingkah dan pergi dari sana, mungkin mereka takut kalau sampai Devan memarahinya. Sebenarnya Devan tidak perduli, tapi karena Vanya yang meminta, Devan menurutinya. "Kalau begitu, saya duluan." Devan merapikan setelan jasnya lalu berjalan masuk. Vanya sedikit menundukkan kepalanya, sebentar lagi pasti akan ada gosip tentang dia dan Devan. ****** Jam makan siang, di kantin Vanya memesan beberapa makanan. Dia memilih untuk duduk sendirian karena biasanya dia selalu makan siang bersama Feli. Baru mau menyuapkan nasi, Vanya mendengar desas desus yang menyebutkan namanya. Karyawan yang berada di kantin kini tengah membahas soal Vanya yang berangkat bersama dengan Devan. Vanya menghela nafas, kan benar? Kebiasaan buruk karyawan disini, yaitu suka menggosip tanpa tau kebenarannya. "Iya dia, perempuan pakai kemeja warna biru, yang makan sendirian. Dia yang tadi berangkat dengan pak Devan." "Oh ya?" "Aku yakin, dia pasti sengaja ingin mendekati pak Devan." "Cantik si, tapi dia tidak cocok dengan pak Devan. Pak Devan itu cocoknya dengan Ibu Leila, anak konglomerat itu. Cantik dan tampan, mereka juga selevel, sama-sama kaya." Begitulah kata-kata yang Vanya dengar dari mulut-mulut orang julid. Selera makan Vanya ambyar seketika, kupingnya semakin panas mendengar orang-orang yang menggosipi dirinya, belum lagi mereka menatapnya dengan sinis. Vanya yang sudah tidak tahan lagi, dia meletakkan sendok sedikit keras. Semua orang yang menggosip langsung diam seketika. Vanya lalu pergi dari sana, untung saja Vanya masih bisa mengendalikan emosinya, jadi dia tidak berbuat apa-apa pada mereka. Kalai tidak, Vanya pasti tidak tanggung-tanggung menampar mulut mereka yang berbicara seenaknya. Ngomong-ngomong soal Leila, Vanya penasaran siapa perempuan itu? Kenapa semua orang menjodoh-jodohkan Devan dengan Leila? Apa mereka berpacaran? Saat Vanya berjalan menuju ruangannya, dia berpapasan dengan Devan. "Pak Devan? Mau makan siang ya?" Tanya Vanya. "Ya. Kau sudah makan siang?" Devan balik bertanya. Vanya menggeleng pelan, kalau saja orang-orang tidak bergosip tentangnya, Vanya pasti sudah makan kenyang. Tapi karena orang-orang itu, Vanya harus menunda makan siangnya, "Belum pak." "Kalau begitu, aku yang akan mengajakmu makan siang di luar." Vanya kaget, jika dia mau menerima ajakan Devan, itu akan menambah masalahnya, semua orang pasti tidak akan berhenti menggosipinya, "Tapi pak--" "Udah ayo. Saya yang akan traktir." Devan menarik tangan Vanya keluar, dan benar saja, mereka menjadi pusat perhatian lagi. Vanya hanya bisa pasrah, mulai sekarang dia tidak perduli dengan orang-orang itu. Karena yang terpenting sekarang, adalah misi untuk menaklukan hati Devan lebih dulu. Kini mereka berdua berada di kafe yang tidak jauh dari kantor. Mereka saja tadi berjalan kaki. Vanya memakan makanannya, sedangkan Devan malah terus menatap Vanya. Sadar kalau dirinya terus di tatap, Vanya berhenti makan, "Bapak kenapa liatin saya?" "Devan. Bukankah saya sudah bilang, kau bisa memanggilku Devan di luar jam kerja. Saya ini temanmu kan?" Eh? Sejak kapan mereka berteman? Vanya bahkan menganggap Devan hanya sebagai atasannya. Tapi kalau Devan menganggapnya teman, tidak buruk juga. Berawal dari teman, mungkin bisa saja mereka menjalin hubungan. "Kalau begitu, kau juga jangan memanggilku Anastasia lagi." "Bukankah itu namamu?" Vanya mengangguk, "Memang, tapi karena kita sudah berteman, kau bisa memanggilku Ve. Teman dan keluargaku suka memanggilku seperti itu." "Ve?" Devan mengulanginya. Lagi-lagi Devan merasa tidak asing dengan nama itu. Tapi lupakan, mungkin memang Devan pernah mendengarnya, tapi tidak ingat. "Ya. Hanya teman dekat dan keluargaku yang memanggilku Ve, dan mereka adalah orang-orang yang istimewa dalam hidupku." Devan menyatukan kedua alisnya, orang-orang istimewa? Apa Itu berarti Dia juga istimewa? Dalam hati Devan tersenyum. "Ngomong-ngomong kenapa kau belum makan siang? Padahal saya keluar lebih 15 menit dari jam makan siang, kau tidak makan siang tepat waktu?" Vanya menjadi kesal lagi, karena mereka, waktu makan siang Vanya kepotong, "Sebenarnya saya sudah ke kantin, tapi karena saya tidak tahan dengan karyawan lain yang bergosip tentang saya, jadi saya tidak jadi makan siang." "Bergosip?" "Hm. Apa kau lupa soal tadi pagi waktu kita berangkat bersama? Semua orang bergosip tentang kita." "Biarkan saja, saya juga tidak perduli." Tidak peduli? Vanya tidak salah dengar? Ia pikir Devan akan marah karena karyawannya bergosip tentangnya di belakang, "Tapi mungkin reputasi mu bisa jelek karena digosipkan denganku Dev." Devan menarik salah satu sudut bibirnya tersenyum sumbang, "Saya tidak takut, lagipula kau denganku hanya sebatas atasan dan bawahan kan? Jadi wajar saja kalau atasan membantu bawahan." Vanya ikut tertawa sumbang, Devan benar, dia dan Devan bahkan tidak selevel seperti apa yang karyawan lain katakan. Harusnya Vanya juga tidak perlu memikirkan itu kan? "Ah ya, boleh saya bertanya sesuatu padamu?" Devan mengambil steak dengan garpu lalu memakannya, "Katakan." Awalnya ragu, tapi daripada penasaran, Vanya akan tetap mengatakannya, "Siapa Leila?" Seketika Devan berhenti mengunyah, darimana Vanya tau Leila? Vanya tau ini bukan urusannya, tapi kalau dia tidak bertanya mungkin Vanya akan terus kepikiran. Bisa saja perempuan bernama Leila itu bisa merusak rencananya. "Maaf kalau saya bertanya seperti itu, kau tidak perlu menjawabnya." "Dia tunangan saya. Sebenarnya saya dan Leila bertunangan 5 tahun, kami dijodohkan." Dijodohkan? 5 tahun, itu artinya Devan dan Leila bertunangan sejak Devan masih sekolah. Jadi, Devan bukan hanya membohonginya menjadi bahan taruhan, tapi Devan juga berbohong kalau dia sudah bertunangan. Vanya mengepalkan tangannya yang berada di atas meja. Dia semakin membenci Devan, dia tidak menyangka kalau Devan banyak membohonginya. Dahi Devan berkerut melihat Vanya mengepalkan tangannya, Vanya terlihat seperti sedang menahan amarahnya, "Ve, kau kenapa? Ada masalah?" Vanya tersadar, dia mengendurkan tangannya, dia kemudian tersenyum, jangan sampai Devan curiga, "Ah, saya tidak apa-apa." Devan melirik jam tangannya, jam makan siang sudah berakhir, "Kau sudah selesai?" Vanya membersihkan mulutnya dengan tisu, "Sudah selesai." Devan mengeluarkan uang ratusan ribu di atas meja, lalu mereka pergi meninggalkan kafe. Di depan ruangan Devan, mereka berhenti. "Makasih pak buat traktirannya." Karena sudah kembali ke kantor, Vanya kembali memanggil Devan dengan sebutan pak. "Sama-sama." "Kalau begitu, saya pamit ke ruangan saya." Devan mengangguk, saat Vanya sudah kembali ke ruangannya, diam-diam Devan tersenyum menatap kepergian Vanya. Baru kali ini Devan merasa senang ketika bersama perempuan. Dulu, sekitar 5 tahun yang lalu, Devan pernah merasakan ini, tapi setelah perempuan itu pergi, Devan tidak pernah lagi merasa senang seperti ini. Leila, bertahun-tahun bertunangan dengan perempuan itu, Devan tidak merasakan apapun. Rasanya hambar. Bertahun-tahun pula Devan memaksakan hatinya untuk mencintai Leila, tapi tetap tidak bisa. Perjodohan yang di lakukan orangtuanya karena bisnis, Devan bahkan tidak bisa menolaknya. Apapun yang Devan lakukan tergantung apa yang orangtuanya perintahkan. Hidup Devan benar-benar bergantung pada orang tuanya. Devan masuk ke dalam ruangannya. Beberapa menit kemudian, seseorang datang membuka pintu ruangannya. "Devan?" "Leila?" Leila. Perempuan yang sudah hampir 5 tahun menjadi tunangan Devan. Perempuan itu mungkin sudah kembali dari luar kota. "Ada apa kau kesini?" Tanya Devan malas. Leila mendekat, dia membungkuk merangkul leher Devan dengan mesra, "Tentu saja aku mencari mu Dev. Aku merindukanmu, apa kau tidak merindukanku, hm?" Devan diam saja, dia masih fokus dengan pekerjaannya. Leila merasa kesal karena Devan mengacuhkannya, dia lalu menarik dagu Devan dan mencium bibirnya. "Permisi pak, saya-" Seseorang yang baru saja masuk, tidak sengaja menjatuhkan map. Dia kaget melihat hal senonoh di depannya, dia melihat atasannya dengan perempuan tengah berciuman. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD