Episode 4

1994 Words
Vanya duduk di kursi kerjanya, melihat map merah di atas meja, Vanya menjadi ingat kalau tadinya dia ingin meminta tanda tangan Devan, tapi keburu jam makan siang. Jadi Vanya menundanya, dia kemudian mengambil map tersebut dan berniat menemui Devan untuk meminta tanda tangannya. Berulang kali Vanya mengetuk pintu tapi Devan tidak kunjung menjawabnya. Tidak sopan kalau Devan belum menyuruhnya masuk tapi Vanya sudah masuk lebih dulu. Tapi Vanya tidak bisa menunggu lama, ada banyak pekerjaan yang harus segera ia selesaikan. Akhirnya Vanya memberanikan diri membuka pintu, "Permisi pak, saya-" Vanya refleks menjatuhkan map membuat semua kertas berceceran di lantai. Matanya membulat melihat perbuatan tak senonoh yang dilakukan Devan dan seorang perempuan yang Vanya tidak tau siapa. Devan dan perempuan itu tengah berciuman? "Kau siapa? Kenapa masuk tidak mengetuk pintu? Tidak sopan!" Leila bertanya dengan nada sinis. Dia tidak suka dengan bawahan yang tidak tau sopan santun, masuk sembarangan tanpa mengetuk pintu. "Ma--afkan saya." Vanya berjongkok, memunguti setiap lembar kertas yang jatuh di lantai. Vanya benar-benar gugup sekarang. Vanya datang di waktu yang sangat tidak tepat. Kenapa Vanya harus memergoki mereka berdua? Setelah itu Vanya berdiri, dia menunduk, "Maafkan saya pak. Saya tadi sudah mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban." Leila menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, "Harusnya kau menunggu, bukannya langsung masuk!" Vanya semakin menunduk saat Leila berbicara sedikit keras padanya. Kau memang bodoh Vanya! Harusnya tadi kau menunggu saja, tidak perlu masuk dan kau juga tidak akan melihat sesuatu yang memalukan. Dalam hati Vanya mengutuk dirinya sendiri. "Sudahlah, ada perlu apa Ana?" Devan mencoba menengahi mereka, dia tidak ingin ada keributan. Vanya mendongak, dan berkata pelan, "Ada berkas yang harus bapak tandatangani." "Kesini." Perintah Devan. Dengan rasa canggungnya, Vanya berjalan pelan, dia berdiri di depan meja lalu menyerahkan map pada Devan. Devan menandatanganinya lalu menyerahkan kembali pada Vanya. "Terima kasih pak." Vanya sudah tidak mau lagi berada di sana, dengan langkah cepat Vanya lantas segera pergi dari ruangan itu. Devan kembali dengan pekerjaannya, dia bahkan sama sekali tidak memperdulikan Leila yang terus saja menempel padanya. Devan tidak ada waktu untuk meladeni perempuan manja seperti Leila. Leila tidak menyerah begitu saja saat Devan bersikap cuek, dia lantas duduk di meja. Dengan rasa tidak malunya Leila menyilangkan kakinya, sengaja memperlihatkan pahanya yang terbuka. Leila mencoba untuk menggoda Devan. "Dev, apa kau tidak merindukanku? Kenapa kau bersikap seperti ini?" Ucap Leila dengan nada manjanya. Devan berhenti mengetik, dia menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Leila dari atas sampai bawah. Devan menaikkan salah satu sudut bibirnya, Leila tidak berubah sama sekali. Dia bahkan sengaja menggoda Devan dengan memperlihatkan pahanya. Apa Leila pikir Devan akan mudah tergoda? Sudah berulang kali Leila bersikap tidak tahu malu seperti itu, tapi Devan tidak pernah tergoda sama sekali. Baginya Leila hanya terlihat seperti w************n yang haus akan belaian. "Turunkan kakimu Leila! Dan jangan duduk di mejaku." Devan memerintah dengan tegas, dia merasa risih jika Leila bersikap murahan seperti itu. Leila menatap Devan jengkel, lalu berdiri, "Kenapa? Kau tidak suka aku duduk di meja, atau kau takut kau tergoda denganku?" Devan berdecih, walaupun Leila berdiri di hadapannya dengan telanjang, Devan tidak akan tergoda, "Sebaiknya kau pergi, aku masih ada pekerjaan." Leila menginjak lantai dengan kasar, Devan ternyata tidak pernah berubah, dia selalu mengusirnya dengan alasan masih banyak pekerjaan, "Dev, aku sengaja datang kesini karena aku merindukanmu, kenapa kau masih saja bersikap cuek seperti ini padaku?" "Kita bisa membahasnya nanti, aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu." Karena sudah sangat kesal, Leila keluar dari ruangan Devan. Untuk apa berada disana kalau Devan tidak menganggap keberadaannya. Devan menghela nafas, kenapa susah sekali membuat perempuan itu menjauh darinya. Kepergian Leila selama seminggu sudah membuat Devan merasa sangat tenang, tapi kini perempuan itu pulang dan kembali mengganggunya lagi. Vanya? Devan teringat dengan perempuan itu, Vanya pasti salah faham melihat kejadian tadi. Devan akan menjelaskannya nanti. Tapi untuk apa  Devan memberitahunya? Mungkin Vanya juga tidak perduli kan? ****** Sial. Ini benar-benar hari yang sial untuk Vanya, dia memergoki atasannya sedang berciuman dengan perempuan. Vanya tidak tau harus meletakkan wajahnya dimana kalau dia bertemu dengan Devan nanti. Bisa-bisanya Vanya melihat hal senonoh seperti itu? Dan liat sekarang? Vanya bahkan tidak bisa berkonsentrasi untuk bekerja padahal banyak pekerjaannya yang belum selesai. Mungkin Vanya harus lembur lagi. "Kenapa aku tidak bisa bekerja? Ada apa denganku ini?" Vanya masih saja memikirkan hal itu. Ada rasa yang tidak bisa Vanya ungkapkan saat melihat Devan dengan perempuan lain. Atau mungkin perempuan itu adalah Leila? Tunangan Devan? Ternyata apa yang karyawan lain katakan benar. Leila memang sangat cantik, di lihat dari penampilannya, perempuan itu terlihat modis. Barang-barang yang ia pakai juga barang mahal dengan merk-merk terkenal dan yang pasti limited edition. Pantas Devan mau bertunangan dengan Leila. Vanya bahkan jauh di bawah Leila, bagaikan langit dan bumi. Hari semakin sore, Vanya masih belum menyelesaikan pekerjaannya. Harusnya Vanya sudah menyelesaikannya, tapi karena dia kehilangan konsentrasi makanya sampai sekarang belum selesai. Satu persatu karyawan lain, sudah mulai meninggalkan kantor. Namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. Feli meneleponnya. "Halo, kenapa?" "Ve, kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" "Belum, memangnya kenapa?" "Orang tuamu kesini, dia ingin bertemu denganmu. Kau pulang sekarang ya?" Vanya bimbang, kenapa orangtuanya datang di saat yang tidak tepat? Vanya bahkan masih belum menyelesaikan pekerjaannya. "Oke, aku pulang sekarang." Vanya akhirnya memutuskan untuk pulang. Untuk sekarang, orang tuanya lebih penting. Pekerjaan bisa ia selesaikan besok atau nanti di rumah. Vanya membereskan semua barang-barang di meja, lalu mengemasi barangnya sendiri dan beranjak dari sana. "Kau mau pulang?" Vanya tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang berbicara. Vanya berbalik, Devan berdiri tepat di belakangnya. "Iya pak. Saya permisi." Vanya buru-buru pergi dari sana. "Kau terlihat buru-buru, apa ada sesuatu yang penting?" "Itu, orang tua saya datang dari kampung ingin bertemu dengan saya, jadi saya harus segera menemui mereka." Devan mengangguk pelan, ia pikir tidak ada salahnya kalau dia bertemu dengan orang tua Vanya, "Aku antar." "Emm.. tidak usah pak, saya bisa pulang sendiri." "Tidak apa-apa, saya juga ingin mengenal orang tuamu." Alis Vanya saling bertautan, Devan ingin mengenal orang tuanya? Vanya tidak mengerti kenapa Devan ingin mengenal orang tuanya? Atau jangan-jangan, Devan sudah mulai tertarik dengannya? Itu bagus. Vanya akhirnya mengangguk, lalu mereka pergi dari sana. Di perjalanan, Devan berkali-kali melirik Vanya. Dia ingin membahas soal kejadian siang tadi, tapi dia masih ragu-ragu, takutnya Vanya memang tidak perduli dengan itu. Dan Devan merasa malu karena ia pikir Vanya salah faham, padahal sebenarnya Vanya tidak perduli. "Apa ada yang ingin kau bicarakan?" Vanya sadar kalau sedari tadi Devan melirik ke arahnya. Devan seperti ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu-ragu, maka dari itu Vanya bertanya langsung saja. Ngomong-ngomong Vanya tidak memanggil Devan bapak karena dia  ingat kalau dia boleh memanggil Devan tanpa embel-embel pak. Devan terlihat salah tingkah karena mungkin Vanya melihatnya terus menatapnya, "Soal tadi siang--" "Oh, saya minta maaf Dev, karena sudah lancang masuk ke ruangan mu." Ucap Vanya memotong pembicaraan. Soal itu. Vanya sudah berusaha untuk melupakannya, tapi dia ingin tau apa perempuan itu benar-benar Leila, tunangan Devan atau bukan. "Kau tidak perlu meminta maaf lagi." Vanya mengangguk, untung Devan tidak memarahinya seperti perempuan itu memarahinya. "Itu semua tidak seperti apa yang kau lihat. Dia yang mencium ku lebih dulu, saya juga kaget saat itu. Dan waktu saya mau mendorongnya, kau datang lebih dulu." Vanya mengerutkan dahinya, untuk apa Devan mengatakan itu padanya? Apa Devan berpikir kalau Vanya sudah salah faham? Atau Devan merasa tidak enak karena kepergok berciuman dengan perempuan? "Kenapa kau mengatakan itu padaku? Kalaupun kau dan dia melakukan itu atas dasar suka sama suka, itu tidak masalah kan? Kau bebas melakukan apapun." "Ya, kau benar. Tapi saya cuma ingin meluruskan masalah. Nanti malah kau berpikir kalau saya sengaja melakukan hal seperti itu di kantor." Vanya tersenyum dan mengangguk pelan, siapapun yang melihat itu pasti akan memikirkan hal yang sama seperti apa yang Vanya pikirkan. Melakukan hal m***m di kantor, sungguh hal yang kurang mengenakan menurut Vanya. "Dan lagi, dia yang mencium ku lebih dulu. Jujur, saya tidak suka dengan perilaku dia yang seperti itu, dan saya pun tidak pernah menginginkannya." Ada secuil rasa senang karena ternyata Vanya memang sudah salah faham. Ternyata perempuan itu yang menyosor duluan, dan Devan juga tidak menginginkannya. Tidak! Vanya menggelengkan kepalanya. Vanya senang karena perempuan itu tidak menyulitkan jalannya untuk membuat Devan jatuh cinta padanya, bukan karena Vanya cemburu kan? "Apa dia Leila, tunangan mu?" Tanya Vanya memastikan. "Darimana kau tau?" "Sebenarnya waktu saya digosipkan denganmu, banyak karyawan yang mengatakan kalau kau hanya cocok dengan Leila. Dan waktu itu kau juga bilang kalau kau sudah bertunangan. Jadi saya menebak kalau Leila itu tunangan mu, apa benar?" Vanya menatap Devan, dari gerak-geriknya, sepertinya tebakan Vanya benar. "Ya."Dengan berat hati, Devan menjawabnya. Kalau boleh Devan ingin menganggap Leila bukan tunangannya karena Devan sama sekali tidak menginginkan Leila di hidupnya. Vanya mengerti sekarang, "Kau mencintainya?" Devan terdiam. Vanya menutup mulutnya sendiri, untuk apa dia menanyakan itu? Vanya pikir, dia terlalu ikut campur urusan mereka. Seharusnya Vanya tidak bertanya seperti itu, karena Vanya pun tidak perduli. Vanya hanya perduli dengan balas dendamnya. Ingatkan Vanya! "Tidak, aku tidak mencintainya." Jawab Devan dengan jujur. Vanya benar-benar tidak percaya, mereka bahkan bertunangan selama 5 tahun tapi kenapa Devan tidak menaruh hati untuknya. "Kalau kau tidak mencintainya, kenapa kau mau bertunangan dengannya? Bahkan kalian bertunangan selama 5 tahun." Entah kenapa Vanya semakin tertarik dengan arah pembicaraan mereka. Atau mungkin, dia ingin menggali lebih dalam tentang Devan agar mempermudah misinya. "Kami dijodohkan karena bisnis kedua orang tua." "Kalau kau tidak mencintainya, kenapa kau mau bertunangan dengannya Devan?" Vanya bertanya seolah-olah dia tidak terima Devan menerima lamaran itu. Sadar Vanya sudah banyak bertanya, dia merasa tidak enak hati, "Maaf, ini mungkin bukan urusan saya. Maaf kalau saya terlalu ikut campur urusan pribadimu." Devan menyunggingkan senyumnya, dia justru suka jika Vanya banyak bertanya. Jadi Devan bisa menjawabnya dengan sejujur-jujurnya, dengan begitu Vanya tidak akan salah faham. "Tidak apa-apa, saya justru senang karena mungkin kau perduli denganku." Vanya tersenyum canggung, "Ya, karena kita teman. Sesama teman memang harus saling perduli bukan?" "Mau saya ceritakan kenapa saya bisa bertunangan dengan Leila?" Saat mau menjawab, ternyata mobil mereka hampir sampai di kontrakannya, "Nanti saja, kita sudah mau sampai." Devan tersenyum, "Baiklah." Akhirnya mereka sampai di depan kontrakan. Mereka turun dari mobil dan di sambut kedua orang tua Vanya yang berdiri di teras. Dan ada satu orang laki-laki yang tak asing untuk Vanya namun asing untuk Devan juga berada disana. Vanya berjalan menghampiri kedua orang tuanya, dia langsung memeluk erat sang ibu, "Mama, Vanya kangen." "Kau tidak merindukan ayahmu?" Itu suara ayah Vanya. Vanya bergantian memeluk ayahnya, sang ayah mengelus rambut putrinya dengan lembut, "Vanya juga merindukan ayah." Vanya kemudian berganti menatap laki-laki di samping ayahnya, sudah lama sekali Vanya tidak bertemu dengannya, "Leon? Kau juga kesini?" "Ya. Aku yang mengantarkan om dan tante kesini untuk menemui mu." "Makasih Leon." Vanya memeluk Leon di depan Devan. Vanya melepaskan pelukannya, dia bahagia melihat kedua orang tuanya berada di depannya sekarang, "Vanya merindukan kalian berdua. Ngomong-ngomong, kenapa kalian ke Jakarta? Apa ada masalah di kampung?" Kedua orang tua Vanya terlihat ragu-ragu untuk mengatakannya, membuat Vanya merasa ada yang tidak beres. "Ayah?" Vanya bertanya sekali lagi pada ayahnya. "Nanti ayah jelaskan di dalam." "Ve, kau tidak mau memperkenalkan siapa laki-laki yang datang bersamamu, hm?" Tanya Ibu Vanya. Vanya sampai lupa dengan keberadaan Devan. Dia merasa tidak enak hati karena sibuk dengan urusannya sendiri sampai lupa memperkenalkan Devan, "Ini Devan Gunawan, bos Vanya di kantor, ma." Devan tersenyum ramah kepada orang tua Vanya. "Ve, dia bos mu, kenapa kau tidak memanggilnya pak, hm?" Ucap Ibu Vanya setengah berbisik-bisik namun masih kedengaran di telinga Devan. "Tidak apa-apa tante. Saya yang menyuruh Vanya untuk tidak memanggil pak jika sedang tidak bekerja." Kedua orang tua Vanya mengangguk, sepertinya bosnya Vanya memang orang yang baik. Walaupun dia atasan tapi tetap bersikap baik pada bawahannya. "Kalau begitu, ayo masuk. Mama udah masak enak-enak." Kedua orang tua Vanya dan Leon masuk duluan. Kini tinggal Vanya dan Devan yang masih berada di luar. "Ayo." Ajak Vanya. "Ve, boleh saya bertanya sesuatu?" "Apa?" "Siapa Leon? Dan kenapa kau memeluknya?" ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD