Episode 5

2022 Words
"Siapa Leon, dan kenapa kau memeluknya?" Vanya tertegun, dia lupa kalau Devan berada disana. Devan pasti bingung karena melihatnya memeluk Leon. Saking senangnya, Vanya sampai tidak bisa mengendalikan sikapnya di depan Devan. "Leon? Itu, dia sahabatku di kampung. Kita udah berteman sejak masih kecil, dan kedua orang tua kita juga berteman baik." Devan lega karena Vanya dan Leon hanya sebatas sahabat. Apa mungkin Devan sudah mulai menyukai Vanya, sehingga dia merasa tidak suka saat melihat Vanya memeluk laki-laki lain di depannya? "Baguslah." Refleks, Devan menjawab seperti itu. Vanya mengernyit, "Kau bilang apa?" Devan salah tingkah, dia sadar kalau dia mengatakan sesuatu yang membuat Vanya bingung, "Tidak apa-apa, sebaiknya kita masuk." Vanya geleng-geleng kepala, memangnya Devan pikir dia tidak mendengarnya? Vanya tidak salah dengar saat Devan menjawab 'baguslah' Vanya rasa, Devan memang benar-bener sudah menyukainya, dan dia cemburu saat Vanya memeluk Leon. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu, karena di kontrakan Vanya tidak ada ruang makan, mereka makan di ruang tamu. Vanya merasa tidak enak karena Devan dan Leon pasti merasa tidak nyaman datang ke kontrakannya yang kecil. Kalau dia dan orangtuanya memang sudah terbiasa dengan rumah yang kecil. Sedangkan Devan dan Leon, dia berasal dari keluarga kaya dan memiliki rumah yang luas. Leon. Sebenarnya dia itu anak dari juragan teh di kampung Vanya. Vanya dan Leon memang sudah berteman sejak masih kecil. Kedua orang tua mereka juga berteman baik. Walaupun keluarga Leon berasal dari keluarga yang kaya dan terpandang tapi mereka masih menghormati rakyat-rakyat kecil seperti keluarga Vanya. Leon dan Vanya dan juga Felicia sering menghabiskan waktu bersama, namun sayangnya setelah mereka lulus sekolah pertama, Leon pergi ke luar negeri untuk melanjutkan SMA nya di sana. Setelah lulus SMA, Vanya kuliah di Universitas terbuka, sedangkan Leon kuliah di luar negeri. "Ma, sedari tadi Vanya tidak melihat Feli, dia kemana?" "Feli keluar, katanya ada sesuatu yang penting." Vanya mengangguk, dia melihat ada banyak makanan di atas meja. Vanya tersenyum senang karena melihat makanan favoritnya ada di atas meja, yaitu pete dan semur jengkol. Sisanya, ada cumi sembel ijo, rendang, dan sayur kangkung. "Ayo makan, nak Devan, Leon." Ucap Ibu Vanya. "Vanya, ambilkan nasi untuk nak Devan." Ucap ayahnya. Vanya mengangguk, dia mengambil piring, lalu memasukkan nasi dan lauk pauk untuk Devan. Hanya cumi sambel ijo dan rendang dan sayur kangkung saja yang Vanya masukkan ke dalam piring Devan karena Devan pasti tidak menyukai pete apalagi semur jengkol. Vanya lalu memberikan itu pada Devan. Sedangkan Leon, dia mengambil makanannya sendiri, karena sudah biasa makan bersama keluarga Vanya. Giliran untuk Vanya sendiri, saat dia akan mengambil semur jengkol, Vanya melihat kalau ada Devan juga di sana, tengsin kalau Vanya makan pete dan semur jengkol di depan bosnya. Vanya akhirnya tidak jadi mengambil semur jengkol, dia mengambil lauk lainnya. Ibu Vanya melihat anaknya tidak mengambil semur jengkol, padahal Ibu Vanya sangat tau kalau anaknya itu sangat menyukai semur jengkol, "Ve, kau tidak mengambil semur jengkol? Biasanya kau paling suka kalau mama memasak semur jengkol." Vanya tersenyum malu-malu, kenapa ibunya malah berbicara seperti itu di depan Devan? Hancur sudah reputasi Vanya yang cantik tapi suka makan semur jengkol. Vanya melirik Devan, dia kebetulan Devan juga tengah menatapnya. Vanya semakin malu, antara makan atau tidak. Kalau Devan tidak ada di sana, mungkin Vanya sudah menghabiskan semur jengkol itu. "Vanya lagi diet ma, makanya Vanya mau makan ini saja." "Ya sudah, biar mama sama ayahmu yang menghabiskannya." "Jangan!" Suara keras Vanya membuat semua orang menatapnya. Vanya menggaruk lehernya yang tidak gatal, "Itu, biar nanti Feli yang memakannya. Dia sangat menyukai semur jengkol." Vanya harus menggunakan nama Feli agar orang tuanya tidak menghabiskan semur jengkolnya karena Vanya sangat ingin memakannya tapi bukan di depan Devan. Dalam hati, Vanya berharap orang tuanya bisa mengerti. "Baiklah. Nanti kita sisakan untuk Feli." Leon tersenyum tipis menatap Vanya, perempuan itu masih saja gengsi kalau mau makan jengkol. Berpura-pura tidak mau padahal mau, beralasan untuk Feli tapi sebenarnya Vanya lah yang ingin memakannya. Karena Leon tau, Feli sama sekali tidak menyukai jengkol, itu hanya alasan Vanya. Mereka makan dengan khidmat. Hari sudah malam, Devan berpamitan untuk pulang. "Terima kasih untuk makan malamnya, om, tante." Ucap Devan. "Sama-sama. Kami harap nak Devan tidak segan untuk mampir ke kontrakan Vanya lagi, walaupun kontrakan Vanya kecil." Devan tersenyum dan mengangguk, "Saya pamit dulu." "Biar saya antar." Vanya mengantar Devan sampai di depan mobil. "Sekali lagi terima kasih Ve, kau dan keluarga mu memang orang yang baik. Saya senang bisa mengenal keluargamu." "Iya. Terima kasih juga kau mau mampir ke kontrakan ku yang sempit ini." Devan mengangguk, dia masuk ke dalam mobil lalu mengendarai mobilnya meninggalkan kontrakan Vanya. Vanya masuk ke dalam rumah, kedua orang tuanya dan Leon masih berada di sana. Vanya jadi bingung, dimana mereka akan tidur sedangkan kamarnya hanya satu, itupun untuk dia dan Feli. "Ma, kalian nanti tidur dimana? Di sini cuma ada satu kamar." "Kau tenang saja Ve, om dan tante tinggal di kontrakan sebelah. Aku yang menyewanya." Vanya tertegun, Dari dulu, Leon memang selalu baik pada keluarganya, selalu membantu keluarganya. Tidak heran jika Leon menyewakan kontrakan untuk kedua orang tuanya. Tapi tetap saja Vanya tidak enak hati, Leon sudah banyak membantunya. "Leon, aku tidak tau dengan cara apa aku membalas kebaikanmu. Kau sudah banyak membantu keluargaku, terima kasih Leon." "Keluargamu sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri Ve, kalau kau butuh sesuatu, kau bisa mengatakan padaku. Aku pasti akan membantumu." Sekali lagi, Vanya memeluk Leon. Dia bangga karena mempunyai sahabat seperti dia. Sedangkan Leon merasa jantungnya berdegup lebih cepat, dia bahagia karena setelah sekian lama, dia bisa memeluk Vanya seperti ini. Vanya melepaskan pelukannya, "Lalu, kau tidur dimana?" "Untuk sementara, aku akan tidur di kontrakan om dan tante." "Apa besok kau pulang?" "Ya. Aku tidak bisa lama-lama disini karena aku hanya bicara pada papaku kalau aku kesini hanya sehari." Vanya cukup sedih karena Leon tidak tinggal lebih lama lagi disini, karena Vanya pun merindukan laki-laki itu. Bukan karena Vanya menyukainya, hanya saja Vanya ingin bersama dengan sahabatnya lebih lama. "Kalau begitu, kau disini saja dulu. Aku ingin mengobrol banyak denganmu." "Ya Leon. Kau disini dulu temani Vanya, biar om dan tante yang pulang ke kontrakan dulu." Leon mengangguk. Kini hanya ada Leon dan Vanya yang tengah duduk di teras. Mereka tengah melihat bintang-bintang yang bersinar di langit sana. "Ve, kau sudah banyak berubah." Leon memulai percakapan. "Apa maksudmu?" "Cara berpakaian mu, dan sepertinya kau juga suka berdandan." Jujur, setelah sekian lama Leon tidak melihat Vanya, untuk pertama kalinya Leon di buat terpana dengan penampilan Vanya yang sangat cantik. Leon sudah tidak melihat Vanya saat mereka lulus di bangku SMP, tapi saat mereka bertemu kembali, Leon sangat mengagumi betapa cantiknya Vanya saat ini. "Hei, aku kerja di kantor, sudah kewajiban ku untuk berdandan. Kalau tidak, aku mungkin tidak akan bekerja di sana, tapi aku akan bekerja di kebun teh milik ayahmu." Ucap Vanya dengan nada bercanda. "Ah iya, aku lupa. Pasti banyak laki-laki disana yang menyukaimu kan?" Vanya tidak munafik untuk hal itu. Jujur banyak laki-laki yang menggodanya, tapi Vanya tidak pernah menanggapi mereka semua. Vanya masih trauma menjalin hubungan dengan laki-laki. Vanya mengangguk, "Tapi aku tidak pernah perduli dengan mereka, aku malas meladeni laki-laki seperti mereka." "Devan itu atasanmu kan?" "Iya." "Dia terlihat akrab denganmu, kau sudah lama mengenalnya?" "Devan itu CEO baru di kantor, aku mengenalnya baru beberapa hari ini." Dan dia laki-laki yang telah membuatku trauma menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Lanjutnya dalam hati. "Kau menyukainya?" Dengan cepat Vanya menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin aku menyukainya. Dia atasanku, aku tidak berhak menyukainya." Aku tidak menyukainya, tapi sebaliknya. Aku sangat membencinya. Lanjutnya lagi di dalam hati. Leon lega Vanya mengatakan seperti itu. Itu berarti Leon masih mempunyai kesempatan untuk menjadikan Vanya sebagai kekasihnya. "Ve, kau tidak berniat untuk pulang ke Bogor? Orang tuaku pasti terkejut kalau melihat penampilanmu yang sekarang." Ya. Seperti Leon pertama kali melihat Vanya tadi sore. Vanya melihat ke atas dan berpikir sejenak, "Aku tidak tau, tapi mungkin aku akan menggunakan jatah cuti ku untuk pulang kampung. Aku juga merindukan rumahku disana." Leon sangat menantikan saat Vanya pulang ke Bogor. Dia sangat ingin mengenalkan Vanya yang sekarang pada orang tuanya. "Ada banyak hal yang berubah di sana sejak kau pergi ke Jakarta Ve, kau harus melihatnya." Vanya mengangguk. Tak lama, Feli pulang, ia melihat Vanya dan Leon tengah duduk berdua di teras. "Fel, kau dari mana saja? Ini sudah malam tapi kau baru saja pulang." Ada nada kekhawatiran di sana, Vanya memang khawatir jika terjadi sesuatu dengan Feli. Apalagi tadi pagi Feli mengeluh sakit. "Maafkan aku. Aku tadi dari rumah teman, saking asyiknya aku sampai lupa untuk pulang." Vanya menatap kesal Feli. Feli yang menyuruhnya pulang, tapi dia sendiri pergi entah kemana. "Ayo masuk." "Ve, aku ke kontrakan om dan tante dulu ya. Selamat malam." "Selamat malam." Feli menatap kepergian Leon, dia mendekati Vanya, "Dia mau kemana?" "Ayo masuk dulu." Ucap Vanya, dia masuk lebih dulu. Di kamar, Feli merebahkan dirinya di ranjang. Sedangkan Vanya duduk bersender di kepala ranjang. "Kau belum menjawab pertanyaan ku Ve, dimana orang tuamu dan Leon tinggal sekarang?" "Leon menyewa kontrakan sebelah untuk tempat tinggal mama sama ayah." Feli sama terkejutnya dengan Nai saat mendengar hal itu, tidak menyangka saja Leon membayar sewa kontrakan untuk orang tua Vanya tinggal. Benar-benar bangga mempunyai sahabat seperti Leon, sudah tampan, anak juragan teh lagi. Dan yang terpenting, Leon itu orang yang sangat baik dan loyal. "Leon sudah sangat baik pada keluargamu, kau tidak merasa berhutang budi padanya?" Vanya berdecak, "Tentu saja aku merasa hutang budi Fel. Leon sudah banyak membantu keluargaku, tapi aku tidak pernah berbuat apapun untuknya." "Aku yakin kalau Leon tidak pernah meminta apapun padamu, dia tulus melakukannya karena dia mungkin mencintaimu." Vanya menggelengkan kepalanya, dia dan Leon bersahabat sejak kecil, tidak mungkin Leon mencintainya. Leon melakukan itu karena hatinya memang baik, dia tulus membantu keluarganya karena Vanya adalah sahabatnya. "Kenapa kau beranggapan kalau Leon mencintaiku Fel? Aku dan Leon sahabat. Lagi pula kita beda level, walaupun keluarga Leon baik pada keluargaku, mereka tidak akan pernah setuju jika aku dan Leon berpacaran." Ya. Vanya sadar diri, dia cukup tau diri siapa dia dan siapa keluarganya. Ibunya bekerja di kebun teh milik keluarga Leon, sedangkan ayahnya hanya buruh pabrik. Vanya tidak pantas bersanding dengan Leon. Sama sekali tidak! "Sekarang aku yang bertanya padamu, apa kau menyukainya, atau pernah menyukai Leon sebelumnya?" Vanya terdiam, dia mengingat semua kenangan dia dan Leon. Leon pernah menolongnya dari seseorang yang mau berbuat jahat padanya. Dulu, Vanya dan Leon selalu belajar bersama, bermain bersama. Saat itu mungkin Vanya menyukainya karena hanya Leon, laki-laki yang dekat dengannya. Tapi mungkin itu hanya cinta monyet, karena cinta yang sebenarnya Vanya rasakan yaitu saat dia SMA. Rasanya malas kalau Vanya harus menceritakan itu dari awal. "Aku pernah menyukainya, tapi hanya sekedar suka Fel. Tidak ada yang lebih dari itu." "Oke, kita lupakan masalah itu. Masalah ini lebih penting. Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Devan di kantor? Kenapa semua orang membicarakan mu?" Vanya menghela nafas, dia malas untuk bercerita karena itu hanya akan membuatnya kembali kesal, "Bisa kita bicarakan besok saja? Aku mengantuk." "Tidak, kau harus bercerita sekarang. Besok kan weekend, kita bisa bercerita sampai pagi." "Tapi--" Tiba-tiba ponsel Vanya berdering, dia melihat siapa yang meneleponnya. Devan menelepon. Panjang umur. Baru di bicarakan, orang itu malah meneleponnya. Vanya mengangkatnya, "Halo?" "Hai, kau belum tidur?" Tanya Devan. "Belum, kau juga belum tidur?" Jawab Vanya dan balik bertanya. "Aku tidak bisa tidur sebelum aku mengatakan sesuatu padamu." Vanya mengernyit, apa yang mau Devan katakan padanya? Apa Devan mau mengatakan kalau dia menyukainya? Tidak mungkin. Bagaimana mungkin Vanya berpikir seperti itu. "Kau mau mengatakan apa?" "Aku mau mengatakan-" ada jeda disana "Selamat malam Vanya. Semoga mimpi indah." Vanya senyum-senyum sendiri, ternyata itu yang mau Devan katakan. Hanya ingin mengatakan itu bahkan sampai membuat Devan tidak bisa tidur. "Selamat malam juga. Semoga kau juga bermimpi indah." Devan mematikan telepon lebih dulu setelah Vanya selesai mengucapkan selamat malam padanya. Feli menatap Vanya, perempuan itu, katanya benci tapi saat Devan meneleponnya, Vanya justru terlihat bahagia. Feli tidak yakin rencana Vanya akan berhasil atau tidak melihat bagaimana Vanya saat ini. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD