7. MENELUSURI HUTAN

1717 Words
Stev berpamitan dengan orang tua angkatnya, kepala desa, dan para penduduk desa. Saat itu, semua mendukung dan berharap Stev berhasil mencapai tujuan serta pulang dengan selamat. *** Stev dan Khen mulai menelusuri hutan, mereka berjalan sambil mengobrol santai. Khen berencana menemani Stev hingga di seberang sungai yang ada di tengah hutan. "Khen, apa kamu berani pulang sendirian nanti?" tanya Stev sedikit ragu dan khawatir pada sahabatnya tersebut. "Kenapa harus takut, aku udah sering melewati hutan ini, meski sebelumnya tidak sendirian. Seharusnya kamu yang perlu dikhawatirkan, karena kamu akan sendirian di hutan selama beberapa hari," balas Khen balik khawatir. "Iya sih, kamu memang betul. Tapi aku gak takut sama sekali." "Nah, kamu yang lebih berbahaya saja gak takut. Seharusnya aku yang dekat dengan desa harus lebih berani donk," ucap Khen percaya diri. "Oke, baiklah. Aku gak perlu khawatir lagi padamu. Tapi, kamu harus selalu hati-hati, Khen," saran Stev. "Oke, kamu juga, Stev." Mereka berdua tersenyum dan yakin pada diri sendiri serta saling mendukung. Seperti itulah jika menjadi sahabat, harus selalu mendukung apa yang menjadi keputusan masing-masing. Jangan sampai mematahkan semangatnya, apalagi menyakiti hatinya, itu yang terpenting. Setelah melewati hutan beberapa menit, akhirnya mereka sampai juga di sebuah sungai tengah hutan. Di sungai inilah, Stev dan Khen akan berpisah. Sebelum berpisah, Khen ingin menitipkan sesuatu. "Stev, tolong jaga ini baik-baik. Ini adalah pisau legendaris milik kakek ku terdahulu. Pastikan ini kamu bawa pulang kembali, Stev. Kamu boleh memakai ini di sepanjang petualangan mu, semoga bermanfaat," ucap Khen sambil memberikan pisau itu, lebih tepatnya meminjamkan pada Stev. "Wah, keren sekali pisau ini. Ada ukiran naga juga di gagangnya. Sepertinya tajam," ucap Stev terkagum. "Kenapa baru kali ini aku melihatnya?" lanjut Stev bertanya. "Hehe, selama ini aku menyembunyikan pisau itu. Aku hanya memakainya saat perlu saja," jawab Khen. "Huft, tapi kenapa harus disembunyikan padaku juga Khen? Bukankah kita sahabat sejati?" "Maaf Stev, sebenarnya aku juga belum lama menemukan itu. Selama ini Ayah juga menyimpannya rapat-rapat. Aku baru pegang pisau itu sekitar 1 bulan yang lalu," jawab Khen menjelaskan alasannya. "Oh, jadi begitu. Oke, aku percaya padamu. Aku akan jaga pisau ini baik-baik! Aku juga berjanji mengembalikan pisau ini padamu." "Oke, aku tunggu kepulangan mu." Selanjutnya Stev ingin melanjutkan perjalannya yang pertama, yaitu mencari gua tempat bersembunyi kesatria hebat. "Baiklah Khen, aku berangkat dulu ya!" pamit Stev bersemangat. "Stev ...," panggil Khen, kemudian memeluk Stev sebagai salam persahabatan dan perpisahan sementara. Stev sedikit terkejut, tapi sesaat kemudian tersenyum. Dia tahu bahwa Khen sangat khawatir padanya, Khen tidak ingin jika harus menjadi pemimpin pemburu binatang selamanya. "Stev, jaga dirimu baik-baik. Aku percaya kamu pasti berhasil," ucap Khen. "Thanks, Khen. Aku senang, kamu selalu percaya padaku. Aku percayakan kepemimpinan pemburu binatang padamu, sementara ini," ucap Stev. "Oke, aku akan berusaha sebaik mungkin." Mereka melepas pelukan, kemudian Stev berbalik badan karena ingin berangkat. "Aku berangkat dulu, Khen. Sampai jumpa! Kita pasti akan bertemu lagi," ucapnya lalu berlari melewati bebatuan yang ada di sungai untuk menyeberang. "Baiklah, aku tau itu," balas Khen sambil teriak. Saat sampai di seberang sungai, Stev berhenti sesat untuk melihat Khen yang terakhir. Di seberang sungai sebelumnya, tampak Khen mengacungi jempol tanda kebanggaan. Stev tersenyum, kemudian mengacungi jempol juga. Setelah itu, melanjutkan perjalanan. "Stev, kamu benar-benar pemuda pemberani. Jauh lebih berani dari pada aku. Seharusnya aku belajar itu darimu," gumam Khen melihat Stev pergi hingga tidak terlihat. Khen pulang kembali ke desa, karena hari ini mulai menggantikan Stev untuk memimpin kelompok pemburu selama beberapa hari, mungkin lebih dari sebulan. Sebenarnya Khen ingin menemani Stev sampai di labirin Doom Hole, tapi Stev melarang keras, karena sangat berbahaya untuk Khen atau yang lain. Apalagi Stev harus mencari tempat persembunyian kesatria hebat, dan Kakek Chimon sudah memberi tahu bahwa jalan menuju ke sana sangat berbahaya dan banyak jebakan, ditambah pernah ada korban jiwa. Stev tidak ingin sahabatnya tersebut mendapat sesuatu yang buruk. Saat ada orang yang ingin ikut, sifat Stev berubah menjadi api, dia menolak keras siapa pun yang ingin ikut turnamen, hanya dirinya yang boleh mengikuti turnamen itu. Semuanya pun takut dan menuruti keinginan Stev, sehingga tidak ada yang berani ikut turnamen. Sejujurnya Stev sudah merasakan firasat buruk di turnamen itu, meski tidak yakin sepenuhnya. Oleh sebab itu, hanya dia yang boleh ikut turnamen, dia tidak mau jika ada korban selain dirinya. Jika pada akhirnya Stev gagal, cukup 1 korban saja di desa ini, yaitu Stev. Namun dia berharap akan berhasil dan kembali dengan keadaan selamat. Saat ingin melangkah, Khen kebelet kencing, lalu mencari semak belukar untuk membuang air seninya itu. Saat ingin kencing, dia menemukan jamur yang enak dan bisa dimakan, jumlahnya lumayan, jika diambil semua bisa lebih dari 1 kilo. "Wah, kebetulan. Bisa kubawa pulang nih. Uhh, tapi kencing dulu, udah gak tahan," ucapnya sedikit menjauh, agar kencingnya tidak mengenai jamur enak itu. Setelah selesai kencing, dia bergegas mengambil jamur lalu pulang secepatnya, Stev membawa pulang jamur menggunakan daun untuk membungkusnya. Dalam perjalanan, Khen berharap tidak ada binatang buas yang mengganggu. Di tempat Stev, dia menelusuri hutan dengan hati-hati. Hutan tersebut sangat luas dan lebat, butuh beberapa jam untuk keluar dari hutan. Menurut petunjuk di peta, Stev harus menemukan sungai lagi di depan. Perjalanan tidak begitu mudah, karena ada banyak semak belukar menghalangi jalan, Stev harus memotong semak belukar itu, dia memanfaatkan pedang yang dipinjam dari kakek Chimon. Sebenarnya Stev mencari jalan pintas, agar lebih cepat menuju hutan yang ada kesatria hebat itu, namun ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Seandainya melewati jalan yang biasa Stev dan teman-teman untuk mengunjungi kota, mungkin lebih mudah dan sedikit rintangan, akan tetapi jalan akan memutar dan butuh waktu cukup lama. Stev memberanikan diri memasuki hutan sendirian, dia sudah memikirkan resiko ini, berharap aman hingga sampai tujuan. Waktu terus berlalu, Stev berjuang keras menelusuri seisi hutan, dia harus berjalan lurus sebisa mungkin agar sampai tujuan. Terlihat Stev cukup lincah dalam melewati hutan, saat ada bebatuan, dia bisa lompat dengan gesit. Terkadang ada binatang melata seperti ular, kadal beracun, atau lainnya. Stev lebih baik tidak mengganggunya, dia memilih menjauh dari binatang-binatang melata itu, meski binatang itu juga sama-sama menjauh dan takut dengan Stev. Sebenernya Stev tidak takut, dia cuma tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk menangkap atau membunuh para binatang tersebut. "Huft, capek juga. Semangat, semangat!" ucap Stev. Beberapa menit kemudian, dia merasa lelah dan butuh waktu untuk istirahat. Namanya juga manusia, pendekar sehebat apapun pasti mempunyai rasa lelah, apalagi Stev belum menjadi pendekar, mungkin calon pendekar lebih tepatnya. Kecuali pendekar yang sudah dianggap bukan manusia lagi, entah itu memakai ilmu hitam atau makhluk dari luar angkasa. Matahari sudah tengah hari, seharusnya cuaca panas, akan tetapi karena di dalam hutan, maka terasa sejuk dan tidak panas, apalagi banyak pepohonan besar menghalangi sinar matahari. Stev mencari tempat aman dan nyaman untuk istirahat. "Di sini saja, sepertinya nyaman," ucapnya. Stev istirahat di atas bebatuan besar dan di bawah pohon. Sambil menyandarkan punggungnya di pohon, dia minum air yang dia bawa menggunakan botol. "Ah, segar sekali. Aduh, tinggal setengah. Semoga di depan sana ada sungai, jadi aku bisa mengambil airnya untuk bekal perjalanan berikutnya. Setelah minum, dia mengecek pisau milik Khen yang dia bawa. "Keren sekali pisau ini. Apakah ini memiliki kekuatan mistis?" gumamnya bertanya-tanya. Saat mengatakan itu, kedua mata Stev sedikit menyala, sepertinya bereaksi saat melihat pisau tersebut. Namun Stev tidak menyadari itu, dia hanya melihat seperti biasa. Stev ingin mencoba sedikit sesuatu dengan pisau itu. Ada sebuah pohon pisang di depannya sekitar 10 meter, dia melempar pisau itu. "Settt! Jlebb!" suara pisau menancap tepat di batang pohon pisang. Kemudian Stev ingin mengambil pisau tesebut kembali. Namun saat di dekatnya, tiba-tiba pisau itu copot sendiri dari batang pohon pisang, bahkan sedikit mendekat dengan Stev. "Loh, kenapa bisa? Apa yang terjadi?" ucap Stev bingung. "Oh, mungkin tancapan pisau tadi kurang dalam, sehingga kurang kuat dan mudah copot," lanjutnya menduga dan tidak mau memikirkan itu terlalu pusing. Sebenarnya tancapan pisau tadi itu cukup dalam, bahkan bilah pisau masuk ke batang pohon pisang hingga setengahnya. Sungguh aneh tapi ajaib. Stev kembali ke tempat duduk batu sebelumnya setalah mengambil pisau tersebut, dia ingin makan bekal nasi yang sudah disiapkan Ibunya sebelum berangkat tadi pagi. Sepertinya sangat enak, yaitu nasi dengan sayur tumis kangkung, sambal, dan ikan nila. Stev makan dengan sendok yang terbuat dari bambu halus, dibuat khusus untuk sekali pakai atau bisa juga dicuci lagi. Karena hanya dari bambu dan sederhana, jadi dibuang pun tidak masalah. Tempat makan Stev pun hanya memakai daun, hal itu agar mudah dibawa dan tidak perlu repot-repot membawanya lagi setelah dipakai, alias tinggal dibuang. "Makasih Bunda, masakan mu selalu lezat dan khas. Humm, yammy," ucapnya menikmati makan siang. "Bakal lama nih, gak merasakan masakan Bunda," lanjutnya. Sekitar 30 menit, Stev makan dan istirahat sejenak di situ. Dia menunggu agar makanan sedikit tercerna di dalam perutnya, karena kondisi kenyang tidaklah baik untuk berjalan, apalagi berlari atau bekerja keras. Selanjutnya, Stev melanjutkan perjalanan menelusuri hutan lagi. Waktu terus berlalu hingga sore, dan saat menjelang petang, Stev mencari tempat yang aman untuk tidur dan istirahat malam. Karena tidak baik melakukan perjalanan di malam hari, selain bahaya, kondisi hutan sangat gelap. Sampai saat ini, sungai kedua yang harus dia lewati belum ditemukan, mungkin sebentar lagi, tapi karena gelap sebentar lagi tiba, Stev harus bersabar. Stev mencari cellah untuk melihat ke arah langit, karena banyak daun dari pohon besar, jadi agak sulit dalam melihat langit. "Hmm, sepertinya cerah, jadi aman dan gak akan turun hujan," ucapnya. Stev melihat batu besar di tengah hutan, dia berencana tidur di atas batu itu agar aman dari binatang buas, atau binatang kecil yang beracun. Steve mencari dedaunan lalu dijadikan satu, ternyata dia membuat bantal dari daun. Setelah itu, memotong banyak ranting pohon kecil yang daunnya lebat, dia ingin membuat alas tidur agar tidak begitu keras dirasakan, karena batu itu kurang halus. Sore tadi, Stev sudah makan beberapa buah yang dia temukan di sepanjang perjalanan, seperti pisang matang dan manggis. Hari sudah gelap dan tempat tidur Stev sudah jadi, saatnya tidur. Sepertinya cukup empuk kasur buatan Stev dari banyak dedaunan. Stev ditemani sinar bulan yang kebetulan sampai di situ, karena dia atas batu besar itu, kebetulan daun pohon besar tidak menghalangi pandangan ke langit. Sebelum tidur, Stev membayangkan para penduduk di desa, dia berdo'a semoga para penduduk aman dan tenteram. Saat rebahan, Stev juga melihat gelang pemberian Vivi, tangannya diangkat seraya berkata, "Vivi, sebenarnya apa maksudmu memberikan ini?" Stev tersenyum, kemudian meluruskan tangannya dan memejamkan kedua mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD