| 02

903 Words
Cattleya memikirkan percakapan tidak masuk akal yang baru saja dia alami sore tadi. Sekarang pada ponselnya, sudah ada nomor telepon Raphael. Baru sedetik yang lalu percakapan mereka terhenti. Dan baru sedetik yang lalu gadis itu berhenti memikirkan kejadian hari ini. Memikirkan kebetulan-kebetulan hari ini. Kebetulan-kebetulan yang merupakan takdir Tuhan. Juga memikirkan sebuah perasaan familiar yang asing itu. "Ternyata dia nyambung juga." Rasanya sedikit aneh saat ada orang asing yang dikenal dengan cara yang sedikit mustahil. Cattleya mungkin memang gadis yang tidak cukup tertutup, tapi dia juga bukan gadis yang akan berteman dengan orang-orang asing begitu saja. Raphael jelas sangat asing baginya. Dan dirinya juga asing bagi Raphael. "Tapi, genggaman tangannya berkesan banget. Kayaknya sih, aku pernah ketemu sama dia. Tapi di mana?" Leya berguling pada kasur berseprai biru muda. Gadis itu menatap langit-langit kamar yang terhias berbagai macam tempelan benda luar angkasa. Bintang-bintang glow in the dark bertabur di atas sana dengan tempelan-tempelan dua dimensi planet-planet tatasurya. Tangannya terjulur ke atas, seolah ingin bersalaman dengan siapa pun di atas sana. Atau mungkin, gadis itu hanya ingin mengingat kejadian sore tadi. "Raphael Althafandra, ya. Aku bahkan nggak tahu dia sekolah di mana." Leya memejamkan mata, mengucapkan nama Raphael berulang kali dalam kepalanya. Dan jatuh tertidur pada pengucapan yang ke sekian. Gadis itu larut dalam mimpi-mimpinya tentang kerajaan. Tentang negeri ahli sihir dengan makhluk-makhluk mistis.                                                                                        ✉    ✉    ✉ Raphael tidak bisa tidur. Matanya masih menatap nyalang, waspada pada sekitar. Padahal ini lewat tengah malam dan di luar sangat sunyi, harusnya dia bisa tertidur dengan mudah. Tapi, rasa kantuknya langsung menghilang saat mendengar bunyi 'klik' kecil. Saat pertama kali membuka mata, Raphael sudah berkeringat dingin. Tubuhnya juga sudah kaku karena berada dalam posisi yang sama selama tiga puluh menit. Tenggorokannya sakit karena berulang kali menegak ludah sendiri. Tangannya berkeringat dingin dan pikirannya tertutupi kabut kalut. Raphael takut dengan gelap karena baginya, gelap adalah tempat para monster dan hantu muncul. Intinya, dia takut hantu. "Bunda." Suaranya keluar dalam bentuk teriakan. Tubuhnya masih setia terpaku pada kasur dengan bola mata yang bergerak gelisah. "Bun!" "Bundaaa!" Baru saja Raphael ingin membuka suara lagi, pintu kamarnya sudah terbuka dengan keras. Ada seorang perempuan paruh baya dengan daster kebesaran yang datang. Terdapat lilin ditangannya dan Raphael menjerit kencang. Takut pada wajah kabur bundanya yang mengerikan. Menurut Raphael, bundanya terlihat seperti seorang dari kalangan sekte pemuja iblis. Dan Raphael takut akan hal itu. "Duh sayang, ini Bunda loh. Jangan teriak-teriak gitu. Suara kamu nge-bass banget, nanti malah bangunin yang lain." Raphael mulai merasa sedikit tenang. Meskipun detak jantungnya masih seperti sehabis maraton. Tangan bundanya terulur, mengusap rambut hitam Raphael yang basah oleh keringat. Lilin dalam cawan beliau letakkan pada nakas. Sedikit cukup untuk menerangi kamar Raphael yang luas. "Bunda tidur di sini, ya? Rafa takut, Bun." "Rafa kan udah besar sayang, masa masih takut sih? Malu sama roti sobek kamu." "Bun serius deh. Bunda kan tahu Rafa nggak suka sama gelap. Rafa nggak takut sama malu, Rafa lebih takut sama yang suka muncul tiba-tiba. Please, temenin Rafa ya, Bun? Rafa nggak mau tidur Rafa diganggu setan." "Makanya kamu dateng kalau ada acara keagamaan, jangan malah keluyuran nggak jelas di luar sana. Mau tidur juga doa, biar dilindungi sama Tuhan." "Percuma Bun, hantunya tetep muncul." Bunda hanya menghela napas kasar, "Hantu, setan, monster, iblis itu cuma ada di khayalan kamu aja. Di sini nggak ada apa-apa, kamu aja yang terlalu paranoid." "Tapi Bun, Rafa beberan takut. Gimana kalau ada yang nongol dari balik lemari? Atau muncul di cermin? Dari kolong tempat tidur? Atau ... lagi jalan terbalik di langit-langit? BUNDAAA!" "Astaga Rafa." Raphael masih saja berteriak histeris karena terjebak dalam imajinasinya. Cowok itu sangat terlihat seperti bukan dirinya. Bukan seperti Raphael yang beringas dan ganas. Raphael lebih terlihat seperti anak laki-laki berumur lima tahun yang masih pipis di celana. Dan laki-laki itu tidak peduli jika hal itu menjadi kenyataan. Raphael memang tidak peduli dengan kondisinya yang akan selalu takut pada hal-hal tak kasat mata. Dia tidak akan malu jika orang-orang tahu mengenai kondisinya. Tidak akan merasa sakit hati saat mereka tidak lagi menatapnya takut. Raphael justru merasa senang. Namun sayang, masih tidak ada yang tahu tentang hal ini. Tentang dirinya yang penakut. Dan hal ini, membuatnya tidak bisa lepas. "Rafa." Suara bundanya tidak dirinya hiraukan. Raphael masih berteriak tidak jelas dan ketakutan. "Bunda jangan pergi! Please aku nggak mau ditinggal sendirian." "Raphael!" Cowok itu langsung terdiam seketika, "I-iya, Bun?" "Itu ponsel kamu kedap-kedip dari tadi. Ada panggilan masuk dari Hana." Wajah bundanya tersenyum geli. Wanita paruh baya itu berbalik. "Kayaknya kamu bisa tidur sendiri malam ini. Bunda nggak mau ganggu waktu kamu sama pacar kamu." "Buun!!" Raphael merengek. Kesal dengan senyuman mengejek yang bundanya beri dan juga kesal karena bundanya masih mau meninggalkannya. "Sudah angkat sana. Bunda ada di bawah, turun aja. Jangan teriak-teriak kayak tadi. Malu sama pacarnya." "Astaga Bunn!!" Raphael kembali menjerit sebelum mengatur napasnya yang sedikit memburu. Tubuhnya masih sedikit gemetar dan rasa takut masih berada di sana. Terlebih kamarnya yang kini diselimuti cahaya temaram dari lilin membuat bayangan dari barang-narang muncul. Hal ini lebih menakutkan daripada diam di tempat gelap. "Halo?" Suaranya praktis bergetar. " Hai! Aku kaget banget, kamu angkat teleponnya." Nada itu ceria, berbanding terbalik dengan kondisi Raphael yang mulai berkeringat dingin. "Maaf ya, ganggu kamu malam-malam gini. "Honestly, kamu penolong banget Han." "Hm? Emang kenapa? Eh, bentar-bentar ... kamu habis ngapain kok kayak ngos-ngosan gitu?" "Aku takut, Han." Bodo amat deh sama malu, keburu takut anjir!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD