| 03

1197 Words
Cattleya menatap kosong pada papan tulis. Ingatannya terputar pada percakapan tidak sengaja yang Leya mulai dengan Raphael tadi malam. Dia tidak menyangka laki-laki dengan tampang lumayan dan penampilan amburadul seperti dia, akan takut dengan hal tak kasat mata. Gadis itu kira ketakutan bukanlah hal yang penting bagi Raphael. Leya mengikik geli. Ternyata malah segede itu? Lucu juga ya, penampilannya sangar tapi, takutnya sama setan. "Putri Bunga pagi-pagi udah ketawa-tawa aja. Kesambet setan mana, Non?" Seorang gadis dengan kerudung putihnya datang, mengalihkan atensi Cattleya. Gadis itu segera duduk di depan meja Leya, memutar badan, dan memandang aneh ke arah Cattleya yang masih saja tertawa kecil. Membuat penasaran saja. "De percaya nggak sih? Kalau aku ketemu cowok yang ganteng, tampilan sangar ala-ala badboy, tapi takut hantu?" Dhea melongo, mengulurkan tangan, memeriksa dahi gadis itu. "Nggak panas kok. Tapi, kenapa ngomongnya nggak jelas gini? Beneran kesambet ya, Ca?" Leya menatap riang pada siswi pemilik kulit seputih s**u itu. "Aku enggak kesambet. Aku beneran ketemu dia senja kemarin di salah satu taman." Dhea memilih mengangguk saja. Membenarkan dan percaya dengan perkataan gadis di depannya ini. Meskipun, Cattleya masih tidak memberikan bukti konkret padanya. Yang penting dengarkan saja dulu kesaksiannya. "Terus? Menurut lo dia gimana?" Gaya bicaranya mulai serius. Tidak lagi bernada main-main seperti tadi. "Nggak gimana-gimana sih." Ringan sekali Cattleya menjawab. "Awalnya aku takut, tiba-tiba ada yang nyamperin. Mana cowo lagi, penampilannya berantakan. Tambah ngeri aku. Eh ... pas tahu dia takut hantu malah jadi lucu. Ngakak parah aku." Dhea terlihat berpikir, mengabaikan temannya yang sudah tertawa-tawa tidak jelas lagi. "Kalau mukanya?" "Muka? Ganteng." Setengah tertawa Cattleya menjawab. "Sifat, baik?" "Baik banget!" "Suka?" "Suka banget!" Tidak sampai sedetik gadis itu langsung menjawab lagi, tersadar. "Eh? Bukan suka yang gitu! Ih Dhea ngasih pertanyaan asal njeplak!" "Ahahaha ... lagian lo ketawa mulu. Tapi suka nih? Cieeee ... apa aku akan dapat PJ sebentar lagi?" Cattleya memukul gadis itu dengan buku di tangannya. Bukan pukulan keras tapi, lumayan untuk menyalurkan perasaan malu yang tiba-tiba menjalar pada dirinya. Kok jadi malu sih? "Namanya siapa, Ca?" Leya mengalihkan pandangannya. Menatap ke arah Dhea yang menaik turunkan kedua alisnya. Raut wajahnya masih saja jahil dan mengesalkan. "Raphael." Gadis itu bisa menangkap gurat keterkejutan yang hadir pada wajah manis Dhea. Gadis itu sangat terkejut hanya karena mendengar nama Raphael. Leya meletakkan sebelah tangannya pada tangan Dhea, menatap penuh khawatir raut pucat di hadapannya. "De? Kenapa? Kamu kenal sakit?" "Eh ... em gimana ya." Dhea terlihat bimbang harus mengatakan hal ini atau tidak. Karena hal ini mungkin akan sangat mengejutkan Leya yang sedang dalam proses mengenal seorang Raphael. Tapi gue tetap harus bilang, mumpung masih belom kejauhan. "De?" Ditatapnya Leya dengan serius, "Jauhin Rafa ya, Ca." "Hah? Apaan sih? Kok tiba-tiba bilang jauhin Rafa. Siapa juga Rafa?" "Rafa itu nama panggilannya Raphael. Please, lo harus jauh-jauh dari itu setan." Setan? Kini, giliran Leya yang kebingungan. Gadis itu sama sekali tidak menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh Dhea. Sama sekali tidak. Leya bahkan tidak menemukan perangai mana dari seorang Raphael yang seperti setan, kecuali dari segi penampilannya. "Emang alasannya apa?" Dhea menggeleng, tidak akan pernah memberitahukan alasan dibalik permintaannya itu. "Pokoknya lo harus jauhin itu anak. Dia enggak baik buat lo!" "Nggak baik dari mananya? Dia baik banget kok sama aku. Dia kemarin udah nganterin aku pulang. Dia juga nggak pernah macem-macem kok sama aku, masa masih dibilang nggak baik?" Melihat Leya yang masih membela Rafa, Dhea menjadi semakin tidak enak kepada temannya itu. Di satu sisi, jelas Dhea tidak sudi untuk membiarkan Raphael mengenal dekat Leya. Mereka tidak boleh bersama. "Please, nurut aja ya, Ca? Lo cuma bakalan jadi mainan dia aja. Please jauh-jauh dari setan itu." Entah dorongan dari mana, tapi Leya merasa dirinya tidak perlu untuk menjauh dari Rafa. Dia tidak mau. Karena menurutnya Raphael bukan jenis orang yang akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak pada temannya. Kalau dia emang mau ngelakuin hal-hal aneh, udah dilakuin dari kemaren kali, Ley. "Enggak. Aku belum lihat sendiri dia ada niat macem-macem sama aku." "Cattleya, sekaㅡ" "Enggak. Biarin aku lihat sendiri. Lagian, belum tentu dia satu orang." Tekad Leya bulat, kalau memang orang itu akan bermain-main dengan dirinya, Leya akan menerimanya dengan banyak strategi. Dhea bisa melihat hal ini dari pancaran mata cokelat Leya. Gadis itu benar-benar berambisi untuk mengatakan Rafa bukan seperti apa yang Dhea pikirkan. "Jangan nekat, Ca! Kalau lo nggak percaya, lo bisa tanya sama anak-anak. Semua orang kenal siapa Raphael the Demon. Dan gue yakin dia Raphael yang sama." Leya tidak menanggapi, gadis itu memilih untuk mengambil ponselnya. Mengetik balasan untuk pesan-pesan yang masuk. Tidak lagi menghiraukan segala ucapan Dhea. Gadis itu kan sudah bertekad untuk mencari tahu segalanya.                                                                                         ✉    ✉    ✉ From : Hana Al Kamu punya reputasi buruk ya? Raphael mengerutkan kening, beberapa detik dia membalas pesan tersebut. Lalu keduanya tanpa sadar sudah saling mengirimkan pesan balasan selama sepuluh menit lebih, membuat beberapa teman Raphael merasa aneh dengan kelakuannya yang tidak biasa. "Punya pacar baru, Bang?" Seorang dengan tindik di telinga kirinya bertanya. Baju seragamnya sudah terlepas entah di mana, digantikan oleh sebuah kaos hitam dengan gambar tengkorak di depannya. Terlihat sangar dengan rantai yang menyelip di antara ikat pinggang dan kantung belakang celananya tapi, wajah anak itu sama sekali tidak cocok. Dia sangat imut. Apalagi tubuh kurusnya hanya membuat dirinya terlihat seperti anggota boyband yang sedang cosplay. "Hm, kayaknya nggak mungkin. Semua cewek Rafa, nggak pernah bikin dia senyam-senyum gitu. Paling mentok, diladenin kalau lagi gabut. Sisanya ditinggal maen poker. Disayang-sayang kalau ada butuh doang." Seorang lainnya menyahut, penampilannya sama berandalannya. Hanya saja seragamnya masih melekat dengan benar, meskipun sudah tidak terkancing dan keluar dari celananya. Kalau dilihat lebih teliti, ada sebuah tato bintang di dekat lehernya. Tapi itu sangat kecil, hingga hanya bisa dilihat dari jarak yang sangat dekat. Wajah datarnya yang rupawan cukup menolong tampilan badboy-nya. "Terus menurut kalian siapa? Gebetan baru atau mainan barunya?" Kali ini seorang dengan tampilan yang berbeda yang melontarkan kalimat tanya. Dia sangat terlihat mencolok dengan wajah berkacamata yang membingkai dan seragam yang dikenakan secara rapi. Sangat tidak cocok dengan anak-anak badung yang berada di sana. "Napa lo pada kepo?" Raphael yang sedari tadi terganggu, akhirnya bertanya balik. "Sewot aja si Abang." "Makanya jangan senyam-senyum sendiri. Dikira sinting, kan." "Mainan baru ya, Raf? Nanti buat gue ya?" "Kok buat lo, Bang Je?" Si cowok imut itu terlihat bingung dengan permintaan si kacamata. "Ajakin ONS lah. Bekas Rafa bagus-bagus." Tangan Raphael menggebrak meja. "Lo pada bisa diem, nggak?" Pikirannya mendadak pusing mendengar ucapan tiga orang sahabatnya itu. "Tuh kan, Bang Rafa jadi marah. Brisik sih kalian." "Lo juga berisik Dodit!" Si cowok imut itu mendapat geraman dari dua orang seniornya. Sedangkan Rafa sendiri kembali tenggelam dari ponselnya. Menunggu balasan dari Hana alias Cattleya. Gadis itu tidak lagi fast response seperti tadi. Pelajaran kali ya? Anak baik sih, mana mungkin bolos. "Tapi Raf, serius, kalau ini mainan baru ntar kasih gue ya." Si kacamata yang bernama Jefri itu terlihat antusias. Penampilannya mungkin memang baik-baik, tapi itu hanya topeng. Dari semua orang yang ada di sana, dia yang paling b******k. Paling suka untuk bermain dengan perempuan. Apalagi perempuan-perempuan bekas Raphael. "Enggak. Yang ini bukan mainan." Perkataan Raphael hanya mengundang kebingungan bagi tiga orang di hadapannya. Cowok itu lantas bangkit, mengambil jaket hijau dan kunci motor. Malas melihat tampang konyol ketiga sahabatnya itu. "Cabut gue. Izin sakit ya, Pak Ketua."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD