Olivia menggeliat pelan dalam tidurnya, merasa tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya. Ya, wanita itu baru saja tertidur dua jam yang lalu, mengingat permainan yang diminta oleh Richard seakan tak ada habisnya semalaman ini. Ia merasakan ada lengan hangat yang menggelayut dipinggangnya. Kedua matanya mulai terbuka, masih tampak sayu. Ia menoleh kesamping dan menemukan wajah damai pria yang tertidur disampingnya.
Sudut bibir Olivia tertarik sempurna, kembali teringat dengan malam panas yang baru saja mereka lalui. Entah berapa kali pria itu mengganti kondomnya yang terasa penuh dan anehnya, Olivia tidak merasa jenuh melayaninya.
“Wajahnya tampak damai.” Gumamnya serak.
Wanita itu merapatkan bibirnya saat merasa gerakan pelan dari pria itu. Richard menggeliat dalam tidurnya, menarik tubuh Olivia semakin merapat padanya. Wanita itu tersenyum kecil merasakan pelukan hangat pria itu. Masih sama, terlalu protektif. Dan lagi-lagi, wanita itu sama sekali tidak keberatan. Olivia selalu merasa jenuh dan bosan pada setiap pelanggannya jika meminta percintaan lebih dari tiga kali. Namun malam ini, Richard William sama sekali tidak meminta dan hanya melakukan apa yang ia inginkan pada tubuhnya. Dan itu ia lakukan lebih dari enam kali.
“Ya Tuhan,” gumam Olivia setengah memekik ketika melirik jam dinding, “Sudah pukul sembilan pagi?”
Olivia berusaha menyingkirkan lengan Richard yang masih memeluknya erat. Dengan hati-hati tanpa ingin membangunkan pria itu, ia merangkak turun dari ranjang. Mengutipi pakaiannya yang berserakan di lantai. Setelah berpakaian lengkap dan memperhatikan penampilannya, ia meraih tas tangannya dan melirik Richard yang masih tertidur pulas, “Semoga harimu indah.” Ucapnya pelan sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
Senyuman Olivia tak berhenti terkembang, ia melenggang dengan santai seakan tak memiliki beban apapun lagi diatas punggungnya. Wanita itu mulai membayangkan kehidupan normalnya setelah ini di rumah sederhana miliknya dan adik perempuannya, Angela Sinclair. Selama ini, ia memang selalu bekerja demi Angela yang sedang melangsungkan sekolahnya. Bahkan gadis itu sedang mengurus pendidikannya di salah satu Universitas terkemuka dinegara itu. Angela tinggal bersama seorang wanita bernama Jane. Jane adalah bibi mereka. Wanita bertubuh gempal itu tinggal dirumah Olivia untuk menjaga Angela selama ia bekerja. Sayangnya, suami dari wanita baik itu membuat masalah beberapa bulan yang lalu. Surat tanah rumah Olivia ia gadaikan demi kesenangan hidupnya dan setelah itu ia pergi melarikan diri.
Jane merasa sangat malu atas kelakuan suaminya, namun Olivia sama sekali tak ingin menyalahkannya. Jane sudah terlalu baik padanya dan juga Angela. Oleh karena itu ia lebih memilih menebus surat tanah itu pada seorang rentenir. Angkanya tidaklah kecil, 70.000 Dollar. Hingga Olivia harus mempekerjakan tubuhnya sedemikian rupa demi mengumpulkan uang sebanyak itu. Belum lagi ia harus mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan adik perempuannya.
“Semuanya akan segera selesai setelah ini.” Desahnya gembira.
Olivia merogoh tasnya saat merasa ada getaran dari sana, ia menatap layar ponselnya yang menampakkan nama si penelepon. Angela, “Hallo?”
“Oliv, cepatlah pulang. Disini benar-benar kacau!” teriakan Angela membuat dahi Olivia berkerut. Belum lagi ia sempat mendengar teriakan-teriakan dari sana.
“An, apa yang terjadi?” tanya Olivia bingung.
“Sam, paman Sam datang dan mengacau.”
***
“Ya Tuhan, apa yang terjadi?!” pekik Olive melihat keadaan rumahnya yang teramat kacau. Semua isi rumahnya tampak hancur dan berserakan. Ia menatap sekeliling rumahnya yang tampak tak berbentuk lagi. Tatapan lirihnya berakhir pada Jane yang tampak tersungkur disudut ruangan.
Jane berhambur memeluk kaki Olivia dengan buercucuran air mata, “Maafkan aku, Oliv. Demi Tuhan, maafkan aku. Pria berengsek itu kembali dan mengahancurkan segalanya, dia menghancurkan rumahmu.” Isak Jane histeris.
Olivia merasa linglung, pemandangan itu cukup membuat ia merasa shock. Ia melemparkan pandangannya pada Angela yang duduk mematung diatas kursi kayu. Gadis itu tampak begitu pucat disana.
“Ti-tidak apa-apa, Bi. Sudahlah, jangan berlutut seperti ini.” Olivia menarik lengan Jane dan membantunya berdiri. Meski begitu tatapan matanya tidak beralih dari Angela yang masih diam mematung.
“An, kau baik-baik saja?” tegurnya setelah seperkian detik keadaan mulai menyepi.
“Tidak, dia pasti sangat hancur karena ini,” Jane yang kembali meneteskan air mata. Ia menyentuh kedua telapak tangan Oliv dan kembali meraung. “Oliv, pria berengsek itu telah membawa semuanya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Mem-membawa apa? Bibi kumohon tenanglah, aku tidak mengerti dengan ucapanmu.”
“Sam membawa uang yang kita siapkan untuk menebus surat tanah rumah ini beserta biaya pendidikanku.”
Oliv membelalakkan kedua matanya pada Angela ketika gadis itu berujar. Kakinya terasa lemas seketika. Kepalanya kosong dan ia tidak dapat memikirkan apapun lagi saat ini. Yang ia tau hanya satu, sebentar lagi mereka pasti akan tinggal di jalanan.
***
Richard mencampakkan sebuah file pada wajah sekertarisnya dengan kasar hingga wanita itu terperanjat. Wajahnya menatap penuh amarah pada wanita yang sudah gemetar karena ketakutan olehnya, “Apa kau kubayar untuk ini?” desisnya dengan gigi yang saling bermeretak, “Bagaimana bisa kau salah dalam mengatur jadwalku?! Hal semudah ini saja kau tidak bisa melakukannya, Miss. Carly?” suaranya terdengar berat dan penuh penekanan.
Richard mengangkat gagang teleponnya, menekan satu tombol dan kini ia telah tersambung dengan seseorang, “Alex, keruanganku sekarang.” Perintahnya.
Tidak butuh menunggu lama, Alex telah tiba di ruangannya. Melirik sekitar dan lebih menjadikan Diana Carly, sekertaris atasannya sebagai object pandang utama. Ia berjalan beberapa langkah hingga berada di samping Richard yang duduk di pinggiran kursinya. “Ada masalah, Tuan?”
“Ya, cepat singkirkan dia dari perusahaanku dan carikan aku segera sekertaris baru.” Jawabnya tenang.
Pekikan tertahan terdengar dari Diana Carly. Ia menatap Richard memohon namun pria itu sama sekali tidak memandangnya. Hanya Alex yang tampak meliriknya sekilas sebelum mengangguk singkat pada Richard.
“Nona, sebaiknya kau ikut denganku.”
“Tidak!” jawab Diana cepat, “Mr. William, kumohon maafkan aku. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku berjanji akan bekerja dengan baik.” Mohonnya.
Tapi Richard tidak bereaksi. Lalu Alex dengan cepat menyeret Diana dari sana agar Richard tidak lagi menemukan gadis itu di hadapannya.
“Sial!” umpatnya kasar ketika ia kembali menghempaskan diri pada kursi kerjanya. Ia memijit dahinya pelan saat lagi-lagi bayangan Olivia melintasi ingatannya. Ia kembali teringat pada percintaan panas mereka tadi malam, tapi pagi ini gadis itu berhasil membuat moodnya memburuk beratus kali lipat. Pasalnya, Richard tidak dapat menemukan Olivia dimanapun ketika ia membuka mata. Ia bertanya pada Alex dan pria itu menjawab jika Olivia memang pergi meninggalkan hotel pukul 9 pagi saat ia masih tertidur.
***
“Kita laporkan saja dia pada polisi. Pria berengsek itu harus menerima akibatnya!” geram Angela dengan kedua tangan yang terkepal menahan emosi. Ia duduk di atas lantai yang kini telah tampak bersih setelah Jane membersihkan semua pecahan barang-barang.
Olivia belum bersuara. Ia masih duduk diam menyandar pada sudut dinding dengan kedua kaki saling bertekuk. Bibirnya seakan kelu untuk sekedar bicara. Hanya melemparkan pandangan kearah luar jendela.
“Aku yakin dia masih berada di sekitar sini untuk kembali berjudi dan memamerkan uang curiannya pada semua teman-temannya. Dan kupikir kita bisa pergi kesana untuk mencari keberadaannya. Aku tau dimana ia sering_”
“Tidak, An.” Sela Olivia meski ia masih menatap keluar jendela.
“Tidak?” erangan Olivia terdengar, “Lalu saat ini apa yang akan kita lakukan?!” teriaknya.
Melihat itu, Jane segera menghampiri Olivia. Ia duduk menghadap gadis itu hingga akhirnya Olivia menoleh padanya, “Jangan cemaskan aku. Dia sudah tidak berarti lagi bagiku, Olivia. Lebih baik pikirkan masalah rumah ini dan An. Kupikir dia benar, satu-satunya cara untuk menghentikannya hanyalah melaporkannya pada polisi.” Ujar wanita itu lirih.
Olivia menggeleng pelan dan berusaha tersenyum, “Tapi dia masih suamimu, Jane. Aku tidak ingin melakukan itu. Lagi pula, kita tidak tahu bagaimana nasib uang itu saat ini. Mungkin saja dia telah menghabiskannya dan usaha kita melaporkannya hanya sia-sia.” Olivia menggenggam kedua tangan Jane.
“Tapi_”
“Masalah rumah ini biar aku yang tangani.”
“Caranya?” sela Angela.
Olivia menarik nafas panjang, “Aku akan kembali pada John.” Desahnya.
“Tidak!” pekik Angela histeris. Ia segera berdiri dan berjalan mendekati Olivia. Berdiri penuh amarah di hadapan kakaknya, “Kau ingin menjual dirimu lagi?! Sudah cukup, Oliv. Sudah cukup selama bertahun-tahun ini kau menjual dirimu layaknya seekor binatang. Aku tidak ingin melihatmu seperti itu lagi!” teriaknya dengan air mata yang mulai mengotori wajahnya.
“Tidak ada jalan lain, An. Kita harus menyelamatkan rumah ini dan pendidikanmu.”
“Persetan dengan semua itu! Rumah dan pendidikanku tidak begitu penting dari pada kau! Aku hanya butuh kau kembali hidup normal seperti dulu! Bukan kau yang menjadi seorang wanita panggilan!”
“Tapi rumah ini adalah peninggalan Ibu dan Ayah! Tidakkah kau mengerti?” d**a Olivia tampak bergemuruh menahan emosi yang membuncah. “Disini semua kenangan kita tentang mereka ada. Disini kita dilahirkan. Menurutmu apa kita harus kehilangan satu-satunya peninggalan Ayah dan Ibu?! Lalu pendidikanmu! Kau tahu aku tidak lagi bisa menjalankan hidupku layaknya wanita normal. Lalu apa aku harus melihat adikku melakukan hal yang sama sepertiku?!”
“Aku bisa mencari pekerjaan selain itu, Oliv. Pendidikan itu tidaklah begitu penting.”
“Tapi Ayah dan Ibu menginginkan kau menjadi seperti itu!” Olivia berdiri dari tempatnya dan menatap Angela penuh amarah, “Mereka ingin melihat kedua anaknya hidup dengan baik dan terhormat. Aku tidak bisa lagi mewujudkannya. Hanya kau yang tersisa, An. Hanya kau!”
“Jangan kau pikir setelah_”
“CUKUP!” Olivia mengangkat kedua tangannya agar Angela berhenti bersuara, “Aku lelah dan tidak ingin berdebat. Aku akan keluar dan mungkin tidak akan kembali malam ini.” Ia mengambil tas tangannya dan segera beranjak dari sana.
***
“Dia tidak bekerja lagi?” Richard melemparkan tatapan menuntutnya pada Alex yang mengangguk kecil. Setelah itu rahangnya tampak mengeras seiring sebelah tangannya melonggarkan ikatan dasinya. “Kenapa?”
“Aku menerima laporan jika kemarin malam adalah malam terakhir kalinya ia bekerja. Dan malam itu ia habiskan denganmu, Tuan.” Jelas Alex dengan suara rendah penuh kontrol.
“Kau sudah mencaritahu siapa gadis itu?” kini Richard meraih segelas wine yang berada di atas meja bar yang terdapat dalam rumahnya. Menuangkannya kedapan gelas dan meneguknya hingga habis.
“Ya, tapi tidak begitu banyak.”
“Apa itu?”
Alex berdem pelan, “Olivia Sinclair, dua puluh delapan tahun. Tinggal di sebuah apartement kumuh dipinggiran kota. Namun memiliki sebuah rumah sederhana di Manhattan. Disana ada seorang wanita bernama Jane, Bibinya dan juga Angela Sinclair, adiknya. Ayah dan Ibunya sudah meninggal beberapa tahan yang lalu.” Jelas Alex singkat.
Dahi Richard mengernyit, “Itu saja?”
“Ya, Tuan. Seperti yang kukatakan, tidak banyak informasi mengenai gadis itu karena latar belakang sosialnya yang tidak begitu baik. Beberapa kalangan hanya mengenalnya sebagai partner seks yang mengagumkan dan mereka tidak mau bersusah payah untuk mencari tahu latar belakang Olivia. Jika mereka ingin, maka hanya tinggal menghubungi John.”
“Lalu dimana dia saat ini?” sambungnya.
“Ada yang mengatakan jika ia kembali ke Manhattan, namun setelah aku periksa dia tidak ada lagi disana. Beberapa orang mengatakan jika ia telah kembali meninggalkan rumah siang ini.”
Richard kembali memijat pelan dahinya. Pria itu kembali menginginkan Olivia sebagai partner seksnya. Belum pernah selama ini ia menggunakan seorang wanita untuk beberapa kali bercinta. Biasanya ia akan membuang wanita itu begitu saja dan tidak lagi mau memakainya. Tapi kali ini berbeda. Ia sangat menginginkan Olivia dalam dekapannya.
“Alex.” Panggilnya.
“Ya?”
“Cari lebih banyak lagi informasi mengenai Olivia. Lakukan apapun untuk mencari wanita itu dan segera bawa kehadapanku.”
“Baik, Tuan.”
Richard mengangguk sekali, “Kau boleh pergi.” Suruhnya.
Alex tampak memandang Richard ragu. Namun tatapan itu dapat di lihat oleh Richard.
“Kenapa?”
“Maaf, sebelumnya Tuan. Tapi, apa malam ini kau tidak ingin pergi mencari wanita seperti biasanya? Kupikir biasanya tugasku akan selesai setelah itu.” Jawan Alex penuh sopan.
Richard mendengus dan kembali meneguk wine miliknya, “Tidak! Olivia Sinclair telah membuatku tidak berselera untuk menatap wanita manapun lagi. Aku hanya menginginkan dia, Alex. Maka itu kuharap kau bekerja dengan cepat.”
***
Olivia berjalan cepat memasuki sebuah Bar dimana tempat ia bekerja seperti biasa. Tapi kali ini, tempat itu bukan lagi tempatnya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Ya, kemarin ia telah resmi keluar dari sana atas persetujuan John. Namun, karena ulah Sam ia harus kembali memohon pada John untuk mempekerjakannya kembali dan sedikit melakukan negosiasi pada pria itu.
Batas waktu membayar uang pinjaman yang di lakukan Sam hanya tinggal beberapa jam lagi. Malam ini ia harus segera membayarnya dan jika itu tidak ia lakukan, maka ia dan adiknya akan kehilangan rumah itu begitu saja. Uang yang Sam pinjam bukanlah sedikit dan dia harus segera mendapatkannya siang ini. Tadi malam ia sudah pergi kesana untuk mencari John, sayangnya pria itu memiliki kesibukan lain hingga Oliv terpaksa menundanya pagi ini.
“Jack!” Olivia melambaikan tangannya pada seorang pria bertubuh tegap. Pria itu adalah kaki tangan John selama ini.
Jack membalas lambaiannya dan menyuruh Olivia mendekat. Suasana Bar saat ini cukup sepi meski masih ada beberapa pengunjung disana dengan pasangan masing-masing. Ada yang dalam keadaan mabuk dan ada juga yang dalam keadaan habis bercinta. Tapi Olivia tidak mempedulikan hal itu karena urusannya lebih penting saat ini.
“Dimana John?” tanya Olivia langsung.
Jack membulatkan bibirnya, “John? Ya Tuhan, aku lupa mengatakan padanya jika kau ingin bertemu. Maafkan aku, Oliv. Tapi John sudah pergi meninggalkan New York beberapa jam yang lalu.” Jawabnya penuh sesal.
. “A-apa? Ya Tuhan…” Olivia meremas rambutnya frustasi. Wajahnya semakin tampak pucat saat ini. “J-Jack, apa kau tahu kemana dia pergi?”
“Ya. John pergi ke Paris.”
Paris? Aku tidak mungkin dapat mengejarnya….
“Oliv, ada yang bisa kubantu? Wajahmu begitu pucat.” Tegur Jack.
Olivia menggeleng pelan. Ia menggigit bibir bawahnya kuat saat merasa sebentar lagi akan segera menangis. Tanpa menunggu lama ia segera meninggalkan Bar itu. Bagaimanapun ia tidak mau ada yang melihatnya menangis.
Olivia berjalan gontai menyusuri jalanan ramai penuh sesak. Semua orang berjalan cepat, saling berlomba satu sama lain mengejar waktu. Ya, Times is money. Begitulah anggapan mereka. Tapi saat ini, bagi olivia waktu adalah neraka. Semakin berjalannya waktu maka semakin cepat ia menghantarkan diri pada nerakanya. Waktunya masih tersisa tapi ia tidak dapat melakukan apapun. John satu-satunya orang yang mungkin dapat membantunya, kini tidak bisa di harapkan. Pria itu saat ini tengah melakukan perjalanan jauh.
Olivia menyeka sebelah pipinya saat air matanya menetes membasahi. Bayang-bayang wajah kedua orang tuanya melintas tak terkendali. Wajah pucat Angela kemarin dan Jane turut membuat kepalanya terasa nyeri hingga akhirnya, ia merasa bumi berputar begitu cepat dan semuanya menjadi gelap.
***