Bau apa ini? Bau ini sangat mengganggu indra penciumanku. Tunggu, aku kenal bau ini. Ini seperti bau rumah sakit. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa kedua mataku sulit untuk terbuka dan kepalaku begitu sakit. apa yang terjadi padaku?
Aku terus berusaha membuka kedua mataku yang begitu berat. Melawan rasa nyeri yang melanda didalam kepalaku. Perlahan ada secercah sinar menelisik pupil mataku hingga aku kembali menutup kedua mataku. Sinarnya begitu tajam. Tapi aku masih tidak bisa begini terus. Kucoba lagi membuka kedua mataku dan sinar itu tidak ada lagi. Perlahan aku dapat membuka kedua mataku dengan sempurna.
Dan hal pertama yang aku lihat adalah wajah seorang pria. Dia…
“Kau sudah sadar?”
Mataku terus mengerjap beberapa kali. Apa ini bukan mimpi? Mengapa pria ini ada disini? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Baru saja aku membuka kedua mataku, kini yang aku temukan adalah Richard William yang berdiri tegak dihadapanku. Menatapku dengan mata tajamnya dan sepertinya, ia menggunakan kepalanya untuk menutupi sinar lampu yang berada di langit-langit ruangan ini.
Dan tempat ini….
“Rumah sakit?!”
Tubuhku terlonjak begitu saja saat melihat selang infus beserta jarumnya yang menancap pada tubuhku. Jika saja dia tidak menahan kedua bahuku, mungkin saja jarum itu akan melukaiku.
“Jangan terlalu banyak bergerak. Kau belum pulih dan itu hanya sebuah jarum.”
Suara lembut mendayunya mengembalikanku dari rasa takut yang sempat menggerogotiku. Kutatap wajahnya penuh cemas. “Kenapa aku disini?”
“Kau pingsan dijalanan dengan perut kosong.” Jawabnya tenang dan kembali menarik kedua tangannya. Melipatnya di depan d**a.
“Pingsan?”
“Ya.”
“Apa kau yang membawaku kesini?”
“Bukan.”
Sebelah alisku terangkat. “Lalu?”
“Alex, anak buahku yang menemukanmu.”
Aku mengangguk mengerti. Alex, aku mengenal pria itu. Pria yang selalu menemani pria ini kemanapun selain ranjang tempat kami bercinta. Tunggu, kenapa wajahku terasa panas seperti ini?
“Kau baik-baik saja?”
Aku kembali tersentak dari lamunanku dan menoleh padanya. Ada semburat kecemasan dalam wajahnya. Apa itu untukku?
“Sebaiknya aku memanggil dokter untuk memeriksamu. Dan ini sudah terlalu malam, tapi kau belum memakan apapun juga. Kupikir_”
“Apa?!” mataku sontak mencari sebuah jam di sekitar sini. Dan jantungku berdetak begitu cepat saat jam dinding menunjukkan pukul 9 malam. Angela, apa yang akan terjadi padanya?
Kusingkap selimut rumah sakit ini dan kucabut paksa selang infusnya hingga ada sebercak darah segera mengotori pergelangan tanganku.
“Olivia, apa yang kau lakukan?”
Geraman pria ini tidak kuhiraukan lagi. Satu-satunya yang adadi dalam otakku hanya pergi menemui Angela dan memastikan dia baik-baik saja. Para rentenir itu pasti sudah datang kesana dan membuang barang-barang kami. Ya Tuhan, kumohon lindungi Angela dan Bibi Jane. Kuseret langkahku secepatnya agar segera keluar dari rumah sakit ini. setelah berhasil, aku memanggil-manggil taxi dengan kedua tanganku yang melambai-lambai di pinggir jalan. Aku tidak lagi peduli jika nanti akan ada mobil yang menerjangku. Aku harus segera sampai dirumah sebelum terjadi sesuatu pada Angela.
Tapi mengapa malam ini semua taxi memiliki penumpang hingga tidak ada satupun yang mau berhenti untuk mengangkutku.
Demi Tuhan, kepalaku kembali terasa nyeri dan ini sangat menyakitkan. Sebelah tanganku berusaha meremas bagian samping kepalaku untuk sekedar meredam rasa nyerinya. Sial! Itu tidak membantu.
“Taksii!!” teriakku lagi ketika ada sebuah taxi yang melaju kearahku. Terima kasih, Tuhan! Kali ini ia berhenti. Aku menggapai pintu taxi ini dan saat hampir sedikit lagi jemariku menyentuhnya, tubuhku tertarik kebelakang. Ada seseorang yang menarik ujung sikuku hingga aku menghadap padanya, “Apa yang kau lakukan?!” teriakku murka pada Richard.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu.” Rahangnya mengeras dan tatapannya menggelap kearahku. Suaranya terdengar berat dan tidak selembut subelumnya. “Kau sedang sakit dan saat ini kau malah melarikan diri?”
“Aku harus pulang, Richard.” Jelasku tanpa bersikap formal. Persetan! Kali ini aku tidak sedang bekerja padanya.
“Tapi_”
“Adikku membutuhkanku!!” jeritku, “Akan ada banyak lintah darat yang mendatangi rumahku dan akan mengusir keluargaku dari sana. Aku harus melakukan sesuatu!”
Dia menatapku lama dan tidak berekspresi. Tatapan itu lagi. Tapi tangannya tidak mengendur sedikitpun mencengkram sikuku. Aku melirik kebelakang dan menemukan taxi yang kupanggil telah pergi meninggalkanku. Seketika tubuhku melemas dan jika saja ia tidak menahan tubuhku mungkin aku akan jatuh di atas aspal yang berdebu.
“Olivia, kau tidak apa-apa?”
Kudengar dia memanggil namaku namun tenagaku tidak cukup kuat untuk menyahut. Aku hanya bisa menatap lurus kedepan tanpa suara. Rasanya aku telah di hempaskan kedasar bumi hingga tubuh dan tulang belulangku remuk tak berbentuk.
***
“Semua sudah kau selesaikan?” tanya Richard ketika ia baru saja turun dari lantai dua dimana kamarnya berada. Apartement pria itu memang memiliki dua lantai. Dan lantai dua adalah lantai privacy miliknya. Semua kepunyaan pribadinya ada disana. Karena lantai satu hanya ia gunakan untuk menikmati masakan Philip, koki wanita kepercayaannya.
“Sudah, tapi aku terlambat beberapa menit hingga ada terjadi sedikit kerusakan.” Jelas Alex seperti biasa.
Richard menyecahkan tubuhnya pada sofa berukuran L disana, “Kau sudah memperbaikinya?” tanyanya lagi.
“Aku sudah memesan semua peralatan untuk rumah itu dan sedikit mengisinya dengan beberapa hal yang menurutku penting.” Alex menyerahkan PC tablet yang sedari tadi ia bawa pada Richard.
Pria itu tampak mencermati hasil yang telah Alex dapatkan. Kepalanya tampak mengangguk puas dengan gumaman kecil. Wajahnya masih begitu tenang tanpa ekspresi, “Ya, kurasa ini sudah cukup. Tapi mungkin setelah ini akan ada permintaan lain.” Ujar Richard dan kembali mengembalikan benda itu.
“Tuan, apa tidak apa-apa kita melakukan hal ini?” tanya Alex hati-hati. Pria ini memang selalu memiliki pemikiran jauh kedepan atas keuntungan dan kerugian Richard di kemudian hari. Hal itu selalu menguntungkan richard dalam masalah bisnis ataupun kehidupannya.
“Maksudmu?”
“Kita belum mencapai kesepakatan dengannya. Dan jika dia menolak, bukankah itu sedikit mempersulitmu.”
Sudut bibir Richard berkedut meski ia tetap tidak menunjukkan senyumnya, “Kita sudah menanam keuntungan dimuka, Alex. Dia tidak akan menolak. Dan jika dia melakukannya maka dialah yang akan mendapatkan kerugian besar.” Jelasnya.
Bibir Alex kembali terkatup sebelum mengutarakan pendapatnya saat suara Philip menginterupsi.
“Mr. William, dia sudah bangun.”
Mata tajam Richard bergerak keatas menatap ujung tangga, “Apa dia sudah cukup kuat untuk berjalan?” tanya Richard yang telah kembali melemparkan pandangannya pada Philip.
“Menurutku sudah. Ia bahkan sudah tidak sabar untuk turun dan mencari tahu siapa pemilik rumah ini.”
“Bawa dia kemari.”
Philip mengangguk dan segera beranjak kembali keatas.
Richard masih duduk tenang di tempatnya meski kali ini, jemarinya saling bertemu dan seperti merangkai sebuah piramid. Kedua kakinya saling terbuka lebar hingga siku-sikunya bertumpu diatas paha, menjatuhkan pandangannya kebawah. Ia memang akan melakukan hal itu ketika gugup akan sesuatu.
“Apa yang membuatmu membawaku kesini?”
Suara pelan Olivia membuat Richard sontak mengangkat wajahnya. Menemukan Olivia dengan dress tidur yang telah Philip gantikan dikamar tidurnya. Rambut wanita itu tampak sedikit berantakan meski wajah sendunya begitu memukau.
Richard bangkit dari tempatnya lalu menenggelamkan kedua tangannya dalam saku celana, namun kedua matanya tak lepas dari Olivia, “Philip, terima kasih atas bantuanmu. Kau boleh pergi sekarang.” Perintahnya pada Philip dengan tatapan yang masih melekat pada wajah Olivia.
Diam-diam Olivia meneguk ludah beratnya. Tatapan mata Ricahard benar-benar mengatakan jika pria itu haus akan dirinya. Tapi jika hal itu benar, maka Olivia siap untuk menolak sekaligus menghajarnya. Karena hanya karena itu, ia tidak tahu entah apa yang terjadi pada keluarganya saat ini.
“Ya, Mr. Willam. Saya mohon pamit.”
Suasana masih terasa sepi setelah Philip pergi meninggalkan mereka bertiga. Ketika suara deheman Alex terdengar, barulah Richard mengubah fokus pandangnya dan beralih pada Alex.
“Kau bisa mulai, Alex.” Suruhnya.
Alex mengangguk dan Richard kembali duduk di tempatnya.
“Miss. Sinclaire, bisakah anda duduk terlebih dahulu?” pinta Alex sopan pada Olivia.
Wanita itu tampak berpikir sejenak sebelum memutuskan duduk si sofa tunggal yang berada di hadapan Richard. Ia melirik pria itu sejenak lalu kembali menatap Alex, “Apa yang ingin kau katakan?” tanya Olivia.
“Begini, Mr. will_”
“Richard,” sela Richard. “Panggil saja aku Richard dihadapannya.”
Olivia kembali melirik Richard dari ekor matanya. Pria itu masih menatapnaya dengan segala sikap tenang dan wajah tak berekspresinya.
“Tuan Richard telah membayar uang pinjaman yang dilakukan Sam Diego pada seorang rentenir.”
“Apa?!” pekik Olivia. Ia memandang Richard tak percaya, bagaimana bisa pria itu melakukannya?
“1 juta Dollar. Benar, kan?” tanya Alex.
“Y-ya.”
“Aku di perintahkan Mr. William untuk menyelesaikan masalahmu dengannya. Sebelumnya aku minta maaf karena datang sedikit terlambat. Mereka sudah masuk kedalam rumahmu dan mengacau.”
“Ya Tuhan…” gumam Olivia cemas.
“Tapi aku sudah membereskannya. Rumah dan keluargamu aman saat ini.” kali ini Alex memberikan jawaban yang begitu di butuhkan oleh Olivia.
Olivia yang sedari tadi menahan napasnya kini dapat mendesah lega. Keluarga dan rumahnya baik-baik saja. Ia tak henti-hentinya bersukur dalam hati. Tapi ketika kedua matanya kembali bertemu pandang dengan Richard, pertanyaan besar muncul dalam benaknya.
“Mr. william, a-aku sungguh berterima kasih atas bantuanmu. Tapi… bisa kau memberiku sebuah alasan atas ini semua?”
Richard menarik napas panjang dan menoleh pada Alex, “Tugasmu selesai, Alex. Kau bisa pergi.” Suruhnya lagi. Alex mengangguk dan segera angkat kaki dari sana. Meninggalkan mereka berdua. Richard masih membungkam suara untuk beberapa menit hingga keheningan menyelimuti mereka.
“Mr. william…” panggil Olivia pelan ketika rasa dingin menyeruak dalam dirinya.
“Kau bisa mengatakan aku licik untuk ini, Olivia. Tapi apa yang aku lakukan bukan hanya membutuhkan kata terima kasih.” Jelasnya dengan penuh ketenangan dan seperti biasa, suaranya terdengar mendayu.
“Maksudmu?” tanya Olivia tidak mengerti.
“Aku ingin kau,” gores ketegasan tampak pada wajahnya, “Kudengar kau tidak bekerja lagi pada John dan berniat berhenti menjual dirimu. Tapi setelah beberapa jam, kau malah kembali mencari pria itu untuk mengembalikan pekerjaanmu yang kutahu kau melakukannya karena uang. Uang untuk membayar uang pinjaman paman berengsekmu itu.
“Jadi, kuputuskan untuk membantumu melunasinya dan mengembalikan rumah itu padamu. Ah, aku juga sudah mendaftarkan adikmu di sebuah Universitas terkemuka. Kau tidak perlu mengcemaskan malasah pendidikannya lagi.”
“Tapi_”
“Dan semua itu aku lakukan karena aku ingin kau menjual dirimu padaku.”
“Apa?!”
Richard melipat kedua tangannya, “Jika biasanya kau bekerja setiap malam dengan pria yang berbeda, untuk kali ini aku ingin kau bekerja padaku, hanya padaku. Aku akan membayarmu sebanyak yang kau inginkan, Olivia.” Tawaran yang begitu menarik telah ia berikan. Namun hal yang paling mendebarkan baginya adalah keputusan wanita itu.
“Tu-tunggu dulu, Mr. will_”
“Richard, panggil saja aku seperti itu.” Potongnya.
Olivia menyeka peluh di dahinya, “Aku tidak mengerti. kau-maksudku, bagaimana bisa kau mengetahui segala tentangku begitu banyak? Hutang, keluargaku dan bahkan_”
“Aku memiliki koneksi untuk itu.”
“Dan kau melakukannya untuk mejadikanku pelacurmu?” tandas Olivia.
Rahang Richard kembali mengeras, ia memiringkan kepalanya dan menatap Olivia seksama. “Olivia Sinclair, aku bukanlah pria yang mau meniduri satu wanita lebih dari satu kali. Tapi setelah malam itu, setelah aku bercinta denganmu dan kau mampu membuatku selalu merasa tidak puas dan kembali ingin menyentuhmu. Aku berpikir jika kau harus menjadi milikku.”
“Tapi kau hanya butuh memintaku untuk kembali bercinta dan melewatkan satu malam lagi denganku.”
“Kau bisa menjamin aku akan merasa cukup setelah itu?”
Pupil Olivia membesar seketika mendengarnya. Mengapa pria itu begitu menginginkannya? Richard William, pengusaha terkenal dan pria terkaya di New York sedang tergila-gila pada dirinya?
“Kuakui, kau berbeda diantara semua p*****r yang pernah bercinta denganku. Untuk itu aku menghargaimu dengan sangat mahal. Jadi,” Richard meluruskan tubuhnya, “Apa jawabanmu?”
Pria itu menatap lekat wajah Olivia, tatapan matanya menunjukkan ketidak sabaran. Dia butuh kepastian dan ada terbesit perasaan cemas, takut wanita itu menolaknya.
“Berapa lama?” tanya Olivia dengan suara pelan.
Richard memejamkan kedua matanya sesaat dengan napas mulai memburu, “Selama aku menginginkanmu. Maka kau akan selalu dan harus menjadi milikku.” Jawabnya.
“Milikmu?” ulang Olivia.
“Jika kau memberikanku jawaban pasti, akan aku jelaskan lebih lanjut.”
Mata Olivia kembali tak fokus. Ia belum menemukan jawaban apapun tapi janji yang disuguhkan oleh Richard begitu menyilaukan. Lagi pula, pria itu sudah menyelesaikan semua masalahnya sekarang. Dan Olivia tidak mungkin menolaknya setelah apa yang dilakukan pria itu untuknya. Dengan perasaan tak menentu, akhirnya Olivia mengangguk berat.
“Jawabanmu, Olivia.” Bisik Richard penuh penekanan.
Olivia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, “Ya, aku setuju.”
***
“Ini kartu kredit, ATM dan kunci mobil. Lalu ada 4 buku tabungan yang masing-masing atas namamu. Semuanya memiliki nilai yang sama, mulai detik ini itu semua menjadi milikmu.”
Aku menatapnya dengan pandangan tak berkedip. Saat ini kami berada didalam kamar dimana aku mendapati diriku ketika membuka mata. Dia meletakkan semua benda-benda itu diatas meja yang terdapat deretan parfum disana, “I-ini semua… untukku?” tanyaku gugup.
Kepalanya mengangguk kecil, “Kau bebas menggunakannya. Itu semua juga belum termasuk hargamu. Dan kau sebutkan saja berapa maka setiap bulan aku akan mengirimnya dalam tabunganmu.” Jelasnya seakan apa yang ia ucapkan itu begitu tidak berharga.
Apa yang telah kulakukan dimasa lalu hingga Tuhan berbelas kasih sebanyak ini padaku? tapi, bukankah ini semua pasti ada imbalannya? Ya, tubuhku sudah pasti. Dan kuyakin selain itu juga pasti ada, “Lalu syaratmu?” tanyaku langsung.
Ia menggedikkan bahu ringan. “Tidak banyak. Kau harus menuruti semua keinginanku saat aku memintamu melakukan apapun.”
“Seks?” cibirku.
“Untuk saat ini, ya.”
“Itu berarti akan ada keinginan selanjutnya?”
“Tentu,” dia menyandarkan tubuhnya pada pinggir meja dengan kedua tangan bertumpu disana. Posenya begitu seksi dan menawan, “Aku tidak suka memakai kondom.”
“Kau tahu peraturannya, bukan?” ujarku terkesiap. Aku benci melakukannya tanpa kondom.
“Disini aku yang memiliki peraturan, Olivia. Aku sama sekali tidak suka menggunakan benda itu.”
“Tapi aku tidak ingin_”
“Hamil? Kau tenang saja, kita akan mengurus masalah ini secepatnya. Besok kita akan menemui dokter pribadiku.”
“Bukan hanya itu, tapi aku belum pernah_” Oliva tampak gugup mengatakannya, “Belum pernah ada satu priapun yang memasuki cairannya di dalamku.” Desahnya menunduk. Entah mengapa dia merasa sangat malu dan gugup dibwah tatapan tenang milik Richard.
Untuk sesaat, Richard tak menjawab tapi setelah itu ia kembali bersuara, “Itu bagus, berarti aku akan menjadi orang pertama.”
Olivia menatapnya kesal, “Itu bukan lelucon!”
“Aku tidak suka kau ditiduri oleh pria manapun saat kau masih menjadi milikku,” sambungnya tanpa mempermasalahkan ketidak setujuan Olivia tentang masalah kondom, “Tidak ada status dalam hubungan kita selain kau hanya sebatas pekerja bagiku, mengerti?”
Olivia memutar kedua matanya malas dan mengangguk.
“Apa kau membutuhkan yang lainnya?” suara Richard kali ini terdengar lebih berat seperti menahan sesuatu.
“Untuk saat ini tidak. Tapi_”
“Baguslah!”
Olivia terkesiap begitu ia merasakan tubuhnya terangkat dari atas lantai. Pinggangnya telah terjamah oleh pria itu hingga ia refleks mengalungkan kedua tangannya pada leher Richrad. Sementara itu otaknya tidak dapat bekerja karena pria itu telah melumat bibirnya rakus namun begitu memabukkan. Ia melumat bibir Olivia seperti orang yang kehausan.
“Rich…” desah Olivia dalam pagutannya.
“Aku menginginkanmu, sekarang!”
***