Ketika Olivia membuka kedua matanya, hal pertama yang ia lihat adalah wajah sendu Richard. Tubuhnya terbaring miring menghadap pria itu. Kehangatan melalui pelukan posesif pria itu menyelimuti tubuh polosnya. Matanya mengedip perlahan dan lambat hingga bayangan percintaan panas mereka tadi malam kembali terlintas. Bagaimana Richard begitu panas didalamnya, membuat ia harus mendesah dan berteriak berkali-kali dibawah kekuasaan pria itu. Olivia bagaikan seorang hamba yang mengabdi sepenuhnya pada tuannya. Dan sialnya, Olivia tampak sangat menikmati segala hal yang telah mereka lakukan.
Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan hingga mengenai d**a telanjang Richard yang masih tertidur pulas. Terpaan napasnya membuat Richard menggeliat pelan dan membuka matanya.
“Maaf, membangunkanmu.” Bisik Olivia dengan senyumannya.
Richard menutup lagi matanya beberapa detik, dan saat membukanya lagi, ia memberikan ciuman ringan diatas bibir Olivia, “Pukul berapa sekarang?” tanyanya serak.
Olivia memutar kepalanya kebelakang, mencari dimana letak jam dinding dikamar itu, “Delapan pagi.” jawabnya. Ia kembali memandang Richard yang masih memeluknya. Entah kenapa jantungnya sedikit berdebar. Tatapan Richard dengan wajah lusuh dan mata sembabnya begitu berbeda. Ia tampak polos di pagi hari.
“Ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Richard, seakan mengerti pandangan yang di tujukan oleh Olivia.
Olivia menggeleng pelan dengan kekehannya. Sedikit bersemu karena ketahuan memandangi Richard seperti itu, “Kamarmu dimana?” tanyanya agar sedikit mengurangi rasa malunya.
“Disini.” Jawabnya ringan. Jemarinya mulai membelai wajah Olivia yang sedikit mengernyit.
“Lalu, kamarku?” Olivia merasa bingung. Ia kira kamar ini adalah miliknya, tapi ternyata ia salah.
Richard menghela panjang, “Di Rumahku hanya ada satu kamar, Olivia.” Jawabnya tanpa mau memberi jawaban pasti.
Olivia sedikit terhenyak. Itu berarti, ia dan pria ini akan tidur di kamar yang sama? Mereka?
“Kau tidak keberatan kalau kita tidur di kamar yang sama?”
“Memang itu yang kubutuhkan,” desah Richard yang mulai mencumbui wajah hingga leher Olivia. “Siang ini kita akan menemui Rachel.”
“Rachel? Siapa dia?” Tanya Olivia, tapi kedua tanganya sudah mengalung disekitar leher Richard. Sepertinya cumbuan Richard sudah tidak lagi asing di tubuhnya.
“Dokter pribadiku. Kita harus cepat mengurus masalah yang satu ini,” Richard menarik kepalanya yang tadi terbenam dalam lekukan leher Olivia agar dapat memandang gadis itu. “Hari ini adalah hari terakhir aku memakai Kondom sialan itu.”
Olivia memutar bola matanya malas. Membuat Richard tersenyum, untuk pertama kalinya, hingga Olivia termangu melihat senyumannya, “Rich, kau tersenyum?” gumamnya pelan.
Richard mengerutkan dahinya. “Apa? Coba ulangi?”
“Kau…” Olivia tersenyum senang. “Kau tersenyum?”
“Bukan, bukan itu. Tadi kau memanggilku apa?”
Kali ini, Olivia yang mengerutkan dahinya, “Rich.” Ucapnya hati-hati.
Pria itu kembali tersenyum, “Aku suka kau memanggilku seperti itu.” ujarnya singkat.
Lagi, wajah Olivia bersemu merah menahan rasa malu. Ia terpaksa menarik leher Richard mendekat agar dapat menyembunyikan wajahnya di sela leher pria itu yang amat menggoda. Kenapa rasanya Richard berbeda kali ini? Richard terasa lebih hangat dan… Olivia lebih sering melihat senyumannya meskipun sebentar pagi ini. Berbeda sekali dengan pertemuan pertama mereka.
“Olivia…” panggil pria itu dengan suara yang lebih parau dari sebelumnya.
“Hm?”
“Bisa kita ulangi lagi?”
Hampir saja Olivia tersedak dengan ludahnya sendiri setelah menengar permintaaan pria itu. Olivia menarik wajahnya mundur, memandangi Richard dengan wajah tak percaya. “Lagi?” ulangnya memastikan. Richard hanya mengangguk, karena sepertinya pria itu lebih memilih mempekerjakan bibirnya untuk menelusuri seluruh tubuh Olivia tanpa terkecuali. Olivia bahkan harus menahan napas beratnya saat pria itu menyingkap selimut yang tadinya masih menutupi setengah tubuh mereka, dan mulai mencumbui daerah perutnya. “Tapi, Rich… aku ingin pergi.”
Tubuh Richard berhenti bergerak dengan bibirnya yang hampir saja menyentuh bagian terpenting milik Olivia dibawah sana. Kedua matanya tiba-tiba saja berubah tajam saat ia mendongak keatas, memandang Olivia dengan intimidasi yang mengerikan, “Apa? Coba ulangi?” perintahnya dengan suara rendah dan tenangnya yang semakin membuat Olivia bergedik ngeri.
Olivia yang menyadari hal itu segera menyentuh kedua lengan Richard yang memiliki otot-otot kekar dengan kedua tangannya. Bisa dirasakan oleh Olivia pada saat ia menyentuhnya, lengan itu mengejang sedikit kuat, “Aku ingin menemui Adikku, Rich. Aku yakin dia sedang menungguku untuk menjelaskan masalah kemarin,” jelasnya. “Bisakah kau memberiku waktu sampai sore nanti?”
“Tidak,” jawabnya tegas meski ketegasan dari wajahnya mulai sedikit berkurang. “Maksudku, kau boleh pergi menemui Adikmu, tapi hanya sampai siang hari karena siang ini kita harus bertemu dengan Rachel, seperti yang tadi kukatan padamu. Dan aku harus ikut bersamamu untuk menemui Adikmu.”
“Kenapa kau harus ikut?” tanya Olivia tidak mengerti.
Richard sedikit menyipitkan kedua matanya, “Karena aku tidak ingin kau kabur, dan membuatku pusing karena kebutuhanku.” Setelah itu, Richard merangkak naik keatas dengan kedua tangan yang menumpu tubuh bagian atasnya. Richard memberikan ciuman lamanya diatas bibir Olivia, bermain-main sebentar dengan kedua lidah mereka sebelum melepasnya dengan desahan tak rela.
“Kamar mandi ada disana,” Richard menunjuk sebuah pintu yang terhubung dengan kamarnya. “Cepat bersihkan dirimu. Philip pasti sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kita.”
***
Meski Olivia tahu kalau Alex memang sudah mengetahui segala tentangnya, termasuk alamat rumahnya, Olivia masih sulit untuk tidak memandangi Alex dengan wajah kagumnya. Entah mengapa, dimata Olivia, Alex merupakan pria yang terlalu pendiam dan juga cukup jenius. Sejak mereka bertemu, ia hanya akan mendengar suara Alex jika Richard yang bertanya padanya. selebihnya, pria itu bagaikan sebuah robot yang selalu berdiam diri.
Alex membukakan pintu untuk mereka, tubuhnya selalu sedikit membungkuk sebelum Richard melewatinya.
“Terima kasih.” Olivia tersenyum kecil padanya dan Alex hanya mengangguk sekedar.
“Ini rumahmu?” Richard memandang rumah yang tampak sederhana itu dengan dahi mengernyit. Kemudian Olivia bisa melihat Richard yang melirik Alex dengan tatapan penuh tanya, dan ketika Alex mengangguk, Richard tampak menghela napas.
“Ayo, masuk.” Ajak Olivia.
Mereka bertiga berjalan beriringan melewati pekarangan rumah Olivia. Langkah Olivia begitu tak sabar, bahkan Richard juga menyadarinya. Ia melirik sekilas pada Alex yang mengulum senyum.
"An..." teriaknya kuat.
Richard menatap sekeliling rumah Olivia, sederhana, tapi nyaman. Saat ia kembali melirik Olivia, gadis itu sudah melompat cepat dalam pelukan Angela, yang ia ketahui adalah adik Olivia.
"Kau baik-baik saja? Apa mereka menyakitimu? Bibi Jane ada dimana?" gadis itu memborbardir adiknya dengan rentetan pertanyaan bernada cemas.
Namun yang dilakukan Angela adalah memandangi Richard dan Alex dengan tatapan aneh. Kedua pria itu tampak asing dimatanya, tak terkecuali Alex yang pernah datang kerumah itu dan membantunya dari amukan para lintah darat itu. Saat itu, Alex tidak menjawab satupun pertanyaan Angela mengenai siapa dirinya.
"An." panggil Olivia pelan.
Angela menoleh padanya, "Siapa mereka?" tanya gadis itu. Ia melirik Alex sejenak. "Kemarin dia datang kesini dan membantu kami. Aku tidak mengenalnya, Oliv. Apa dia temanmu? Lalu, siapa pria yang bersamanya itu?"
Melihat bagaimana cara Angela menatapnya, Richard berdehem pelan, "Richard William," ucapnya memperkenalkan diri. Ia bisa melihat kedua alis Angela yang saling bertaut ketika mendengar namanya. "Dan aku adalah_"
"An," potong Olivia cepat. Ia melemparkan tatapan penuh artinya pada Richard, seakan melarangnya untuk memberitahukan adiknya mengenai siapa dia bagi Olivia. "Eum, dia adalah pacarku."
Bukan hanya Angela yang melotot terkejut, Jane yang entah sejak kapan berada didalam ruangan itu memekik kuat dan segera berhambur menghampiri Olivia.
"Benarkah? Pria ini adalah kekasihmu?" tanya Jane dengan wajah berseri penuh bahagia.
Oliv meringis pelan dan mengangguk kaku. Diliriknya Richard yang masih tidak berekspresi ditempatnya, pria itu sepertinya tidak tergangu dengan pernyataannya barusan. Bahkan Alex, pria itu masih setia berdiri bagaikan patung disisi Richard.
"Pria disampingnya adalah Alex, asistennya. Dia menyuruh Alex membantu kalian kemarin setelah mendengar ceritaku tentang...kita."
Baiklah, entah berapa oksigen yang dibutuhkan Olivia saat ini karena harus membohongi keluarganya mengenai Richard. Olivia tidak mungkin membiarkan Angela dan Jane jatuh pingsan jika saja mereka tahu yang sebenarnya. Kalau dia adalah wanita yang disewa Richard untuk memenuhi kebutuhan seks pria ini, lalu menerima bayaran yang luar biasa.
Olivia menatap cemas Angela yang sejak tadi memerhatikan Richard, meski saat ini pria itu juga membalas tatapannya, tapi Angela tidak tampak takut, padahal Olivia saja mengakui bagaimana mengintimidasinya kedua mata Richard.
"Bukankah kau adalah pria yang sering dibahas di majalah-majalah itu? Richard William, pria kaya raya milik New York dan... Kau adalah pacar kakakku?" tanya Angela dengan nada curiga.
Olivia menahan napas kuatnya. "An..."
"Kau juga tidak pernah bercerita padaku mengenai kekasihmu, Oliv." sambungnya, memandang penuh selidik pada Olivia yang semakin memucat.
Seharusnya Richard tidak ikut dengannya hingga ia bisa memberi alasan lain yang dapat menyelamatkannya, rutuk Olivia dalam hati. Kalau sudah seperti ini, alasan seperti apa yang dapat ia berikan pada adiknya yang memang memiliki rasa keingin tahuan yang besar.
"Apa ada yang salah dengan itu?"
Tubuh Olivia semakin membeku saat Richard bersuara, ia mendapati pria itu memandang Angela dengan tatapan tenangnya, tanpa ekspresi dan emosi. Tiba-tiba saja, Richard mengulurkan sebelah tangannya pada Olivia, menyuruh gadis itu mendekat padanya. Dengan canggung, Olivia menuruti perintah Richard. Wajahnya merona saat diam-diam ia melirik Jane yang mengulum senyumnya.
Richard menarik lengan Olivia lembut kesisinya, lalu melingkari perut rata Olivia dengan lengannya, "Kami memang belum lama berhubungan, tapi sungguh, saat ini Olivia adalah milikku." ujarnya, masih dengan suara rendah dan pelan yang mendayu.
Saat melihat bibir Angela sedikit menganga, Olivia menyentuh pipinya yang menghangat. Richard sama sekali tidak berbohong, dia memang sudah menjadi milik Richard, kan? Yah, dalam arti yang berbeda tentunya. Tapi, meski begitu, tetap saja Olivia merona menerima perlakuan Richard padanya.
Jane menghampiri Angela, menyikut lengan gadis itu hingga menoleh padanya, "Olivia sedang bahagia, kenapa kau malah mengintrogasinya seperti itu, hm?" omelnya.
Angela menghela panjang, menatap Olivia yang masih berada dalam rengkuhan Richard dengan tatapan sendu, "Aku masih butuh penjelasanmu, Oliv. Jadi, bisakah malam ini kau menginap dirumah?" pintanya.
Olivia ingin sekali mengatakan ya, tapi pelukan Richard yang semakin menguat membuat ia tersadar. Dengan muram Olivia mengeleng pelan, "Masih ada yang harus kulakukan, An, maaf. Tapi aku berjanji akan segera menemuimu secepatnya." tolaknya halus.
Angela mencibir pelan, "Selalu seperti itu, kapan kau memiliki waktu untukku." rutuknya.
Olivia tertawa pelan, ia melepaskan diri dari Richard, lalu memeluk adiknya penuh sayang. Entah mengapa, untuk pertama kalinya ia dapat merasa tenang saat harus meninggalkan Angela lagi ketika ia harus bekerja. Ya, seperti saat ini, Olivia merasa ia memang masih bekerja sebagai seorang p*****r. Hanya saja, untuk kali ini ia tidak merasa muak dengan sebutan itu.
"Aku menyayangimu." bisiknya.
"Aku juga menyayangimu, Oliv."
Jane tersenyum haru memandang mereka. Richard lebih memilih memalingkan wajahnya, seperti tidak terlalu ingin melihat pertunjukan yang mengharu biru itu.
"Kau tinggal dimana sekarang?"
"Aku tinggal bersama Richard."
Angela melirk Richard dari balik punggung Olivia, "Hei, kau bisa menjaga kakakku, kan?" tanyanya yang segera mendapati tatapan murka Olivia padanya.
Richard hanya mengguk sekedar tanpa menjawab sepatah katapun. Ia melirik Alex, seperti menyuruh pria itu untuk melakukan sesuatu.
"Nona, aku membutuhkan tanda tanganmu dibeberapa surat ini," ujar Alex pada Angela. Ia memberikan sebuah map pada gadis itu. "Semua itu adalah surat-surat pengurusan pendidikanmu. Mr. William sudah menyiapkan Universitas terbaik untuk anda."
Angela membeku, ia menatap Olivia penuh tuntutan.
Olivia menganguk pelan padanya, "Ya, Richard yang melakukanya untukmu. Dan masih banyak hal yang telah ia lakukan untuk kita, salah satunya adalah mengembalikan rumah ini pada kita." ujarnya dengan suara pelan dan lirih.
***
Diperjalanan pulang, Olivia terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia cenderung muram dan selalu menatap keluar jendela. Wajah bahagia keluarganya tadi membuatnya merasa bersalah. Ia telah berbohong pada mereka, kebohongan pertama yang ia lakukan pada mereka.
Saat merasakan punggung tangannya menghangat, Olivia menoleh kesamping dan menemukan wajah Richard yang menatapnya dengan alis bertaut. Pria itu sudah menggenggam tangannya. "Ya?"
"Kau baik-baik saja?" suara rendah itu kembali terdengar olehnya, membuat ia dapat tersenyum kecil. Entah sejak kapan, suara Richard mulai memiliki reaksi baginya.
"Hm, hanya sedikit memikirkan Angela." jawabnya sekedar.
Richard hanya mengangguk pelan, lalu melirik pada Alex yang tampak menyetir dalam kebisuan, "Alex, rumah sakit." ujarnya dan dijwab oleh anggukan pelan oleh Alex.
"Rumah sakit?" ulang Olivia bingung.
Richard melepas genggaman tangannya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya, "Kau ingat pembicaraan kita tadi pagi?" Olivia mengerutkan dahinya hingga akhirnya menyadari sesuatu. "Halo, Rachel. Aku sedang menuju ketempatmu, kau masih berada disana, kan?"
Rachel, Dokter itu, ya? Batinnya. Sepertinya pria ini selalu bersungguh-sungguh atas semua ucapannya. Dan ketika Olivia mulai membayangkan akan bercinta dengan pria ini tanpa sebuah pengaman, mendadak perutnya terasa ngilu. Richard akan menjadi pria pertama yang benar-benar akan bercinta dengannya.
Tidak dapat ia pungkiri, rasa kecewa dan menyesal itu sudah menyelimuti dirinya. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Sejak dulu, ia tidak pernah membiarkan satu pria manapun menanamkan benih kedalam rahimnya dengan alasan apapun, karena meski ia sudah teramat kotor untuk ukuran seorang wanita, Olivia tetap ingin memberikan sesuatu yang paling berharga darinya yang masih ia miliki untuk pria yang akan menjadi suaminya nanti.
Ia pasti sudah membuat kedua orangtuanya kecewa padanya diatas sana. Seharusnya, sebagai anak tertua, Olivia harus menjadi panutan adiknya. Tapi apa mau dikata ketika kehidupan kian memporakporandakan mereka. Olivia tidak bisa meneruskan pendidikannya di Universitas karena masalah ekonomi, begitu juga dengan Angela yang terancam putus sekolah karena alasan yang sama.
Tidak ingin melihat adiknya bernasib sepertinya, akhirnya, ketika Olivia bertemu dengan John disalah satu klub malam, lalu pria itu menawarkan pekerjaan terkutuk itu padanya, Olivia segera menerima pekerjaan itu. Beruntungnya, ia malah menjadi gadis yang begitu dipuja diantara banyaknya gadia disana.
"Hei."
Lagi-lagi Richard menyadarkan Olivia dari lamunanya. Ia menoleh dengan gerakan pelan kearah Richard, "Hm?" gumamnya pelan, bahkan suara itu menyerupai bisikan halus yang lembut. Dan entah mengapa, kedua mata Richard malah menyipit padanya, wajahnya berubah sedikit aneh. Olivia tidak mengerti ada apa dengan Richard, tapi tatapan pria itu membuatnya sedikit bergidik hingga tanpa sadar, Olivia menggigit bibir bawahnya dengan ringisan kecil.
"Alex," Richard kembali bersuara, kali ini suara itu terdengar lebih berat. "Hentikan mobilnya, dan beri aku privasi."
Olivia berjengit, melirik Alex sekilas sedangkan pria itu sudah mulai menepikan Mobilnya, lalu tanpa basa-basi, ia segera keluar dari mobil dan hanya berdiri tegak disisi mobil mereka. Ketika kedua mata Olivia kembali terpaku pada Richard, ia sedikit terkejut mendapati wajah pria itu begitu dekat dengannya. Membuat ia dapat merasakan deru napas kasar yang memburu milik Richad.
"Rich..." panggilnya ragu. "Ada apa?"
"Sudahkah aku mengatakannya?" gumam Richard. Ia menyentuh kepala Olivia dengan telapak tangannya, ibu jarinya mengelus lembut dahi mulus gadis itu. Saat ia melakukanya, Richard tampak sangat menikmati apa yang menjadi objek pandangnya saat ini. "Kau selalu membuatku b*******h setiap saat."
Olivia bagaikan terbakar, meski hanya dengan kalimat seperti itu. Wajahnya memerah, menahan gelenyar gairah yang tiba-tiba menyerangnya karena tatapan penuh hasrat yang Richard perlihatkan padanya, dan dipadukan dengan usapan lembut diatas dahinya.
Telapak tangannya berpindah, beranjak turun dengan gerakan lambat hingga kebelakang tengkuk Olivia, "Sekarang, Olivia." nada suaranya berpadu antara perintah dan rintihan yang tak tertahankan.
"Rich..."
"Jangan bicara lagi, cium aku seperti sebelumnya."
Bibir mereka telah bertemu. Rasanya Olivia ingin meloncat dan menerkam kedalam pangkuan Richard. Tapi yang ia lakukan adalah mencengkram kepala Richard, menjambak rambutnya, dan memiringkan wajah Richard agar lebih dalam menciumnya.
Akhirnya Olivia mengerti mengapa Richard menyuruh Alex menepikan mobil mereka dan menyuruh pria itu keluar dari sana. Astaga... Sebegitu besarnyakah reaksi Richard terhadap tubuhnya?
Olivia mendesah, jemari Richard tidak bisa berdiam diri, menyentuh seluruh lekuk tubuhnya. Sesekali meremas, lalu memgusap lembut, membuat dirinya merasa melambung tinggi dan terhanyut. Kenyataan jika mereka sedang b******u didalam mobil yang menepi dipinggir jalan, dimana banyak orang dan kendaraan yang berlalu lalang, bahkan mungkin mereka akan bercinta disana, membuat Olivia merasa keadaan mereka begitu erotis.
Ketika Richard tiba-tiba mencengkram kedua pinggangnya, lalu memindahkan tubuh Olivia keatas pangkuannya, gadis itu memekik terkejut bercampur girang. Richard menarik lembut rambut panjangnya yang tergerai hingga Olivia menarik kepalanya kebelakang. Lehernya yang telah basah oleh keringat, membuat beberapa helaian rambutnya melengket disana.
Ujung hidung Richard menyentuh didalam lekukan leher itu, menghirup bau tubuh Olivia yang telah bercampur dengan keringat kenikmatan dengan satu tarikanmnapas panjang, lalu mulai mengecupi setiap inchi bagian itu hingga Olivia mendesah hebat dan nyaris berteriak.
Olivia tidak lagi peduli terhadap sekitarnya. Persetan dengan para pejalan kaki yang mungkin mendengar desahan dan rintihannya, persetan jika Alex harus menunggu lama. Yang ia inginkan saat ini hanyalah, segera menyatu dalam tubuh Richard, untuk menuntaskan dahaga mereka masing-masing.
***