2. Langsung Tumbang!

1044 Words
“Ya ampun, Kakak ... Kenapa bisa demam kayak gini? Apa di hari pertama kamu kerja, terlalu banyak pekerjaan yang kamu selesaikan, sampai pulang larut malam dan berakhir dengan suhu tubuh kamu yang panas?” Cilla menggeram dalam hati, mengumpati pria bernama lengkap Jonathan Asher. Ia ingin menarik kembali kata-katanya di mana ia berucap telah mengenal baik Jonathan, lalu sampai mereka pernah menjadi teman baik. Nyatanya, pria itu tidak berubah. Pekerjaannya tidaklah sedikit. Atasan dingin dan sesuka hati memerintah, telah membuat Priscilla Ogawa terbaring di atas ranjang kamarnya sendiri. Ia ingin menangis, tapi akan jauh lebih sedih ketika Maminya melihat dan ikut merasakan keterpurukannya. Cilla tidak ingin membuat Maminya ikut bersedih. Jadi, untuk membuat perasaan Maminya tenang, ia memilih untuk menerbitkan senyum manis. Sebaik mungkin mensugesti wanita yang duduk di sisi ranjangnya, terus mengompres keningnya untuk menurunkan suhu tubuh. Wanita itu menatapnya dengan tatapan nanar, membelai lembut puncak kepala Cilla. “Mami ... Cilla nggak jatuh sakit karena pekerjaan. Tadi siang lupa makan tepat waktu, terus hari ini pergi sama teman-teman, nggak bawa jaket. Perginya juga ke area taman terbuka. Jadinya mungkin masuk angin dan berujung demam.” Embusan napas berat itu diterimanya. “Lain kali kamu harus peduli sama kesehatan kamu sendiri, Nak. Gimana kalau nanti suhunya belum turun setelah makan dan minum obat tadi? Baru hari pertama kerja, besok kamu udah izin. Mami nggak mau harapan kamu untuk kerja di sana, justru berakhir pengunduran diri. Hiks. Dalam hati Cilla ingin menangis, tapi juga ingin terus mengumpati pria dingin dan sombong serta angkuh itu. Pokoknya, bagian jelek-jelek dari sifat seseorang, ada semua di dalam diri pria itu. “Iya, Mami ... Cilla janji,” cetusnya meraih tangan wanita itu, mengenggamnya dengan lemah. Besok Cilla harus sudah sembuh! Ia ingin kembali bekerja dan jika bisa ingin memaki Atasan jahatnya itu. Motivasi Cilla untuk sembuh adalah supaya dirinya bisa mencakar atau memukul tubuh tinggi itu. Jika perlu, Cilla ingin menjambak rambut Jonathan. “Kamu mau Mami buatkan krim sup, Sayang?” Cilla mendongak, menatap manik hitam yang memandangnya dalam sendu dan rasa khawatir. Ia menggeleng, tersenyum kecil. “Udah malam, Mi. Sekarang Mami istirahat aja. Kakak bisa sendirian di sini dan mungkin, beberapa jam lagi suhu tubuh Kakak bakal stabil dengan obat penurun panasnya,” jelasnya mengusap punggung tangan itu yang masih di genggamnya. “Kamu yakin, Nak?” “Iya, Mami. Cilla baik-baik aja.” “Oh, iya. Jangan bilang sama Papi kalau Kakak jatuh sakit di hari pertama bekerja ya, Mi? Cilla takut Papi minta Cilla berhenti kerja. Padahal, Mami tau sendiri kalau Cilla ingin kerja di perusahaan di luar keluarga besar kita,” jelasnya membuat wanita itu menatap lekat putrinya yang berucap penuh keinginan kuat. “Kamu kasih Mami permintaan yang sulit, Kak. Meskipun Papi kamu sedang tugas luar kota, tapi tetap aja, Mami mau kasih kabar ke Papi.” “Mami baik, deh! Cilla yakin, Mami pasti mau jaga rahasia ini,” cetusnya tersenyum semringah, mengedipkan sebelah matanya untuk meminta bantuan pada Maminya Wanita itu tertawa kecil, merasa luluh pada permintaan putrinya, anak pertama di dalam keluarga kecil yang ia bangun bersama sang suami. “Tapi, kamu harus bilang sama Mami kalau beneran pekerjaan di sana membuat kamu lelah, ya? Gimanapun, kamu lupa makan siang pasti karena disibukkan pekerjaan,” sahutnya membuat Cilla mengangguk cepat. “Kakak janji, Mi!” balasnya dengan semangat di antara demam dan tubuhnya yang berbalut selimut tebal. Mami Cilla mengulum senyum, menunduk untuk memberikan kecupan manis di puncak kepala anak pertamanya. ** “Siapa sih yang telepon pagi-pagi kayak gini,” gumam Cilla, masih menutup rapat kelopak matanya, meskipun telinganya sangat kuat untuk menangkap suara dari panggilan teleponnya. Ia mengerang, meraih ponsel di atas nakas dengan mata masih tertutup dan mengandalkan ingatannya di bagian mana tombol hijau itu berada. “Hmmm ...” Cilla enggan untuk menyahut dengan baik dan memilih bergumam tidak jelas menjawab panggilan telepon. “Mau masuk kerja jam berapa di saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi?” Demi apa pun, Cilla yang merespons cepat kalimat terakhir itu, sukses menegakkan tubuhnya, membeliak untuk segera mencari jam dinding dengan begitu bodoh dan polosnya. “Jam ... Enam ... Pagi?!” Ia mengumpat. Tangannya mengusap kasar wajahnya sendiri, tidak habis pikir dengan suara di seberang sana yang langsung menaikkan kemarahan Cilla di pagi hari manisnya. Bahkan, ia sudah merasa kembali pulih di suhu tubuhnya yang normal. “Kamu masih bisa mendengar panggilan saya, kan?” Deg! Cilla mulai merasakan kembali dunia nyatanya saat ponsel itu masih menempel di telinganya. Suara tegas itu membuat jantungnya berdegup kuat dan membuatnya takut perlahan untuk menoleh ke arah layar ponsel, menilik penelepon. Nomor baru yang ia simpan kemarin siang! Dirut Asher. Napasnya tercekat. “Pagi ini datang tiga puluh menit lebih pagi ke perusahaan.” “Tapi, Pak, Saya—“ Tut! Dengan u*****n kasar, Cilla tidak dapat lagi membendung emosinya. Ia menggeram kesal, mengepalkan kedua tangannya dan merasakan jika kedua pipinya memanas. “Suer! Baru juga sembuh dari demam semalam, terus harus bangun kayak orang bodoh dan ditambah disuruh masuk kerja lebih awal.” “Ya Tuhan ... Kenapa hari kedua bekerja semakin sulit aja?” Cilla mendesah frustrasi, merebahkan tubuhnya seolah tanpa beban, jatuh begitu saja dan kembali menaruh kepalanya di atas bantal. Ia memejamkan sejenak kelopak mata di saat kepalanya kembali berdenyut. “Tiap hari aja migrain. Langsung kurus, ceking, stres berakhir keriputan karena pekerjaan dan adu urat sama Atasan otoriter!” “Mami ... Cilla bisa stres kerja di sini, tapi nggak mungkin juga mundur di saat harus ada denda dari sanksi yang berlaku di perjanjian awal.” Mungkin ia bisa membayar denda tersebut. Bahkan, dengan mengeluarkan tabungan dan jika kurang, bisa mendapatkan tambahan dari orangtuanya. Sayangnya, Cilla sedari dulu berusaha untuk bertanggungjawab dengan pekerjaannya. Ia terbiasa datang ke sekolah tepat waktu, mengerjakan tugas dalam tenggat waktu yang sesuai atau bisa jadi lebih cepat. Jadi, di usianya yang sudah beranjak dewasa, Cilla telah membentuk dirinya dengan baik. Namun, ia tidak tahu bisa mengaplikasikannya dengan baik setelah mendapatkan pekerjaan ini atau tidak sama sekali. Ia lelah. Ingin cepat bertemu Jonathan untuk menjambak rambutnya atau sekadar mengumpati pria itu secara langsung. Tapi, mungkin ia harus berpikir berulang kali di saat ingin melakukannya pada Atasannya sendiri. Jonathan sangat berbahaya, bisa semakin membuat Cilla teraniaya dalam bekerja. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD