Bab 4 - Kak Juan

1255 Words
Nana lalu mengambil duduk di kursi di hadapan Max. “Siapa yang suruh duduk?” “Loh, memangnya ngga boleh duduk Mr?” Nana sontak berdiri. “Saya belum suruh duduk 'kan?” “I-iya sih.” jawab Nana lalu berdiri seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya udah sekarang kamu boleh duduk.” 'What! Ini dosen benar-benar nyebelin banget sumpah.’ seru Nana dalam hati, ia pun kembali duduk di hadapan Max. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan? Cepat ya, saya ngga punya banyak waktu soalnya.” tuturnya seraya memeriksa jam di pergelangan tangannya. “Cih, dasar sok sibuk.” ucap Nana pelan dengan wajah yang menatap ke arah lain. “Saya masih bisa mendengarnya ya,” “Ah, bukan apa-apa kok Mr. Hehe ...” Nana malah menunjukkan cengiran lebarnya yang hanya dibalas tatapan dingin oleh orang di hadapannya. “Waktumu hanya tinggal 5 menit lagi.” “Hah! Iya-iya Mr, ini saya mau bertanya. Apa Mr sudah mendengar kabar tentang perjodohan kita?” “Ya, sudah.” “Terus kenapa Mr masih santai-santai saja. Jangan bilang kalau Mr mau menerima perjodohan ini ya?” “Ya, saya menerimanya karena saya ingin berbakti kepada kedua orangtua saya, maka dari itu saya akan menuruti semua permintaan Orangtua saya.” “Tapi Mr, saya ngga mau nikah sama Mr.” “Itu terserah kamu, lakukan apapun yang ingin kamu lakukan untuk membatalkan perjodohan ini atau apapun itu tapi saya tidak ingin ikut campur.” “Tapi Mr kamu harus membantuku.” “Saya tidak bisa." “Oke, kalau begitu. Kalau Mr tidak mau membantu, saya akan melakukannya sendiri.” ujar Nana sembari menatap tajam Max tanpa takut-takutnya. “Memangnya kamu mau melakukan apa? Jangan bilang kamu akan berbuat sesuatu yang bodoh.” Max mengubah posisi tangannya menjadi bersedekap d**a seraya menatap Nana dengan tatapan meremehkan. “Dari mana Mr tahu kalau aku mau melakukan sesuatu yang bodoh?” Max tersenyum miring. “Coba saya tebak, kamu pasti mau mengancam orangtuamu bila kamu ingin bunuh diri saja bila Perjodohan tidak dibatalkan. Am i right?” Nana terdiam, tebakan Max ternyata tepat sasaran. 'Bagaimana dia bisa tahu, apa dia cenayang? Atau dia sering menguntitku?’ batin Nana yang sesekali terlihat melirik Max curiga. “Kenapa diam?” Nana menatap Max, namun masih enggan untuk menjawab, ia malah mengerucutkan bibirnya. “Tapi itu terserah kamu, apapun yang ingin kamu lakukan untuk membatalkan perjodohan ini lakukanlah tapi ingat jangan sampai membahayakan dirimu sendiri. Saya tidak bisa membantu karena saya sibuk” lanjutnya. “Iya aku tahu kok Mr, aku juga belum mau mati muda. Hm, ya udah kalau begitu saya permisi.” Max mengangguk, Nana lalu berdiri dan bergegas keluar dari ruangan Max. ‘Huh ... Dasar sok keren, sok sibuk. Pake ngga mau nolongin aku segala lagi, jadi aku sendiri deh yang harus bertindak. Dasar nyebelin!’ Kesalnya dalam hati. “Ckk.” di sepanjang koridor ia tak sengaja mengalihkan pandangannya ke arah lapangan basket dan sontak wajahnya berubah menjadi ceria kembali, senyum lebar seketika tercetak di wajahnya. Dengan langkah cepat ia pergi ke lapangan basket tersebut. Setibanya di sana, ia bergabung dengan penonton lainnya, banyak mahasiswi yang setelah kuliah usai pasti akan menonton para senior yang bermain basket atau sepak bola hampir setiap hari. Sebenarnya mereka menonton bukan buat untuk melihat bagaimana cara mereka bermain melainkan untuk cuci mata memandang para pemain basket yang rata-rata adalah pria tinggi dan tampan. “Waaaaa~ Kak Juan! Semangat!” seru Nana dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi hingga membuat orang yang disebut namanya mengalihkan pandangannya, ia seperti merasa pernah mendengar suaranya. Mata Nana melebar ketika dinotice dengan idolanya itu. “Aaaaa~ Kak Juan~ semangat yaa~” Juan hanya menunjukkan senyum tampannya lalu melanjutkan permainan. “Astaga! Astaga! Dia senyum sama aku, senyumnya ganteng banget, menyejukkan hati yang sedang panas ini. Aaaa~” Nana berbicara dengan antusiasnya hingga membuat orang-orang di sebelahnya yang sedang menonton menjadi sedikit terganggu karena suara nyaringnya. Namun, tanpa disadari Nana, Max terlihat sedang berjalan di koridor dekat lapangan basket dan sontak berhenti ketika melihat Nana yang sangat antusias menonton orang bermain basket seraya menyemangati pria yang bernama Juan itu dengan semangat. Wajah cerianya tampak tercetak jelas di wajah Nana namun tidak dengan Max yang melihatnya, sama sekali tidak menunjukkan wajah bahagia melainkan raut wajah dingin tak berekspresi. Namun, sekian menit kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan area tersebut dan terlihat tidak begitu peduli. Setelah permainan selesai, Nana mengeluarkan minuman dari tasnya lalu bergegas menghampiri Juan yang tampak sedang istirahat. “Kak!” “Eh, Na. Kamu ngga pulang?” tanya Juan. “Hm, nanti deh Kak. Tadi awalnya mau pulang cuma karena lihat kamu main basket, jadi aku sempetin nonton dulu deh hehe ... Oya Kak ini minum buat kamu,” tutur Nana dengan lagak malu-malu lalu memberikan minuman yang diambilnya dari tasnya tadi kepada Juan. “Buat aku?” Nana mengangguk ribut. Juan pun menerimanya. “Makasih ya,” ucap Juan dengan lembut seraya mengacak-acak rambut Nana hingga sang empu mengerucutkan bibirnya. “Ihh Kak kok diberantakin sih,” “Kamu lucu banget sih,” Juan mencubit pipi gembul Nana saking gemasnya. Senyum lebarnya tampak menghiasi wajahnya. ‘Aduh Kak Juan kenapa suka bikin deg-degan sih. Aaaa!' teriak Nana dalam hati. “Juan!” panggil seseorang yang sepertinya adalah teman satu angkatannya. “Oi?” Juan mengalihkan pandangannya ke arah pria itu. “Ayo pergi!” “Oke!” Juan kembali menatap Nana. “Kakak pulang dulu ya, kamu juga harus pulang, hati-hati di jalan dan thanks ya buat minumnya.” “Iya Kak, kakak juga hati-hati ya.” “Umm.” jawabnya dengan gumaman. Ia kembali mengacak rambut Nana sebentar sebelum akhirnya pergi dari sana dan mengejar beberapa temannya yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Mata Ara sontak berkedip-kedip gugup dengan jantung yang berdenyut tak karuan. Ia sontak menyentuh dadanya. “Ahh, aku rasa aku tidak akan mencuci rambut dan wajahku untuk beberapa hari ke depan.” gumamnya dengan senyum lebarnya seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Ia pun melangkah keluar dari lapangan basket menuju parkiran mobil dengan langkah cerianya. Tin! Tin! “Aaaa ...” Nana reflek menutup telinganya dan berjongkok ketika mendengar bunyi klakson yang keras, karena tidak melihat ke sekitarnya, Nana hampir saja ditabrak, beruntung mobil Mercedes Benz putih itu berhenti tepat di depannya. “Hei! Kalau jalan itu pakai mata.” Nana sontak mengalihkan pandangannya ke arah orang yang dibalik kemudi tersebut dan matanya terbelalak ketika melihat pengemudi mobil tersebut adalah Max. Ia lantas berdiri lalu menghampiri Max. “Sorry ya Mr. Mr itu yang nyetirnya ngga benar, masa udah tahu ada orang lewat mau main terobos aja.” “Kamu itu yang jalan ngga pakai mata.” “Mr, kalau jalan itu pakai kaki bukan pakai mata.” “Terserah kamu. Minggir, saya buru-buru.” Nana akhirnya menyingkir dari sana untuk memberikan Max jalan. Max menutup kaca mobilnya, tin! Tin! Max sempat membunyikan klakson yang membuat Nana tersentak sebelum akhirnya meninggalkan perkarangan kampus. “Yeuu dasar dosen nyebelin!” seru Nana kesal lalu sepanjang jalan menuju mobilnya yang terparkir, ia terus mengomel, memberikan sumpah serapah kepada Max. “Huhh ... Kenapa sih aku harus dijodohin sama orang seperti dia, kenapa ngga sama Kak Juan yang tampan dan baik hati.” gumamnya di dalam mobil. Ia masih meratapi nasibnya yang tidak beruntung mendapatkan senior idamannya dan malah mendapatkan orang yang tidak disukainya. Ia pun memasang seatbeltnya. “Pokoknya aku harus menggagalkan rencana perjodohan ini. Harus!” lanjutnya dengan tekad yang kuat lalu menghidupkan mesin mobilnya dan mengendarainya meninggalkan kawasan kampusnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD