Keesokan harinya di kediaman keluarga Nana. Seperti biasa pagi ini Nana bersama keluarga sedang sarapan bersama di ruang makan yang meja dan kursinya bernuansa putih elegan itu. Revan, papanya terlihat duduk di kursi utama. Ia tampak sudah rapi dengan setelan jas biru tua dan rambut klimis yang ditata rapi. Rena, adiknya juga tampak sudah rapi dengan seragam sekolahnya, rambut panjangnya tampak diikat hari ini. Sementara dia sendiri masih mengenakan baju tidur, yap! Dirinya belum mandi, baru cuci muka dan menyikat gigi saja karena ia tidak memiliki jadwal kuliah pagi ini sehingga membuatnya malas untuk mandi. Ia dan Rena duduk bersebelahan sedangkan Mamanya duduk berhadapan dengannya.
Selama makan, Nana tidak henti-hentinya melirik Mama dan Papanya yang sangat khidmat melahap nasi goreng, menu sarapan pagi ini. Sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, matanya tidak henti melirik ke arah kedua orang tuannya. ‘Apa sekarang adalah waktu yang tepat?’ batinnya mewanti-wanti kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika ia mulai melancarkan aksinya sekarang tanpa sadar bibirnya mengerucut kecil.
“Ehem!” Nana berdehem hingga tiga lainnya sontak menatap ke arahnya. “Kenapa Na? Mau nambah? Nambah aja, ngga usah pake kode-kode gitu. Kamu jangan diet ya! Mama ngga mau kamu diet.”
“Eh, bukan Ma. Siapa juga yang mau nambah, ini aja belum habis.” jawab Nana seraya melirik piringnya yang masih menyisakan setengah porsi nasi goreng.
“Ohh, kirain. Ya udah cepat buruan habisin.”
“Hm, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan sama Papa dan Mama.” Revan dan Yanti sontak menatap Nana, namun tidak dengan Rena yang masih saja sibuk dengan ponselnya.
“Mau ngomong apa Na? Tumben kamu minta izin dulu, biasanya juga langsung ngomong.”
“Hm ... Ini tentang perjodohanku dengan Pak Max.”
“Kenapa? Kamu ingin menolak perjodohan ini?” tanya Revan kali ini yang dengan cepat dan tepat sasaran.
“Iya.” jawab Nana dengan lantang hingga membuat Revan dan Yanti melebarkan matanya. “Aku tidak mau menikah dengan dia Pa, Ma.”
“Tapi, kenapa? Dia itu anak yang baik loh, kalau belum kenal pasti belum mengerti—“
“Tidak!” Nana sontak memotong perkataan Mamanya lalu bangkit dari kursinya hingga membuat semua yang ada di ruang makan itu terkejut. “Pokoknya aku tetap tidak mau menikah dengan dia. Kalau Mama sama Papa masih tetap maksa aku juga, lebih baik aku menghilang saja dari dunia ini.” Nana memulai dramanya. Ia bergegas meninggalkan ruang makan lalu menaiki tangga menuju rooftop.
“Eh, eh Na! Kamu mau ke mana?!” seru Yanti panik namun tidak digubris oleh Nana. “Pa, gimana ini? Nana mau ngapain itu? Kamu harus lakukan sesuatu.”
“Udah, biarin aja Ma. Palingan juga itu cuma akal-akalan dia.”
“Ih, Papa kok gitu sama anak sendiri. Ya udah kalau Papa ngga mau peduli, biar Mama aja yang samperin Nana.”
“Ma! Ma, kamu mau ke mana? tunggu!” Revan akhirnya ikut menyusul istri dan anak pertamanya itu sedangkan Rena terlihat merapatkan bibirnya seraya menggelengkan-gelengkan kepalanya tak habis pikir. “Kak Nana, Kak Nana masih pagi udah berulah aja, terus aku pergi ke sekolah sama siapa nih kalau Papa sama Mama sibuk sama Kak Nana.”
Sementara itu Nana yang sudah tiba di rooftop rumahnya yang berlantai 3 itu bergegas mengeluarkan obat tetes mata dari kantong celananya. Sebelum meneteskan ke matanya agar terlihat seperti sedang menangis, ia terlebih dahulu memeriksa sekitar kalau-kalau Papa dan Mamanya memergoki rencananya. Setelah memastikan keadaan aman, Papa dan Mamanya belum datang ke rooftop akhirnya ia meneteskan obat tetes mata itu beberapa tetes ke matanya hingga membuatnya seperti sedang menangis lalu dengan cepat kembali menyimpan obat tetes tersebut dan bersamaan dengan Yanti dan Revan yang datang ke rooftop. Ia melirik ke arah mereka sejenak lalu memulai aktingnya. “Huhuhuu ....”
“Na! Na kamu ngapain di situ? Jangan kepinggir-pinggir sayang nanti kamu jatuh.” Yanti tampak sangat mengkhawatirkan Nana ketika Nana sudah berdiri di dekat dinding pembatas rooftop.
“Hikss ... Jika Papa sama Mama tetap membiarkan aku menikah dengan Pak Max, orang yang sama sekali tidak kucintai lebih baik aku mati saja. Aku akan melompat dari sini.” ancam Nana, mulai melancarkan aksinya.
“Nana jangan ya sayang, jangan nekat ya Na, Mama mohon.”
“Kamu yakin mau lompat? Ngga takut? Coba aja kalau berani.” Nana dan Yanti sontak menatap Revan dengan mata membulatnya. “Pa, Papa kok ngomong gitu sih. Papa ngga sayang sama Nana? Kalau Papa ngga sayang sama Nana itu artinya Papa juga ngga sayang sama aku.”
“Bukan begitu Ma maksudku. Lihat saja nanti, dia ngga akan berani.”
Nana menelan ludahnya takut, ia sedikit melirik ke bawah dan sontak menutup matanya rapat, sedikit tinggi juga. ‘Duh, Papa kenapa malah ngancam begini sih, masa iya aku harus beneran lompat. Bisa mati nanti aku.’ batin Nana ketika Papa dan Mamanya masih beradu argumen.
“A-aku berani kok. Aku akan lompat.” celetuk Nana hingga kedua orangtuanya menatapnya dengan tatapan tak percayanya. Keringat dingin mulai mengalir hingga ke rahangnya, perlahan ia mulai melangkah lebih dekat ke tembok pembatas.
“Na! Jangan!”
“Ma, tolong jangan maju! Kalau Mama maju aku akan benar-benar lompat sekarang!" teriak Nana ketika mengetahui bila Mamanya bergerak mendekatinya.
“Pa! Tolong hentikan Nana!” Yanti masih berusaha mendesak suaminya untuk menghentikan Nana, namun suaminya itu tidak bergeming. Ia masih memantau gerak-gerik Nana karena ia berpikir bila Nana tidak bersungguh-sungguh dan itu hanya akal-akalannya saja. Ia hanya tidak mau bersikap lemah terhadap anaknya, yang harus selalu menuruti permintaannya.
Dan karena tidak ada yang mencoba menghentikannya, Nana memberanikan diri untuk mencoba naik ke dinding pembatas dan, “Nana, jangan!” Mamanya bergerak cepat menarik lengan Nana hingga membuat Nana tidak sempat naik, lalu segera menarik Nana ke dalam pelukannya.
“Ma!” seru Revan ketika mengetahui bahwa istrinya dengan cepat menghampiri Nana.
“Mamaa, hikss ....”
“Jangan menangis ya Na, Mama akan kabulkan permintaan kamu. Mama akan batalkan perjodohannya.”
“Beneran Ma?” Nana menatap Mamanya dengan tatapan penuh harap. Yanti mengangguk, tangannya tergerak mengusap bekas air mata di pipi Nana. “Iya sayang, perjodohannya akan dibatalkan. Mama nanti yang akan bilang sama orangtua Max. Tolong kamu jangan lakukan hal nekat kayak tadi lagi ya, Mama ngga mau kehilangan kamu.”
Nana mengangguk ribut. “Iya Ma, aku janji. Makasih ya Ma,” Nana kembali memeluk Mamanya dengan erat dalam hatinya ia tersenyum bahagia karena rencananya telah berhasil.
Revan menghela napasnya ketika menatap pemandangan di depannya, ia juga menjadi tidak tega melihat pemandangan mengharu biru di depannya. Perlahan kakinya melangkah mendekati dua kesayangannya itu. “Sudah, lanjut pelukannya di dalam saja. Aku harus mengantarkan Rena, dia bisa terlambat ke sekolah nanti.” Revan mengusap pundak istri dan anak pertamanya itu dengan lembut, untuk masuk ke dalam rumah.
Mereka pun akhirnya mengangguk dan kembali masuk ke dalam rumah.
Ketika masuk ke dalam, mereka mendapati Rena sudah berdiri di bawah tangga menunggu mereka dengan posisi berkacak pinggang. “Pa~ ayo berangkat, aku sudah mau telat nih.”
“Iya, sabar Rena. Kamu tunggu di luar aja dulu.”
“Oke deh.” Rena lalu pergi ke depan lebih dulu.
“Ya udah Pa, Ma aku ke kamar dulu ya,”
“Iya Na, kamu istirahat ya.” ucap Mamanya dan diangguki oleh Papanya.
Setelah Nana pergi ke kamarnya, Yanti dan Devan pun pergi ke depan. “Rena, kamu hati-hati ya di jalan, nanti pulangnya jangan telat. Kalau telat karena ada suatu urusan jangan lupa kabarin Mama dulu.”
“Siap Ma! Kalau begitu aku pergi dulu ya Ma,” Rena tak lupa mengecup tangan Mamanya sebelum berangkat ke sekolah.
“Sayang aku pergi juga ya,” Yanti meraih tangan suaminya lalu mengecupnya, Revan juga tak lupa memberikan kecupan di kening istrinya. “Hati-hati ya Pa.”
“Bye Ma~ Assalamu’alaikum.”
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.” jawab Yanti dengan senyum kecilnya menatap mobil suaminya yang perlahan bergerak meninggalkan rumah.
TBC