Bab 8 - Ide Yanti Berhasil

1506 Words
“Duduklah di sini dulu Mr! Kamu mau minum apa? Biar saya ambilkan.” Nana mencoba berbasa-basi pada dosennya, walau sebenarnya dirinya malas melayani tamu malam-malam begini. “No, thank you. I will wait here for a while.” ujarnya lalu mengambil duduk di sebuah sofa panjang. “Oh, okay.” Nana ikut mengambil duduk di sofa yang sama namun dengan jarak yang jauh. Mereka berdua sama-sama duduk di ujung sofa dan menyisakan banyak tempat kosong ditengah. “Mr, sorry bukan bermaksud apa-apa, tapi lebih baik kalau kita duduk berjarak seperti ini. Mr, jangan dekat-dekat saya ya, karena di rumah hanya ada kita berdua.” celetuk Nana memberikan peringatan dari awal. “I know. Saya tahu batasannya.” Nana mengangguk dengan hati yang lega. Ia pun mengambil ponselnya yang terletak di atas meja untuk mengirimkan pesan pada orangtuanya, menyuruh mereka agar lebih cepat pulang karena Max sudah menunggu di rumah. Namun sekian menit kemudian, lampu pun padam hingga membuat ruangan menjadi gelap gulita. “Oh, no! Lampunya padam.” “Aaaa ...” teriak Nana dan reflek mendekat ke Max, “Eh, eh kamu kenapa? Kenapa kamu meluk-meluk saya? Tolong jangan cari kesempatan ya, apa kamu mau nanti orang-orang akan berpikiran yang tidak-tidak pada kita?” Max bersuara ketika lengannya di peluk manja oleh Nana, tubuh Nana juga menempel dengan tubuhnya. “Aku takut Mr,” “Kamu takut apa? Jangan coba-coba cari kesempatan dalam kegelapan begini ya.” Nana tak mengindahkan perkataan Max dan malah makin mempererat pelukannya pada lengan Max. “Aku tidak cari kesempatan Mr, aku takut gelap, hikss ...” suara Nana bergetar dan suara isakan pun lolos dari bibirnya. “Loh, kamu nangis? Jadi kamu beneran takut sama gelap?” “Huhuu ... Aku takut,” “Ya udah kamu tenang dulu, jangan takut, di sini ada saya. Kamu tidak sendirian, kamu tenang ya,” tutur Max pelan berusaha menenangkannya, tangannya juga perlahan tergerak mengusap kepala Nana dengan lembut. Dia tidak memiliki niat buruk apapun saat ini, ia hanya ingin menenangkan Nana. “Apa ada orang di dalam?!” Ceklek! Pintu rumah Nana sontak terbuka dan sebuah cahaya lampu senter masuk ke dalam menyoroti Nana dan Max yang masih dengan posisi berpelukan. “Astagfirullah ... anak muda, apa yang sedang kalian lakukan di tempat gelap seperti ini?!” teriak seorang pria yang datang bersama beberapa orang di belakangnya. Max dan Nana akhirnya dipaksa keluar dari rumah oleh warga dan pak RT setempat yang datang ke rumah “Pak, Bu maaf kami tidak melakukan apa-apa. Ini tidak seperti yang Bapak dan Ibu lihat.” Max mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi. “Tidak seperti yang dilihat bagaimana? Udah jelas-jelas kalian peluk-pelukan dalam kegelapan, ditambah lagi kalian ini bukan suami istri. Kalian sengaja memanfaatkan kondisi huh?!” "Iya betul tu! Huuuu ...” “Iya-iya benar. Dasar anak muda zaman sekarang! Pergaulannya sudah jauh melewati batas!” marah ibu-ibu yang berada di sini, mengeluarkan emosinya. Sementara Nana hanya diam karena rasanya ia masih sedikit lemas pasca mati lampu tadi. Nana memang memiliki trauma dengan kegelapan karena saat masih kecil ia pernah dikurung selama beberapa jam di tempat yang gelap karena nakal. Tangannya tergerak mengusap bekas air mata di pipinya. “Pak, Bu. Tolong dengarkan penjelasan saya dulu,” “Udahlah ngga usah banyak alasan lagi, dasar anak muda tidak punya adab!” “Bapak! Ibu! Tolong berhenti dulu! Saya mau bicara.” Agus, ketua RT di daerah tempat Nana tinggal akhirnya membuka suaranya agar warganya tidak mengambil kesimpulan sendiri. Ketika semua telah diam, Agus menatap Max dan Nana bergantian. “Siapa nama kalian? Dan seingat saya nama kamu Nana 'kan? Kamu anaknya pak Revan dan Bu Yanti?” tanya Agus seraya menatap ke arah Nana. Nana mengangguk pelan. “Iya Pak.” “Terus nama kamu siapa?” “Saya Max Pak,” Bola mata Agus bergerak-gerak menatap Max, “Kamu bukan warga sini 'kan? Kamu tinggal di mana? Kenapa bisa ada di sini dan cuma berduaan aja sama Nana?” “Ya, saya mohon maaf sebelumnya Pak, saya memang bukan warga di sini. Saya tinggal di Jl. Merpati putih, lumayan jauh dari sini. Awalnya saya ke sini karena diminta datang oleh Orangtuanya Nana tapi ternyata saat saya datang, orangtua Nana sedang tidak ada di rumah. Jadi, saya memutuskan untuk menunggu di rumah Nana.” “Menunggu sih menunggu, tapi jangan sambil peluk-pelukan juga dong, mana bukan suami istri lagi. Jadi 'kan orang bisa berpikir yang tidak-tidak.” celetuk wanita paruh baya dengan rambut bergelombang dan wajah yang tirus. “Iya, benar. Alasan aja tuh, 'kan bisa nunggu di luar.” “Ibu-ibu tolong jangan menyela dulu. Biarkan saya yang mengurusi semua ini.” sang ketua RT kembali berbicara. “Nak Max, Nana, sepertinya akan susah untuk menjelaskan semua ini kepada warga di sini. Jadi, saya minta kepada kalian untuk menghubungi Orangtua kalian saja, suruh mereka untuk datang ke sini sekarang juga.” Nana mendonggak menatap Agus dengan matanya yang membulat. “Tapi Pak—“ “Sudah tidak ada tapi-tapian, sekarang suruh orangtua kamu untuk datang ke sini sekarang.” Nana terdiam, ia tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi, namun seketika Nana tersentak ketika Max menyentuh pundaknya, ia mendongak menatap Max yang lebih tinggi darinya. Max tidak berbicara, ia menatap Nana dengan lembut dan menganggukkan kepalanya pelan seolah-olah mengatakan bila semuanya akan baik-baik saja. Nana akhirnya menghela napasnya, mereka berdua akhirnya menghubungi orangtua mereka untuk datang ke sana. Tak lama kemudian orangtua dari Nana dan Max akhirnya datang. “Pak Agus, ini anak saya kenapa? Kenapa ramai-ramai begini?” tanya Revan, Papa Nana setelah tiba di sana. “Ada apa ini ya? Kenapa saya dipanggil ke sini? Apa Max membuat masalah di sini?” timpal Jack. “Maaf Pak, Bu ... kenapa Bapak Ibu meninggalkan anak Ibu sendiri sementara di rumah ada tamu seorang pria? Apa kalian tahu mereka melakukan tindakan tidak senonoh di rumah ini tadi?” “Apa! Astaghfirullah, Nana kamu ngapain?!” “Max! Kamu ngapain di sini?” “Sebentar-sebentar, saya ke sini karena diundang oleh Mamanya Nana, saya tidak ada maksud yang aneh-aneh untuk datang ke sini. Benarkan Tan?” potong Max seraya melirik Yanti. “Iya benar sih, Tante ngundang kamu untuk datang ke rumah. Tapi, Tante ngga nyangka bila kamu melakukan tindakan tidak senonoh dengan anak Tante. Tante lagi keluar sebentar, kamu 'kan bisa menunggu Tante tanpa melakukan yang aneh-aneh.” “Tapi saya ngga melakukan yang aneh-aneh Tante. Semuanya saya dan Nana tidak melakukan apapun.” “Kami tidak melakukan hal yang tidak senonoh yang kalian bilang itu,” timpal Nana. “Udahlah ngga usah banyak alasan lagi. Kasih aja hukuman untuk dua anak muda ini, biar jera. Biar ngga lakuin hal yang sama berulangkali.” “Ya, benar tuh.”  Semua warga tampak menyetujui perkataan dari salah satu warga. Nana terlihat melirik orang-orang dengan mata yang berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis, kenapa ini bisa terjadi padanya. “Oke, cukup.” Agus menghentikan warga yang terus mengeluarkan pendapatnya. “Saya tahu perbuatan ini tidak bisa mudah diterima oleh masyarakat. Maka dari itu saya minta orangtua dari Max dan Nana untuk mempertanggungjawabkan tentang masalah ini. Kira-kira apa yang harus kita lakukan pada mereka?” “Pak Agus, kata Bapak bertanggungjawab ya?” Yanti kembali bersuara dan Agus pun mengangguk. “Untuk mempertanggungjawabkan masalah ini, bagaimana jika kita nikahkan saja mereka berdua Pak?” lanjutnya hingga membuat Max dan Nana sontak menatap Yanti dengan mata yang membulat. ‘Nah, ide bagus itu. Biar ngga jadi bahan kucilan warga.” celetuk seorang warga. “Ma~ apa-apaan sih,” “Oke, kalau kedua belah pihak sama-sama menyetujui, kami pun setuju. Kalau begitu kami tunggu undangan pernikahannya, jadi kalau sudah sah nanti 'kan orang-orang juga ngga bisa berkata yang tidak-tidak dan saya juga akan akhiri masalah ini agar tidak merembet kemana-mana, semua warga silakan kembali ke rumah masing-masing.” Semua warga akhirnya menuruti perintah dari sang ketua RT lalu kembali ke rumah masing-masing. “Maa~” rengek Nana lalu menghambur ke dalam pelukan mamanya. “Udah ngga apa-apa sayang, mungkin kamu sama Max sudah ditakdirkan untuk menikah, walaupun kamu berusaha untuk menolak, tapi ada saja kejadian begini sehingga membuat kamu harus berjodoh dengan Max.” “Maafkan Max ya Nana jika Max berbuat yang tidak-tidak padamu, tapi kami sebagai orangtua Max pasti akan memberikan ajaran dan nasihat yang baik untuk Max agar kelak dia menjadi suami ataupun ayah yang baik.” “Ma, tapi aku tidak berbuat yang tidak-tidak pada Nana.” bantah Max karena ia tahu bila dirinya tidak bersalah. Nana menatap kedua orangtua Max, “Maaf Tante dan Om, ini semua bukan salah Mr. Max, ini semua salahku, aku yang mendekatinya duluan karena aku takut gelap sehingga membuat warga salah paham.” Shanty tersenyum lalu mengusap bahu Nana. “Sudah tidak apa-apa, jadilah anak yang baik dan bertanggungjawab, jika orang-orang ingin kalian bertanggungjawab maka lakukanlah. Saya sudah menerima kamu menjadi menantu saya.” Nana sontak menyunggingkan senyum tipisnya begitupula dengan para Orangtua yang tampak saling melirik satu sama lain dan tersenyum karena rencana mereka akhirnya berhasil.    TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD