1. Persiapan Kencan

1593 Words
Jakarta. 18:35 WIB.     Banyak orang yang menganggap, bahwa kaum Adam pada umumnya tak terlalu memperhatikan penampilan ketika akan berkencan.     Aku tak tahu bagaimana caranya paradigma konyol itu bisa terbentuk.     Di depan cermin, aku telah menyisir rambutku selama dua menit penuh meski tahu usaha itu takkan membawa perubahan yang berarti. Rambutku yang hitam cepak tak mungkin menjadi kusut hanya dalam waktu beberapa detik. Dan sebelum mengurus rambut, aku juga sudah pusing mengenai pakaian. Mendadak saja tak ada satupun pakaian yang membuatku nyaman, kebanyakan terlalu norak, terlalu ketat atau terlalu longgar.     Pada akhirnya aku menyerah pada pilihan kemeja lengan panjang berkerah dengan motif salur hitam putih dan celana jeans navy. Sekarang aku sedang mempertimbangkan untuk memakai dasi, tapi apa itu akan terkesan terlalu formal?     "Astaga. Dennis, caramu bersiap untuk kencan seperti perawan yang baru pertama kali diajak menghadiri pesta dansa." Seorang pria yang tengah duduk di tepi ranjang dengan kedua tangannya menggenggam secangkir kopi itu berucap, dan ia menatap tingkahku dengan geli.     Aku mendelik padanya. "Terserah apa katamu Fred. Sebagai seorang sepupu, cobalah untuk sedikit membantu." Aku terdiam sejenak, lalu, "Menurutmu bagus tidak jika aku memakai dasi?"     Fred menggaruk kepalanya dengan satu tangan, heran. "Dennis, kamu malam ini akan berkencan, bukannya menghadiri rapat dengan klien. Tak perlu."     Aku mengangguk. Tak perlu memakai dasi. Baiklah, pemeriksaan terakhir. Kutatap kembali bayanganku di dalam cermin dengan garang. Memastikan setiap detail penampilanku dalam keadaan normal. Semua kancing telah terpasang, ikat pinggang sudah kukencangkan dengan pas, sepatu kulit yang kukenakan masih mengkilap, dan ... ya, resleting celanaku juga sudah tertutup rapat.     Mungkin ada satu yang kurang dari penampilanku. Hanya sebagai pelengkap ....     "Eh, Fred. Boleh kupinjam parfum milikmu?" pintaku, masih memandangi sosok pria berkulit kecoklatan dalam cermin.     "Apa?" tanya Fred setelah beberapa saat, sepertinya ia tak mendengar pertanyaanku dengan jelas.     Kali ini aku menatapnya. "Boleh kupinjam parfum milikmu?"     Tatapan mata Fred melebar. "Serius? Ingin memakai pewangi? Padahal semenjak pubertas kau kan tidak pernah menyukai wewangian jenis apa pun," sindirnya.     Aku memutar bola mataku walau apa yang dikatakan Fred itu benar. Sejak dulu aku tak suka memakai parfum. Tapi selalu ada pengecualian dalam segala hal. Dan malam inilah pengecualian itu terjadi. "Sudahlah jangan terkejut begitu. Kau akan meminjamkannya padaku atau tidak?"     Fred mendesah. "Uh, aku tak mengerti mengapa kau bereaksi berlebihan untuk kencanmu malam ini, padahal ini bukan kencan pertamamu," gerutunya heran. Lalu diletakkannya secangkir kopi yang tengah ia nikmati itu di atas meja samping ranjang, berdiri dan berjalan keluar dari kamarku.     Aku terkekeh pelan. Bisa kumengerti alasan keheranan Fred terhadap tingkahku malam ini. Pada kencanku yang sebelumnya dengan wanita lain, aku tak pernah memperhatikan penampilanku hingga sedetail ini. Inilah pertamakalinya aku mempersiapkan segalanya dengan cermat. Mungkin karena aku terlalu antusias pada acara makan malam ini.     Bagaimana tidak? Gadis yang selama sebulan ini aku taksir, yang selama itu pula aku baru mengenalnya, akhirnya mau menerima ajakanku untuk makan malam bersama.     Ini kemajuan yang menyenangkan.     Dan di dalam hati aku juga penasaran apa sebenarnya Fred merasa iri padaku karena aku akan berkencan. Sepupuku yang malang, dia baru saja putus dengan Fatma, pacarnya yang juga adalah sahabatku dua pekan lalu. Bukannya aku tak bersimpati pada kondisi Fred saat ini, tapi tak mungkin aku ikut-ikutan bermuram durja seperti dirinya, kan? Toh penyebab ia putus karena kesalahan Fred sendiri.     Tak lama kemudian Fred kembali ke kamarku, membawa sebotol kecil parfum yang ia serahkan padaku. "Ini yang aromanya menthol. Cukup menyegarkan. Kurasa kau takkan suka jika aroma parfumnya terlalu menusuk hidung, bukan begitu?"     Aku menerima parfum ini dengan penuh rasa terima kasih. Dan berterimakasih karena Fred tahu betul bagaimana seleraku mengenai hampir segala hal. Memiliki sepupu yang tumbuh dewasa bersama semenjak kecil terkadang sangat menguntungkan. Aku pun  menyemprotkan pewangi itu keseluruh tubuhku.     Di kamarnya sendiri, Fred memang memiliki berderet-deret parfum dengan aneka aroma. Bukan berarti dia mengoleksi atau jenis pria metroseksual yang senang merawat diri. Dalam hal fisik Fred terbilang maskulin, ia memiliki postur tubuh yang tinggi setara denganku, namun dengan bentuk badan yang lebih tegap dan berisi. Wajahnya bulat lebar dengan rambut hitam lebat yang ia biarkan tumbuh berantakan. Jambangnya memanjang hingga tampak menyatu dengan kumis dan janggutnya. Dan setiap kali Fred tersenyum lebar, akan terbentuk garis-garis halus di sekitar bibirnya yang sejenak akan membuat wajahnya mirip aktor Jake Gyllenhall.     Hanya saja ia mempunyai hobi super jelek yang membuat tubuhnya terkadang berbau tak sedap, dan parfum itu diharapkan dapat mengurangi akibat dari kebiasaan buruknya itu.     "Oh iya, Fred. Malam ini kau kan tidak ada rencana keluar rumah. Jadi, titip rumah, oke? Akan kuusahakan untuk tidak pulang terlalu larut." Di rumah ini, aku dan Fred hanya tinggal berdua. Seluruh keluarga kami telah lama menetap di Bandung. "Mungkin aku akan pulang pukul sebelas malam. Atau mungkin lebih malam lagi. Aku akan membawa satu kunci cadangan rumah ini. Jadi nantinya kau tak perlu terbangun untuk membukakan pintu, setuju?"     Namun tak ada jawaban apa pun yang kudengar dari Fred. Dan saat aku menoleh padanya, kudapati ia tengah nyengir lebar padaku.     "Apa?" tanyaku, sejenak berhenti menyemprot parfum.     "Bukan hanya kau yang punya acara malam ini," katanya perlahan, "aku juga ada."     Aku menyipitkan mata. "Maksudmu kau juga ada kencan dengan seseorang?"     Tersenyum dan menggeleng. Fred melakukan dua hal itu secara bersamaan. "Bukan kencan," katanya, lalu berdeham, "aku pernah mendengar ada kelab malam yang bagus di kota, jaraknya memang cukup jauh dari sini, tapi kurasa aku akan mencobanya, katanya di sana minumannya oke punya. Aku jadi penasaran."     Aku menatapnya dengan rasa tak percaya. "Maksudnya kau akan ke diskotik lagi?"     Fred menggerakkan kedua bahunya. "Ya, begitulah."     "Kegemaranmu meminum alkohol itu tak baik, kau tahu?"     "Aku tahu," jawab Fred tenang, tapi aku yakin Fred tak mengerti apa yang kumaksud.     "Fred, aku serius. Kau harus segera menghentikan kebiasaanmu itu. Itu sangat tidak sehat." Ini bukan pertama kalinya aku meminta Fred untuk berhenti meminum minuman keras. Aku agak heran mengapa ia masih belum jera, padahal karena kebiasaannya inilah yang membuat Fatma meminta putus dengannya.     Sejak masih berpacaran, tentu saja Fred menutup-nutupi perihal kegemarannya menenggak alkohol itu. Akan tetapi pada suatu malam, terjadilah insiden itu.     Fatma, pacarnya, menelepon Fred ketika ia dalam keadaan mabuk berat, dan mudah menebak bagaimana reaksi Fatma saat mendengar racauan Fred saat itu. Tak ada adegan dramatis pada prosesnya. Keesokan harinya Fatma menghubungi Fred kembali lewat ponsel, meminta penjelasan. Fred tak bisa berkelit lagi hingga mengakui semuanya. Dan ia juga tak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan Fatma yang ingin mengakhiri hubungan pacaran mereka.     Awalnya, kukira Fred menjadi jera karena insiden itu, tapi tak kusangka hobinya menenggak alkohol itu malah semakin menggila.     "Jangan terlalu mencampuri urusanku Dennis." Fred menyergah, menolak bujukkanku. "Aku bisa mengurus hidupku sendiri."     "Tapi kau sepupuku, urusanmu jadi urusanku juga."     Bibir Fred mengerut, tatapan matanya memperingatkan. "Ingatlah Dennis, aku dua tahun lebih tua darimu. Jadi tunjukkan sedikit rasa hormatmu padaku, dimulai dari jangan terlalu mencampuri hidupku."     Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Seperti biasa, Fred selalu mengungkit perbedaan usia di antara kami berdua jika menurutnya aku mulai terlalu mengatur hidupnya.     Akhirnya aku menyerah. "Baiklah, lakukan apa pun yang kau mau. Kuharap kau tahu batas malam ini."     Senyum puas Fred tercetak diwajahnya. Ia kembali duduk ditepi ranjang dan melanjutkan aktivitas meminum kopi.     "Tapi ingat, kali ini kau jangan terlalu banyak minum. Besok pagi kita harus pergi ke Bandung. Kau tak lupa kan?"     Fred mengangguk tak kentara.     Sudah sebulan lewat semenjak terakhir kali aku dan Fred ke Bandung. Pekerjaan yang menumpuk membuat kami selalu membatalkan rencana untuk pulang. Minggu ini ibuku bahkan sampai mendesakku untuk segera pulang. Dan  sepertinya Fred juga diam-diam menantikan pertemuan dengan sang mantan untuk pertama kali setelah putus, mengingat Fatma yang tinggal di Bandung sehingga Fred tak pernah bertatap muka lagi dengannya setelah hubungannya berakhir. Hubungan pacaran mereka berdua pun diakhiri lewat sambungan seluler. Menyedihkan.     "Kau tak keberatan jika aku yang membawa mobil?" Aku bertanya setelah beberapa saat. Hanya ada satu mobil yang sering dipakai aku dan Fred secara bergiliran.     Fred mengangguk. "Tak masalah. Aku akan naik taksi. Lagi pula kau kan tahu aku tak pernah membawa kendaraan pribadi jika aku akan pergi untuk minum."     Lalu ia tersenyum lebar padaku.     Oh, benar. Kuduga ada perjanjian tak tertulis antara Fred dan dirinya sendiri perihal tak membawa kendaraan jika untuk berpergian menuju hiburan malam. Karena dikhawatirkan nantinya Fred akan mengemudi dalam keadaan setengah sadar saat pulang. Rupanya Fred paham betul mengenai bahayanya berkendara di bawah pengaruh alkohol. Aku cukup lega karena itu.     Setelah selesai memakai parfum yang membuat aroma tubuhku menjadi super wangi, aku kembali menatap pantulanku di cermin. Merapikan setiap lipatan kain, lalu aku menghadap Fred lagi. "Nah, bagaimana menurutmu? Apa penampilanku sudah sempurna?"     Fred tersenyum miring, nampak berusaha untuk menanggapi pertanyaanku dengan serius. "Oke," katanya, dengan mengacungkan kedua jempol tangannya padaku. "Wah, jika aku seorang gadis, aku pasti akan segera memintamu jadi pacarku." Dan  tawa Fred pun  pecah. "Tapi aku bukan gadis, syukurlah."     Aku ikut tertawa. Kuambil dompet, ponsel, dan kunci mobil yang berada di atas meja lalu kumasukkan ke dalam saku celana.     Kutepuk pelan sebelah pundak Fred. "Doa kan kencanku sukses ya," kataku lalu berjalan keluar dari kamar.     "Pasti," timpal Fred setelah tawanya mereda.     "Dan kau, usahakan untuk tidak mabuk malam ini, ingat itu Fred." Suaraku bergema memenuhi lorong.     Dan ketika aku menuruni tangga. Suara tertawa Fred yang keras kembali terdengar, dan ia pun berseru lantang.     "Aku tak bisa menjanjikan hal itu." ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD