2. Kejujuran Kania

1702 Words
Jakarta. 20:16 WIB.     Aku menatap jalanan itu hampir tanpa berkedip. Menelaah setiap kendaraan yang lewat. Pikiranku kalut sementara jemariku mecengkram erat segelas cokelat panas yang terlebih dulu kupesan. Setiap kali ada kendaraan yang berhenti di tepi jalan, sarafku tegang mengamati siapa yang turun dari kendaraan itu, dan kembali terhenyak saat tahu bahwa orang itu adalah orang asing.      Gadis yang kunanti masih belum datang.     Tengah kupikirkan alasan mengapa ia masih belum sampai. Ini sudah lima belas menit lewat setelah jam pertemuan. Macet? Kuragukan itu, kulihat jalan raya tampak lancar dengan berbagai macam kendaraan hilir mudik tiada henti. Dan dia mengaku jarak antara rumahnya dengan restoran ini pun tak begitu jauh, fakta itu pulalah yang membuatnya menolak ketika kutawarkan padanya untuk menjemputnya langsung dari rumah.     Apa karena dia menghabiskan terlalu banyak waktu di depan cermin untuk mempercantik diri? Sehingga ia bisa seterlambat ini? Aku tersenyum senang memikirkan kemungkinan itu, jika ia sungguh-sungguh mempersiapkan pertemuan  ini–seperti diriku, itu artinya ia juga menganggap serius keakraban yang mulai terjalin antara aku dengannya.     Merasa sedikit jengah, aku menyapukan pandanganku kedalam restoran yang penuh sesak, deretan meja bundar beralaskan kain putih halus tampak penuh dengan orang-orang yang berbincang santai, makanan lezat nan hangat terhidang di hadapan mereka, sementara suara dentingan sendok dan garpu menyentuh piring serta riuh rendah suara orang-orang mengobrol menjadi latar belakang. Berjarak beberepa meja di sampingku, seorang wanita bergaun merah tampak tengah menyantap makanannya seorang diri. Dan di seberang ruangan, aku bisa melihat sekelompok pria dewasa berpakaian kantor tampak serius berbincang dengan meja dipenuhi makanan yang belum tersentuh.     Aku terbiasa dengan suasana restoran ini, seringkali aku dan Fred meeting dengan klien baru di sini. Tempat makan ini cukup nyaman digunakan untuk keperluan acara formal maupun santai. Tak terlalu banyak dekorasi, dan penataan cahayanya pun tak terlalu terang, yang malah membuat restoran ini tampak elegan. Dindingnya bercat putih dan beberapa lukisan abstrak menggantung di sana. Salah satu dindingnya terbuat dari kaca tebal transparan yang menghadap langsung ke arah jalan raya, jadi aku bisa melihat keramaian di luar sana meskipun aku berada di dalam.     Keputusan yang tepat jika seorang pengusaha memutuskan untuk membuat perjanjian meeting dengan klien pentingnya di sini. Banyak orang awam yang tak terlalu mengerti tentang dunia bisnis menganggap bahwa perputaran uang selalu berlangsung di kantor megah atau gedung-gedung pencakar langit. Tapi itu keliru, justru di tempat makan yang santai semacam inilah biasanya perputaran uang dimainkan, strategi berbisnis diperdebatkan, tender besar yang melibatkan uang miliaran rupiah didapatkan, dan suatu keputusan besar sebuah perusahaan ditentukan.     Dan malam ini, aku mengunjungi restoran ini bukan untuk pekerjaan, lebih dari itu, untuk bertatap muka dengan gadis yang selama sebulan terakhir ini aku dekati.     Sekitar empat minggu yang lalu, dalam salah satu perjalananku kembali ke Jakarta–setelah aku menghabiskan waktu akhir pekan dengan keluargaku di Bandung, aku berkenalan dengan seorang wanita di dalam travel.     Kania namanya, perkenalanku dengannya terjadi secara tak sengaja, hanya perbincangan sesaat sambil lalu. Namun, selama sesaat itu, aku bisa merasakan ada sesuatu dalam diri Kania–entah itu kemudaannya atau kecantikannya, aku tak tahu–yang membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih dekat. Dan tanpa pikir panjang, aku segera meminta nomor teleponnya setelah travel yang kutumpangi sampai di tempat tujuan.     Pendekatan yang kulakukan padanya dimulai tepat pada hari itu juga.     Sesungguhnya, setelah pertemuan pertama itu, aku dan Kania tak pernah lagi bertatap muka, selalu ada keraguan yang membuatku tak pernah berani untuk mengajaknya bertemu, tapi aku sering meneleponnya, sekedar bertanya kabar dengan intensitas yang mungkin kelewat berlebihan, hampir setiap hari.     Hari demi hari pun berlalu dan sepertinya penjajakan yang kulakukan itu berhasil, tak seberhasil yang kuharapkan, tapi nyatanya tak terlalu sulit bagiku dan juga Kania untuk merasa nyaman dalam hubungan tahap ini. Mudah bagi kami berdua untuk menemukan topik pembicaraan yang seru. Namun masalahnya, jika kami terlibat perbincangan, apa yang kami perdebatkan lebih banyak mengenai musik favorit, film terbaru atau buku yang baru terbit.     Sesuatu yang bersifat umum. Jarang sekali membicarakan hal-hal pribadi atau sesuatu yang mengarah ke hubungan lebih lanjut. Kania seolah bersikap hati-hati jika perbincangan yang kami lakukan mulai mengarah ke hal yang bersifat pribadi.     Jadi tak banyak yang kuketahui tentang Kania meskipun aku telah mengenalnya hampir satu bulan, yang kutahu hanyalah, namanya Kania, dan penyuka musik country, film kegemarannya bergenre drama yang cenderung melankolis, serta senang membaca buku romance dengan cerita dan alur yang agak menyimpang.     Secara keseluruhan, kegemarannya agak aneh. Aku tahu itu.     Sebulan setelah hari pertemuan pertama itu, aku mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya bertemu, yakni pada pagi hari tadi. Kukatakan padanya dengan serius bahwa aku ingin mengenalnya lebih dekat, tidak sekedar menjadi teman mengobrol untuk mengisi waktu luang. Aku ingat ada jeda sejenak setelah aku meminta bertemu dengannya, tapi akhirnya Kania menerima permintaanku. Tempat dan waktu pertemuan kami sepakati setelahnya.     Dan di sinilah aku sekarang, terduduk menunggu ia datang dengan rasa cemas yang bertambah setiap detiknya.     Mungkin ia tak akan datang, pikirku masam. Mungkin ia tak serius menanggapi pertemuan ini dan menganggapku hanya seorang pria asing yang selalu meneleponnya tanpa tujuan yang jelas.     Tapi ternyata dugaanku salah. Kania datang.     Mobil sedan hitam itu memasuki lahan parkir restoran ini dengan perlahan dan berhenti di sana, lalu seorang wanita turun dari kursi kemudi. Jantungku berdebar dan rasa lega merebak dalam diriku. Wajahnya masih sama seperti yang kuingat. Kulitnya yang putih dibalut gaun hitam selutut sehingga membuat kakinya yang jenjang terlihat jelas, dan rambut hitam bergelombang tergerai hingga punggung. Wajahnya berbentuk oval dengan mata lentik serta bibir tipis.     Dan entah kenapa, tiba-tiba saja kata 'cantik' menjadi terasa terlalu dangkal untuk menggambarkan sosok wanita yang menjadi teman kencanku malam ini.     Sesaat setelah turun dari mobil, gadis itu menyapukan pandangan kesekelilingnya seolah mencari-cari sesuatu, dan ketika itulah pandangan kami bertemu. Kutatap langsung mata Kania dan kami tersenyum berbarengan. Mataku mengawasi gerak dan setiap langkah yang diambilnya ketika ia berjalan memasuki restoran dan menghampiri mejaku.     Kupaksakan diri untuk bersikap tenang sementara rasa gugup mulai menyergap masuk ke dalam diriku.     "Hei," sapanya, setelah ia berdiri di depanku. "Selamat malam. Maaf aku terlambat."     Aku tersenyum lebar. "Hei juga, tak masalah. Silakan duduk." Aku berdiri dari kursiku, segera menarik satu kursi lain di bawah meja dan mempersilakan Kania duduk. Menarik kursi untuk seorang wanita yang kau kencani sebenarnya aksi lama, terkesan kuno. Tapi dari pengalamanku yang pernah berkencan dengan beberapa wanita, gerakan ini selalu berhasil membuat wanita merasa tersanjung.     "Terima kasih," ucapnya, seraya aku kembali duduk di kursiku. "Kau sudah menunggu lama?" tanyanya kemudian.     "Tak lama," jawabku. "Hanya beberapa menit." Aku berbohong tentu saja, aku menunggunya hampir satu jam.     Kania menyipitkan matanya. "Jangan berbohong kepadaku Christian."     Aku nyengir. Kania lebih suka memangilku dengan nama depan, alasannya karena ... yah, Christian adalah nama salah satu tokoh fiksi favoritnya.     "Baiklah, aku akan jujur padamu. Kau telat sekali. Aku sudah menunggumu selama ...," aku melirik aloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku, "lima puluh lima menit."     "Maaf sudah membuatmu menunggu selama itu," kata Kania lagi, kali ini ucapan permintaan maafnya terdengar tulus. "Tadi ada sedikit masalah di rumah."     Aku mengedikkan bahuku, berusaha bersikap tak perduli. "Bukan salahmu sepenuhnya, aku saja yang datang terlalu cepat." Lalu aku tersadar akan alasan apa yang membuat aku dan Kania bertemu malam ini. "Kau mau memesan makanan sekarang?" tawarku.     Kulihat Kania menggeleng. "Jangan dulu. Sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."     Aku menyipitkan mataku. "Apa yang ingin kau katakan padaku? Kau bisa mengatakannya selagi kita menunggu makanan datang, ya kan?"     "Ini sesuatu yang penting. Aku ingin membuat ... sedikit pengakuan."     Kuamati wajah Kania. Aneh betapa Kania bersikap serius sekali. Dan baru kusadari bahwa senyum yang berkembang di wajahnya itu terkesan hati-hati. Terlalu penuh antisipasi.     Aku jadi memiliki firasat hal yang buruk akan terjadi.     "Baiklah," ucapku perlahan, menatap mata Kania lekat-lekat,"pengakuan apa?"     "Maaf jika selama ini aku terlalu menutup diriku sendiri padamu."     Kedua kakiku mulai bergerak tak nyaman di bawah meja. "Bisakah segera kau ucapakan apa yang kau maksud?"     Pertanyaanku entah mengapa membuat Kania terlihat salah tingkah. Terlihat tak nyaman dengan posisi tempat duduknya, berkali-kali ia terlihat mengatur napas.     "Hei, Kania, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat cemas, atau gugup. Entahlah, ada masalah apa?" Dengan gerakan yang amat perlahan, aku mengangkat tanganku dan menyentuh tangan Kania, berusaha menggenggamnya. Tapi setelah Kania tahu apa yang akan kulakukan, ia menarik tangannya menjauh. Menolak uluran tanganku. Dan secercah rasa sakit akibat penolakan Kania terasa oleh hatiku.     "Christian," kata Kania, kepalanya menunduk sehingga aku tak tahu bagaimana raut wajahnya. "Kurasa ...," Kania menarik napas pelahan dan seketika ia mengangkat kepalanya, menatapku. Aku begitu terkejut ketika kulihat ekspresi sendu di pelupuk matanya, "... kurasa aku tak bisa melanjutkan hubungan ini."     Terjadi secara tiba-tiba. Perasaan dingin dan kebas mulai menjalari punggungku.     Butuh waktu lima detik bagiku untuk mencerna kata-kata Kania, dan setelah aku mengerti apa maksudnya, aku merasa bingung. "Mengapa? Apa alasannya? Apa aku telah melakukan kesalahan?" Aku bertanya dengan nada panik yang terdengar jelas dalam suaraku.     "Aku tak bisa," ucap gadis itu terdengar ragu. "Kau takkan mengerti. Kau tak mengenal bagaimana diriku yang sesungguhnya. Pendekatan ini tak mungkin berhasil." Sikap Kania drastis berubah. Gestur tubuhnya defensif, terlihat menghindar dariku. Aku masih tak mengerti penyebab di balik sikapnya itu.     "Dan tolong kau jelaskan padaku mengapa menurutmu ini takkan berhasil?" desakku. "Aku memang tak tahu dirimu bagaimana, tapi bukankah itu tujuan kita untuk bertemu malam ini? Untuk mengenal satu sama lain?"     Aku mencoba, sekali lagi, untuk menggenggam tangannya. Dan Kania kali ini tak menolak. Tangan Kania terasa halus dan hangat dalam genggamanku. Jari-jarinya mungil ketika kulihat satu persatu.     Dan aku benar-benar melihatnya sekarang. Terlihat sebuah cincin tembaga sederhana yang melingkar erat di jari manis Kania, desain cincinnya kaku, terlalu formal. Ini seperti ... cincin pernikahan.     Lalu, kebenaran akan fakta itu menghantam diriku seketika secara tiba-tiba.     Alasan mengapa Kania selalu menghindari perbincangan yang bersifat personal, kini jelas sudah.     Ketika kutatap langsung wajah Kania, ia akhirnya mengaku.     "Aku pernah menikah. Dan aku sudah punya anak."       Seolah ucapan yang Kania lontarkan sebelumnya belum cukup, ia mengakhirinya dengan tiga kata singkat. Tiga kata itu ia ucapkan dalam satu tarikan nafas.     "Aku seorang janda."  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD