LUKA

2567 Words
Yudhistira Saleem Sudah  sebulan  kejadian menyakitkan yang menimpa Bella itu terjadi. Ayah dan Bunda yang sedang berlibur ke Australia belum juga pulang. Dan inilah pemandangan yang menjadi hal menyakitkan dimataku, setiap hari.  Kulihat Bella duduk di kursi kamarnya, termangu menatap ke arah luar jendela, selama berjam-jam sampai dia lelap. Ini jauh lebih baik, karena dia tak pernah berteriak dengan tiba-tiba, untuk kemudian menangis menjerit dan tergugu. Ya, Tuhan...aku berjanji tak akan membiarkan siapapun yang membuatnya seperti ini akan bisa hidup dengan tenang. Setidaknya dia akan merasakan sakit seperti yang kurasakan. Aku baru sampai di rumah. Pekerjaan di kantor hari ini sangat menyita waktu. Kulonggarkan dasi yang terasa demikian mencekik. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Dave yang biasanya tinggal di apartemennya, sejak kejadian itu kusuruh kembali ke rumah. Selain jam kuliah, aku memintanya untuk menjaga Bella. Ya, kami berdua sangat mencintai perempuan jelita mutiara keluarga ini. Kulihat kamar Bella gelap, tak ada penerangan yang menyelinap keluar dari fentilasi di atas pintu. Heran, tak biasanya kamar Bella gelap. Kubuka pintu, dan kutekan tombol saklar di dekat pintu. Kuedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Bella. Tapi pemandangan yang ada di depan mataku sungguh membuat nyawaku nyaris lenyap dari ragaku. Bagaimana tidak ? Gadis kami ini tergeletak dengan bersimbah darah yang mengucur deras dari pergelangan tangannya. Sementara wajahnya demikian pucat. Aku berlari meraih tubuhnya. “Bella? Belle ... kenapa kau lakukan ini, Sayang?” aku panik meraihnya dari lantai. “Daveeee .... Dewiiii....” aku meraung memanggil Dave dan Dewi, pengasuh yang kubayar khusus untuk menjaga Bella. Mereka berhamburan dengan panik. “Ya, Tuhan! Kenapa Bella, Kak?” “Siapkan mobil!” Mereka tergopoh berlari keluar. “Bawa perlengkapan seperlunya, Dew!” Tanpa memperdulikan Dewi yang tergopoh mencari keperluan Bella, aku segera mengangkat Bella untuk kubawa ke bawah. Di sana Dave telah menunggu dengan mobilnya. Segera saja kami melesat ke rumah sakit dimana Ferdy praktek. Wajah pucat Bella dan nafasnya yang lemah membuatku nyaris mati sebelum ajalku menjemput. Tuhan, mereka berhasil membuatku mati dalam keadaan hidup. Dan aku tak akan membiarkan hal ini terjadi.   * * * *    “Dia sangat shock dengan hidupnya, Yudhis. Kadang dia tersadar meski kadang dia merasa sangat hampa,” dokter Ferdy memberi penjelasan saat Bella berhasil tertolong dan kini tertidur di ruangan VIP nya. Dewi yang ditugaskan menunggui, mulai kini tak boleh lengah. Yudhis dan Dave berpandangan, dengan tatapan penuh rasa bersalah karena sedikit lalai menjaga Bella. “Seberapa parah kondisinya ke depan, Fer?” “Tergantung bagaimana lingkungannya. Sebisa mungkin usahakan dia berada pada situasi yang nyaman, jangan biarkan dia punya kesempatan untuk diam dan melamun, karena itu akan membuatnya ingat kejadian itu.” Yudhis mengangguk.   * * * *   Pagi ini ... Ruang rawat Bella terlihat sepi. Dewi yang menungguinya terlihat di sudut sofa sambil membaca majalah yang teronggok di bawah meja. Dia lantas meletakkan majalahnya begitu Yudhis dan Dave memasuki ruangan. “Kalau kamu lapar, kamu bisa makan dulu di kantin, Dew,” Yudhis memerintahkan Dewi untuk makan. “Baik, Pak,” perempuan itu lantas meninggalkan ruangan . “Apa tidak sebaiknya kita kasih tahu Bunda, Kak? Kita bisa gila kalau harus memikulnya berdua,” kata Dave frustasi. Yudhis menatap tajam ke arah adiknya. “Dave? Kata-katamu seperti kau tak mau terbeban dengan keadaan Bella?” “Bukan begitu, Kak ... kita perlu musyawarah untuk hal ini. Dan selama ini kita selalu menemui jalan buntu?” “Kalau kamu tak mau terlibat dalam pengurusan Bella, biar semua kakak yang urus!” Yudhis menjawab sewot. Bagaimanapun sebenarnya dia lelah dengan semua ini. Tapi Bella menjadi seperti ini juga karena sesuatu yang bertujuan menjatuhkan Yudhis. Jadi mau tak mau, semua yang menimpa Bella adalah karena Yudhis. Dave yang memang masih sedikit egois segera meninggalkan ruang rawat inap Bella dengan perasaan dongkol. Yudhis geram dengan sikap Dave. Lalu pandangan Yudhis segera beralih ke tempat tidur ketika sebuah suara memanggilnya lirih. “Kak?” Yudhis tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika Bella memanggilnya, kembali mengenalinya. Ini seperti oase di padang pasir, karena sebulan yang penuh depresi ini Bella sama sekali tak mengenalinya. Perempuan cantik itu seolah tenggelam dalam dunianya yang mendadak hitam. “Belle? Kamu sadar, Belle?” Yudhis mendekat dan diciumnya kening Bella dengan sayang. “Kenapa Bella ada di sini Kak?” Yudhis hanya menggeleng. “Sssttt.... Kamu nggak perlu mikirin kenapa kamu ada di sini. Yang penting kamu selamat, dan bisa cepet sembuh.” Bella diam, seolah mencari jawaban kenapa dia ada di rumah sakit. Tapi sebuah rasa nyeri di pergelangan tangannya memberinya sedikit jawaban. Maka tanpa bisa dicegahnya, air matanya luruh  dengan deras. Dia tergugu mengingat kejadian yang menimpanya. “Bella kotor, Kaakkk...Bella kotor...“ tangis Bella tak terbendung di pelukan Yudhis. “Sssttt.... kamu tetap Bellanya Kakak, Bella nya Ayah sama Bunda, juga adik yang manis milik Dave,” Yudhis menenangkan. “Dia jahat sama Bella...dia jahat...” rupanya Bella mulai mengingat bagaimana laki-laki tak dikenalnya itu memperlakukannya dengan gila. “Jangan khawatir. Kakak selalu ada buat kamu.” Yudhis menenangkan dengan nada perih. “Kenapa Kakak nggak biarin Bella mati saja? Bella malu, Kak ... Bella maluu ...“ tangis Bella tergugu. Hati Yudhis begitu nyeri. Yudhis mendekapnya erat, dia semakin merasa bersalah. “Kakak nggak mau kamu pergi, kamu tetap adik Kakak yang manis, adik Kakak yang cantik. Semua akan baik-baik saja, percayalah sama Kakak.” Tangisnya yang menggugu mulai reda. “Kemarin Eva telepon. Dia mau datang ke rumah, tapi Kakak nggak bisa bilang oke kalau nggak bilang dulu ke kamu.” Bella menatap Yudhis penuh dengan kesedihan. “Apakah mereka tahu?” Yudhis menggeleng. “Bella tak mau sekolah di sana lagi.” Yudhis hanya mengangguk, dia akan membuat Bella merasa nyaman senyaman-nyamannya. “Kakak bersedia memindahkan sekolah Bella?” Yudhis mengangguk. “Ya ... apapun yang Bella mau.” Bella merasakan sedikit ketenangan. “Kenapa mereka jahat sama Bella, Kak?” “Kamu mengenalinya?” Bella menggeleng. “Bisa kamu ceritakan bagaimana?” Yudhis bertanya pelan. Bagaimanapun, dia perlu bertanya hal ini, agar dia tahu siapa laki-laki yang telah membuat Bella depresi seperti ini. Bella diam tak menjawab. Wajahnya kembali diselimuti mendung, bahkan air matanya kembali luruh. Maka Yudhis kembali memeluknya erat, memberinya kekuatan untuk tetap tegar. “Sssttt...kamu nggak perlu cerita kalau memang tak ingin.” Bella kembali menangis sesenggukan. Dalam isaknya, mengalirlah cerita kelam menyakitkan itu ...   Flash back ... Mendengar gemericik air di kamar mandi itu, Bella segera memunguti baju yang tadi dilempar oleh laki-laki b******k yang tadi telah memperkosanya dalam keadaan tidak sadarkan diri itu. Meski badannya terasa tidak nyaman, tapi Bella telah bertekad untuk segera pergi dari neraka sialan itu. Bersijingkat, dia mencapai pintu kemudian memutar handle – nya. Sampai di luar kamar, Bella bingung harus berjalan ke arah mana. Keringat dingin mulai mengucur di sekujur badannya, karena perasaan takut yang mulai menjalari hatinya. Maka dengan langkah tertatih, dia menyusuri lorong  rumah megah itu. Ketika sampai di sebuah ruangan yang luas dan mewah, dia menyimpulkan bahwa itu ruang tengah. Tapi Bella tak peduli, karena dia segera mencari ke arah ruangan lain. Dan ruangan cantik yang ditemuinya itu  sepertinya adalah ruang tamu. Segera dia mancari pintu yang sekiranya mengarah ke arah luar. Dan benar saja, maka setelah dia mencapai pintu itu, dia berniat untuk segera membuka handle-nya. Tapi sebuah tangan kekar yang tiba-tiba saja menarik lengannya, membuatnya terkesiap kaget. “Mau kemana, Cantik?” Bella terkejut dan segera berbalik. Matanya terbelalak begitu tahu siapa yang menyapanya. Bella memberontak hendak melepaskan diri pegangan Ben, yang entah bagaimana telah berada di belakangnya. Ketakutan tergambar jelas di wajah Bella. Cengkeraman tangan Ben pada lengan atasnya membuat Bella meringis dan berontak hendak melepaskan diri. “Lepaskan!! Kamu b******n!! Kamu b******k!! Lepaskan aku!” Bella berontak marah dengan sumpah serapah yang keluar pedas dari mulut manisnya. Plak! Plak! “Seumur hidupku, hanya kamu yang berani mengatai aku dengan sebutan b******n !”, kata  Ben sehabis menampar Bella membuat gadis itu merinding ketakutan untuk kemudian terhuyung . Panasnya tamparan Ben yang di luar dugaannya membuatnya limbung dan pusing di saat bersamaan. Matanya mengabur ketika gelap itu menghampiri, membuatnya terkulai. Dan Ben sama sekali tak berniat untuk menolongnya. Dibiarkannya gadis itu terpuruk di bawah kakinya. “Soni !!”, Ben memanggil seseorang. Seorang laki-laki berbadan tegap datang tergopoh menghampirinya. “Ya, Tuan !!” “Antarkan perempuan ini ke rumahnya !” “Alamatnya, Tuan ?”, Soni yang ternyata anak buah Ben itu menanyakan alamat Bella. Karena biasanya Soni mengantar perempuan-perempuan yang habis dipakai oleh Tuannya itu hanya sampai apartemen si perempuan. Ben menyodorkan sebuah alamat yang diterima Soni dengan pandangan bertanya. “Ke rumah Yudhistira Saleem, Tuan ?” “Ya ! Ada apa dengan Yudhistiira Saleem ?” Soni menggeleng. Tanpa banyak kata dia mengangkat Bella untuk dibawa keluar dari rumah Tuannya itu. Sebersit rasa kasihan melintas di otak Soni, tapi dia tahu , dia digaji bukan untuk mengasihani siapapun perempuan yang terpuruk oleh tuannya. Meski Soni tahu, bahwa gadis dalam gendongannya itu bukan terpuruk oleh pesona tuannya, tapi terpuruk karena perlakuan tuannya. Tugasnya hanya untuk membantu dan mempermudah segala sesuatu yang berhubungan dengan Ben, tak ada yang lain. Soni mengantar Bella ke alamat yang diberikan Ben. Mendorong keluar gadis itu dari mobilnya dengan kasar, untuk kemudian melesatkan mobilnya untuk meninggalkan rumah Yudhistira, sesegera mungkin. Masih terdengar meski dengan suara samar, satpam yang berteriak memanggil nama gadis itu, yang dilihat Soni dari kaca spion bahwa dia terkulai pingsan, lagi... Flash back off ...   * * * *   Kantin SMU CANDRA KARTIKA  terlihat sedikit lengang karena ini bukan jam istirahat. Hanya beberapa siswa yang sedang dalam jam olahraga yang terlihat berlalu lalang. Tapi seorang gadis dengan penampilan yang tak biasa kini sedang duduk di kantin dengan temannya. “Memangnya benar ya kalau Bella cabut dari sekolah ini, Mel ?” “Ya, gue rasa begitu dan memang seharusnya begitu. Nggak mungkin kan dalam satu kerajaan ada dua queen ?”, sahut Melly. Nila, teman Melly tertawa terkikik. “Bagaimana lo bisa seyakin ini ?” “Karena gue tahu penyebab dia cabut dari sekolah ini!”, jawab Melly dengan suara sedikit direndahkan. “Memangnya ada apa ?”, Nila terdengar kepo.      “Karena dia terlibat masalah seksual !” “What ????”, Nila berteriak karena terkejut. “Sssstttt....ini hanya rahasia antara elo sama gue !”, Melly menenangkan sahabatnya dengan panik. “Bagaimana lo bisa tahu dan yakin akan hal ini ?” “Yaa..... karena gue yakin saja”, Melly sedikit gugup dengan pertanyaan Nila. Dalam hati Melly tertawa, karena dia tahu peristiwa itu dari pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Ben, kakaknya. “Dan lo tahu apa yang gue dapat dari situasinya yang menyedihkan itu ?”, Melly tersenyum licik . “Memangnya apa yang lo dapatkan dengan hal ini ?” “Ya ... setidaknya gue punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Ronald”, jawab Melly dengan senyum kemenangan tersungging di wajahnya yang meskipun cantik, tapi tergusur oleh keculasannya. Nila hampir tersedak dengan kata-kata Melly. “Lo kenapa, Nil ? Kok kaget begitu ?” Nila buru-buru meminum jus yang ada dihadapannya. “Gila lo, Mel ? Nggak ada nyerahnya nguber si Ronald ?” Melly tertawa. “Siapa juga yang nggak obsesi dengan laki-laki semacho dia ? Pokoknya gue harus mendapatkan laki-laki itu, meski hanya semalam”, Melly berkata dengan suara pelan. Nila tertawa terkikik dengan jawaban gila Melly. Sementara dalam benak Melly terbayang  bagaimana sosok Ronald telah memenuhi otaknya selama beberapa bulan ini.  Betapa tidak ? Laki-laki indo Italy itu sedemikian menggoda dengan posturnya yang tak biasa, Apalagi kulitnya yang bersih melebihi rata-rata. Matanya yang cekung namun tajam selalu membuat Melly ingin melemparkan diri ke dalam pelukannya sepanjang malam. Rambutnya yang sedikit panjang melenyapkan kesan maskulin, karena dia terlihat sangat macho. Mereka memang tak berada dalam lingkungan pendidikan yang sama, karena Ronald sudah menjadi mahasiswa yang kebetulan kampusnya berdekatan dengan SMU mereka. Tapi tentu saja satu sekolahan hampir tahu, bagaimana laki-laki itu begitu tergila-gila dengan Bella yang memang cantik. Setiap berangkat dan pulang sekolah, Ronald selalu nongkrong di depan SMU CANDRA KARTIKA hanya untuk melihat Bella berangkat dan pulang sekolah yang selalu diantar oleh bodyguard kakaknya. Dan Melly semakin marah ketika tahu bahwa Ronald melakukan itu hanya untuk Bella, saingannya di sekolah. Namun dia akhirnya sangat bersyukur ketika tanpa diminta, Ben, kakak laki-lakinya telah memuluskan jalannya untuk mendapatkan Ronald. Yakni dengan menghancurkan Bella, karena Melly yakin, Ronald akan merasa jijik jika tahu kenyataan bahwa Bella telah ternoda. Dalam lamunannya, Melly tertawa bahagia. Mereka tak menyadari bahwa seseorang yang duduk membelakangi mereka, mencuri dengar percakapan mereka. Eva, gadis yang mendengar semuanya itu terlihat seksama menyimak percakapan mereka.   * * * * *   “Apa kamu yakin dengan apa yang kamu dengar, Eva ?”, Ronald bertanya dengan apa yang barusan Eva katakan tentang Bella. “Kamu meragukan telingaku ?”, Eva bertanya sengit dengan pertanyaan Ronald, sepupunya. Ronald tersenyum miris. “Aku harus mencari kebenarannya. Dan aku yakin, kamu akan membantuku. Right ?” Eva mendelikkan matanya. “Kalau kamu bertanya dengan nada paksaan seperti itu, aku pastikan kamu akan kecewa, Tuan”, Eva mengejek. “Eva, Pleaseeee.....”, Ronald menampilkan ekspresinya yang paling mengenaskan yang pernah dia tunjukkan. “Kamu tahu kan bagaimana susahnya menemui Bella semenjak dia tak masuk sekolah, yang bahkan gosipnya dia keluar dari sekolah ?” “Tapi kamu teman dekat satu-satunya yang dia punya di sekolah” “Dan itu bukan jaminan buat kakaknya yang sialan tampan itu untuk mengijinkan aku menemui Bella, Ronald !”, Eva ngotot. Ronald tertawa. “Hei ... sejak kapan seorang Eva menyerah pada sikap dingin laki-laki ? Biasanya mereka selalu bertekuk lutut di kakimu ?”, Ronald membakar semangat Eva yang naksir berat dengan Yudhis. “Masalahnya, Ronald .... yang ini laki-laki yang nggak lazim”, Eva menjawab sewot. “Nggak lazim ?” “Tentu saja ! Kamu tahu, selain wajahnya yang tampannya nggak lazim, dia juga berada pada karier dan kekayaan yang nggak biasa !”, Eva menjawab sewot. “So what ? Itu menantang bukan ?” Eva melotot pada Ronald yang dijawabnya dengan tertawa. “Come on, Eva .... Aku yakin kamu akan membantuku “, Ronald menatap Eva dengan pandangan memohon. “Whatever”, Eva menatap Ronald dengan pandangan yang menyatakan  bahwa Ronald demikian menyebalkan. Ronald tersenyum. “Tapi tunggu !”, tiba-tiba Eva memasang wajah serius. “Apalagi ?” “Bagaimana jika apa yang dikatakan oleh Melly itu benar ?” “Maksudmu ?” “Bagaimana jika benar, Bella tersandung masalah seksual ?” “Seks bebas ? Come on, Ev .... aku bahkan paham bahwa dia sama sekali tak pernah berinteraksi dengan laki-laki selain kakak-kakaknya itu”, Ronald menjawab dengan kesal. Bagaimana mungkin Eva meragukan kemurnian hidup Bella ? “Dasar bodoh !!! Bagaimana jika dia .... dia...” “Dia apa ?” “Bagaimana jika dia diperkosa ?” Kata-kata Eva seperti menyambar gedang telinganya. Tapi dia lantas tersenyum optimis. “Bagaimana mungkin itu terjadi, sementara bodyguard tak pernah jauh dari sisinya ?” Eva terbungkam. Bagaimanapun Ronald benar, karena meskipun mereka jalan di mall, selalu saja seorang bodyguard wajib menjaga Bella. “Tapi tak mungkin seorang Bella keluar dari sekolah idamannya dengan  prestasinya yang segudang jika tanpa alasan kan ?” Kali ini pertanyaan Eva menyisakan ruang untuk meminta jawaban. Ronald kehilangan opsi jawaban.   _ oOo_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD