Enam

1723 Words
Pencarian terhadap pelaku pencurian kotak perhiasan Ratu Divya terus dilanjutkan. Istri dan anak sang pelayan yang masih berstatus tersangka pun tak luput dari penyelidikan. Pada akhirnya, ditemukan sebuah titik terang. Kotak perhiasan tersebut ternyata dibawa masuk ke kamar oleh anak sang pelayan yang berumur 7 tahun. Menurut pengakuan anak itu, seorang wanita paruh bayalah yang memberikan kotak itu kepadanya. Kepala pasukan semakin kewalahan. Ia meminta seorang pelukis wajah yang sudah terkenal untuk melukis sketsa wajah wanita paruh baya tersebut sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh sang anak. Dengan ingatannya yang tak begitu kuat, sang anak mencoba untuk menyebutkan ciri-ciri wanita yang pernah menemuinya di halaman istana. Pelukis pun selesai membuat sketsa wajah sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh anak tersebut. Sang pelukis mengamati hasil karyanya dan menambahkan detail yang masih kurang. Setelah dirasa cukup jelas, ia menyerahkan sketsa yang sudah dibuatnya kepada kepala pasukan. Kepala pasukan kembali mengerahkan anak buahnya untuk menyisir wilayah baik di dalam maupun luar istana untuk mencari wanita sesuai dalam sketsa yang sudah dibuat. Setelah mencari selama tiga hari, akhirnya wanita tersebut ditemukan di sebuah pasar. Ia adalah seorang penjual kain sutra yang berasal dari negeri seberang. Setelah penolakan demi penolakan, akhirnya wanita itu terpaksa ikut ke istana bersama para pasukan yang telah menemukannya. Di perjalanan, wanita itu tak banyak bicara. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa pasukan yang menggiringnya. Di bawah terik matahari, iring-iringan pasukan meninggalkan pasar dengan tatapan penuh tanya dari para pengunjung pasar yang cukup ramai. Kepala pasukan membawa wanita tadi ke dalam ruang sidang. Sidang kali ini juga dihadiri oleh para wanita, baik itu ratu, selir, dan putri raja. “Paduka, kami telah menemukan wanita ini. Wajahnya sangat cocok dengan yang ada di dalam sketsa,” lapor kepala pasukan. “Baiklah.” Raja tetap duduk di singgasananya. Ia menatap wanita yang berlutut di hadapannya. Matanya tajam bak mata elang, membuat wanita itu ketakutan dan gemetar. “Mengapa kamu mengambil kotak perhiasan itu?” tanya Raja Ragendra. “Sa-sa-ya disuruh oleh seseorang, Paduka,” jawab wanita itu masih sambil tertunduk. “Bagaimana kau bisa menyusup ke kamar Ratu Divya? Apakah ada orang yang menyelundupkanmu?” selidik Raja Ragendra. “Sa-sa-saya ti-tidak masuk kamar sang ratu,” jawab wanita itu lagi. Ia tergagap karena ketakutan. “Lalu bagaimana kau mendapatkan kotak itu?” tanya Raja Ragendra lagi. “Ada seseorang yang memberikannya kepadaku, Paduka.” “Siapa dia?” tanya sang raja penasaran. “Dia … dia ada di sini, Paduka,” sahut wanita tersebut. “Siapa orangnya?” tanya Raja Ragendra. “Dia.” Wanita tersebut menunjuk ke arah Teratai yang sedang memperhatikan jalannya sidang. “Dia yang menyuruhku, Paduka. Kemarin dia memberikanku kotak itu dan menyuruhku menyembunyikannya. Tetapi karena takut, aku tidak melakukannya. Aku memberikannya kepada seorang anak kecil yang juga penghuni istana ini.” Wanita tersebut menjawab pertanyaan dengan panjang lebar. Raja Ragendra mengepalkan tangannya, begitu juga Ratu Divya yang duduk bersama para selir. Wajah sang raja memerah menahan amarah. Ia merasa malu karena ternyata Teratailah pelaku pencurian kotak perhiasan di istana yang menjadi tempat tinggal mereka. Teratai yang baru saja mendapat tuduhan mengangkat kepalanya. Ia bangkit dari duduknya dan mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Dengan langkah lebar Teratai menghampiri wanita paruh baya yang masih berlutut. Ia menarik lengan wanita itu dan menyuruhnya berdiri. “Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan?” tanya Teratai sambil menatap wanita itu tajam. “Iya, kaulah yang memberikanku kotak itu.” Wanita penjual kain sutra menyahut dengan tegas dan meyakinkan. “Coba tatap wajahku. Apakah benar aku adalah orang yang kau maksud?” tanya Teratai. Teratai mencengkeram dagu wanita tersebut agar ia bisa menatap langsung ke wajahnya. “I-iya. Kaulah yang memberikan kotak itu kepadaku. Kau mendatangiku di pasar dan berpura-pura ingin membeli kain yang kujual,” jawab wanita itu lagi. “Omong kosong.” Teratai melepaskan cengkeraman tangannya di dagu wanita itu dan mendorongnya keras. Wanita itu jatuh terduduk di lantai. “Teratai, jangan mengganggu sidang ini.” Suara Raja Ragendra memenuhi ruangan. Tidak ada yang berani bersuara karena mereka tahu bahwa raja sedang marah. “Tapi aku tidak melakukannya. Aku tidak pernah bertemu wanita ini. Aku juga tidak pernah masuk ke kamar Ratu Divya, apalagi mengambil kotak perhiasannya.” Teratai mencoba membela diri. “Jangan mengelak kamu.” Ratu Divya bangkit dari duduknya. Ia mengibaskan ujung jubahnya dan menghampiri Teratai. “Dari awal aku sudah yakin kalau kamulah yang melakukan ini.” “Jangan asal menuduh. Bisa saja wanita ini adalah orang suruhanmu,” balas Teratai tak mau kalah. “Diam kalian!” titah Raja Ragendra. Ia turun dari singgasananya. Perang mulut antara Ratu Divya dan Teratai seketika terhenti. Pelan tapi pasti, Raja Ragendra menghampiri ketiga wanita yang ada di depan singgasananya. “Apakah kau yakin bahwa gadis ini yang sudah memberikan kotak itu kepadamu?” tanya Raja Ragendra kepada wanita penjual kain sutra. “Iya, Paduka. Saya yakin, saya pasti tak salah ingat,” sahut wanita tersebut. “Teratai, apa kau masih mau membela diri?” Sang raja mengalihkan pandangannya kepada Teratai. “Saya tidak melakukannya.” Teratai mengelak. Tak gentar, ia menatap Raja Ragendra. “Kasus ini akan terus diselidiki. Sambil menunggu, kau akan ditahan di dalam penjara.” Titah Raja Ragendra tidak dapat lagi ditolak. Teratai mengeratkan rahangnya. Dengan penuh kebencian, ia menatap Ratu Divya yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Ia yakin kejadian yang menimpanya adalah ulah ibu tirinya. “Saya minta keadilan. Kalau saya dipenjara, wanita ini juga harus dipenjara.” Teratai menunjuk wanita penjual kain sutra tepat di wajahnya. “Saya tidak bersalah. Jangan hukum saya,” mohon wanita penjual kain sambil menangkupkan kedua tangan di dadanya. “Saya bisa pastikan bahwa saya tidak pernah bertemu wanita ini. Saya juga sedang tidak berada di istana ketika pencurian itu terjadi.” Teratai kembali membela diri. “Ke mana kau saat itu?” tanya Raja Ragendra. “Saya pergi ke pasar bersama Galuh dan Lidya. Namun kami tidak bertemu wanita ini di sana. Tanyakan saja kepada dayang-dayangku kalau Ayah tidak percaya.” Raja Ragendra memang membenci Teratai. Namun, selain sebagai seorang ayah, ia juga adalah seorang raja yang harus berlaku bijak dan adil kepada semua rakyatnya. “Baiklah, saya akan menyelidiki hal ini lebih lanjut. Barang siapa yang ketahuan benar-benar melakukannya akan menerima hukuman mati, siapa pun dia.” Raja Ragendra berbalik. Ia kembali berjalan menuju singgasananya dan duduk di sana. Ratu Divya terlihat tak puas akan keputusan yang diberikan oleh suaminya. Ia mengiginkan Teratai agar segera dihukum mati. Namun, ia tak bisa apa-apa. Keputusan Raja Ragendra bersifat mutlak, tak bisa diganggu gugat. “Pengawal, bawa Teratai dan wanita ini dan masukkan mereka ke dalam penjara! Keluarkan Bima dari penjara, ia terbukti tak bersalah,” titah Raja Ragendra. Dua orang pengawal berbaju cokelat datang. Mereka menarik tangan Teratai dan wanita penjual kain sutra dan membawanya keluar. Tak sedikit pun ekspresi takut muncul di wajah Teratai. Ia menarik lengannya dan berjalan tegak mengekori pengawal. Dengan ekor matanya, ia dapat melihat Ratu Divya yang masih tersenyum penuh kemenangan dan ibu kandungnya yang terlihat khawatir. Sidang sudah selesai. Satu per satu, para peserta sidang meninggalkan ruangan. Ratu Divya dan Putri Malika juga ikut keluar dari ruangan setelah mengucapkan terima kasih kepada sang raja. Selir Sasmita, ibu kandung Teratai, masih tinggal. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju singgasana. “Mengapa kau masih di sini?” tanya Raja Ragendra dengan acuh tak acuh. “Rajaku, aku ingin memohon ampunan untuk Teratai,” jawab Sasmita. Raja Ragendra turun dari kursi kebesarannya dengan dua tangan di belakang pinggangnya. Ia mendekati Sasmita dengan seringai di wajahnya. “Ampunan katamu? Hehh … aku sangat menyesal pernah mempunyai hubungan denganmu. Lihat saja tingkah laku putrimu itu. Sangat memalukan sekali.” “Tapi dia juga adalah anakmu, Rajaku. Bagaimana mungkin engkau sanggup memberinya hukuman mati?” tanya Sasmita. Walau bagaimana pun ia adalah ibu kandung Teratai. Jika Teratai dihukum, maka posisinya juga akan terancam. “Itu adalah karena kau tidak becus mengurus anakmu sendiri, Sasmita. Setiap hari yang kau pikirkan adalah bagaimana cara mendekatiku, sampai-sampai kau tak ingat untuk mendidik anakmu. Sudah, pergi sana!” Dengan tertunduk, Sasmita meninggalkan ruang sidang. Raja Ragendra memang tidak pernah bersikap baik kepadanya. Pria itu tak sekali pun memperhatikannya. Apa pun sudah dilakukan Sasmita agar sang raja mau meliriknya, tetapi sia-sia. Cinta sang raja hanya untuk Ratu Divya. Sebelum menjadi selir, Sasmita adalah seorang pelayan di Kerajaan Akhilendra. Suatu hari, ia menjebak Raja Ragendra yang masih menjabat sebagai putra mahkota untuk berhubungan intim dengannya. Setelah ia hamil, Ragendra yang sudah memiliki istri terpaksa menikahinya dan menjadikannya seorang selir. Hal inilah yang membuat Raja Ragendra tidak menyayangi Teratai walaupun ia adalah putri kandungnya. Setelah Sasmita meninggalkan ruangan, Raja Ragendra memerintahkan pengawal untuk memanggil Galuh dan Lidya. Tak butuh waktu lama, kedua dayang Teratai sudah berada di dalam ruang sidang. Mereka menunduk di depan singgasana. “Apakah benar empat hari yang lalu kalian pergi ke pasar bersama Teratai?” tanya Raja Ragendra. “Benar, Paduka.” Galuh dan Lidya menyahut secara bersamaan. “Apakah di sana kalian bertemu pedagang kain?” selidik sang raja lagi. “Tidak, Paduka. Kami hanya bertemu seorang pedagang buah,” jawab Galuh masih sambil menunduk. “Apakah benar yang kau katakana itu?” “Ya, Paduka. Apa yang dikatakan Galuh itu benar. Kami hanya bertemu seorang pedagang buah.” Lidya mencoba meyakinkan sang raja. “Siapa nama pedagang buah itu?” “Namanya Banyu, Paduka. Dia bahkan menolong Non Teratai ketika ada penjahat yang mau mencuri cincinnya,” ujar Galuh. “Benar, Paduka. Kalau pedagang buah itu tidak menolong, Non Teratai sudah pasti dirampok dan dilecehkan,” timpal Lidya. Raja Ragendra mendengarkan dengan seksama. Ia mengusap janggut yang tumbuh di dagunya. Melihat kedua dayang itu berbicara dengan yakin, Raja Ragendra mulai percaya. Ia menganggukkan kepalanya pelan. “Kalian boleh meninggalkan tempat ini.” “Terima kasih, Paduka,” ucap Galuh dan Lidya sambil membungkukkan tubuh di hadapan raja. Setelah itu mereka segera berbalik, meninggalkan ruang sidang yang sangat luas. Di ruangan itulah Raja Ragendra bertindak untuk memberikan keadilan terhadap rakyatnya. Berdasarkan informasi yang didapat dari Galuh dan Lidya, para pasukan pun diperintahkan untuk mencari keberadaan Banyu. Nasib Teratai ada di tangan pria itu. Ia adalah saksi hidup yang bisa menghindarkan Teratai dari hukuman berat yang akan dijatuhkan oleh Raja Ragendra. Para pasukan pun mulai mencari, menyisir setiap sudut di pasar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD