Keesokan harinya, sekelompok pasukan ditugaskan untuk mencari keberadaan Banyu di pasar. Kedatangan mereka disambut dengan riuh rendah oleh para pedagang dan pengunjung yang sedang berada di pasar tersebut.
Sekelompok pasukan itu terdiri dari satu kepala dan sebelas anggota. Pakaian mereka terdiri dari atasan dan bawahan berwarna cokelat. Sepotong kain hitam melilit di kepala mereka masing-masing. Di tangan mereka ada sebuah pedang panjang. Kaki beralaskan sandal terbuat dari kulit berderap serempak, membuat debu berterbangan.
Mereka berhenti di depan sebuah kedai yang paling ramai. Para pengunjung pun bubar, mundur satu per satu.
“Perhatian! Kami sedang mencari seorang pedagang buah bernama Banyu.” Kepala pasukan mengumumkan tujuan kedatangan mereka. “Bagi siapa pun yang kami maksud, atau mengenalnya, silakan maju,” lanjut pria bertubuh tinggi tegap itu. Rambut ikal sebahunya bergoyang-goyang tertiup angin.
Para pengunjung pun berbisik-bisik satu dengan yang lain. Beberapa waktu kemudian, seorang pria muda maju menghadap si kepala pasukan. Pria itu bertubuh tinggi, berbadan kekar. Sorot matanya tajam, dengan rahang yang kokoh, menambah kesan jantannya. Pakaian tak berlengan membuat otot-otot lengannya dapat terlihat dengan jelas. Dengan langkah pasti dan tanpa ekspresi takut, pria itu mendekati kepala pasukan.
“Saya adalah yang Anda cari, Tuan.” Banyu menangkupkan kedua tangan di dadanya seraya menundukkan kepala.
“Kau bernama Banyu?” tanya si kepala pasukan.
“Ya, benar. Saya adalah Banyu. Ada apa Tuan mencari saya?” tanya Banyu dengan sopan.
“Sebelum kami membawamu, kami akan memastikan terlebih dahulu.” Si kepala pasukan menyuruh dua anak buahnya untuk menanyakan perihal kebenaran tentang identitas Banyu.
Kedua anak buah si kepala pasukan mendatangi kedai yang terletak tak jauh dari tempat Banyu berdiri. Mereka bertanya tentang apakah benar pria itu adalah Banyu atau hanya mengaku-ngaku saja. Setelah mendapatkan jawaban yang pasti, kedua anak buah itu kembali kepada si kepala pasukan dan melapor.
“Ya, Tuan, menurut pedagang dan pengunjung di sini, pria ini benar adalah Banyu,” lapor salah satu anak buah si kepala pasukan.
Kepala pasukan mengamati wajah Banyu, dari atas sampai ke bawah. “Kau harus ikut dengan kami ke istana,” ucap pria kekar itu.
“Ada apa? Saya tidak ada kaitan dengan orang-orang yang ada di istana,” ujar Banyu.
“Ikut saja. Kau akan tahu apa tujuan raja memanggilmu,” sahut si kepala pasukan. Ia kemudian meminta kedua anak buahnya untuk mengikat kedua tangan Banyu dan menggiringnya. Banyu tak melakukan perlawanan. Ia mengikuti langkah para pasukan dengan kepala menatap ke depan, tak sekali pun menunduk. Para pengunjung pasar berbisik-bisik satu dengan yang lainnya, menebak apa yang akan terjadi kepada Banyu.
Sesampainya di wilayah istana, Banyu segera dibawa menghadap Raja Ragendra di ruang sidang yang terlihat besar dan mewah. Dengan kedua tangan terikat di belakang pinggangnya, Banyu menatap Raja Ragendra yang duduk di takhtanya. Ia membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
“Jadi kau adalah pedagang buah yang bernama Banyu?” Raja Ragendra memulai penyelidikannya.
“Ya, Paduka. Nama saya adalah Banyu. Saya adalah pedagang buah di pasar.” Banyu memperkenalkan dirinya.
“Apakah kau mengenal putriku?” tanya Raja Ragendra.
Banyu terdiam. Ia mengeryitkan dahinya sambil mencoba mengingat. Perlahan, ia menggelengkan kepalanya. “Maaf, Paduka, saya tidak pernah bertemu dengan putri raja.” Banyu menjawab.
“Kau yakin dengan jawabanmu itu?” tanya Raja Ragendra lagi.
“Ya, Paduka,” jawab Banyu pasti.
“Pengawal, bawa masuk Galuh dan Lidya!” perintah Raja Ragendra. Pengawal membawa masuk Galuh dan Lidya. Kedua dayang Teratai menunduk, tak berani menatap rajanya.
“Kedua dayang ini mengaku bahwa mereka pernah bertemu denganmu di pasar.” Raja Ragendra menunjuk Galuh dan Lidya.
Banyu mengalihkan pandangan kepada kedua gadis yang masih tertunduk. Ia menganggukkan kepala.
“Ya, Paduka. Saya pernah bertemu dengan kedua gadis ini. Ada satu lagi gadis yang ikut bersama mereka. Dia bernama Teratai,” jawab Banyu pasti.
“Jadi benar kau bertemu Teratai? Apakah benar kau juga sudah menyelamatkannya dari perampok?” selidik raja lagi.
“Ya, Paduka. Ada sekelompok perampok yang ingin mengambil cincin Teratai.”
“Tidakkah kau tahu bahwa gadis itu adalah seorang putri raja?” tanya Raja Ragendra.
“Maaf, Paduka, saya tidak tahu.” Banyu tak menyangka bahwa Teratai adalah seorang putri raja.
“Maaf, Paduka, Non Tera saat itu menyamar dengan memakai pakaian pelayan,” sahut Galuh masih menunduk. Suaranya bergetar karena takut.
Raja Ragendra mulai mempercayai pengakuan Banyu. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk lengan kursi singgasananya.
“Pengawal, bawa Teratai kemari!” perintah Raja Ragendra.
Dua orang pengawal meninggalkan ruang sidang dan melangkah menuju penjara tempat Teratai ditahan. Sambil menunggu, Raja Ragendra kembali menyelidiki latar belakang Banyu.
Beberapa waktu kemudian, Teratai masuk ke dalam ruangan di mana raja mengadakan sidang. Gadis itu tetap terlihat cantik walaupun ia tak lagi memakai jubah indahnya. Rambutnya tergerai sepinggang, bergerak-gerak mengikuti langkahnya. Tanpa rasa takut, ia melangkah mendekati singgasana yang sedang diduduki oleh ayahnya. Ia berdiri bersama Galuh, Lidya, dan Banyu. Kedua tangannya juga terikat di belakang pinggangnya, sama seperti Banyu.
Banyu tak hentinya menatap Teratai. Ia merasa heran karena gadis itu jauh berbeda dengan yang ditemuinya di pasar. Dengan ujung matanya, Teratai melirik Banyu. Ia merasa bingung mengapa pria itu juga ikut di dalam sidang.
“Ada apa, Ayah?” tanya Teratai. “Apakah Ayah sudah menemukan pelaku pencurian kotak perhiasan itu?”
“Jangan bicara kalau aku belum mempersilakan.” Raja Ragendra kesal karena Teratai berani bersikap tak sopan kepadanya. “Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau mengenal pria ini? Kalau kau mengenalnya, kapan dan di mana kalian bertemu?” selidik sang raja.
“Ya, aku mengenalnya. Dia adalah Banyu, pedagang buah di pasar. Dia juga adalah orang yang menyelamatkanku dari perampok. Kalau dia tidak menolong, mungkin aku sudah tidak berada di sini,” jawab Teratai. Ia kemudian menengok ke Banyu yang ada di sebelahnya, sambil tersenyum kecil dan mengangguk kepada pria itu. Banyu terkesima, tak menyangka Teratai yang sebenarnya berparas cantik dan anggun.
Raja Ragendra terdiam. Teratai terbukti tak berbohong. Ia kembali mengetuk lengan kursi singgasananya dengan jari telunjuknya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak menemui wanita itu di pasar. Lagi pula aku ke pasar menyamar dengan pakaian pelayan. Kalau benar aku menemui wanita itu, dia pasti tak akan mengenaliku.” Teratai kembali membela diri.
Raja Ragendra mengangguk pelan. Ia percaya bahwa Teratai benar-benar tak sedang bersandiwara. Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya memberi keputusan.
“Pengawal, bawa kembali Teratai ke kamarnya,” titah Raja Ragendra kepada pengawal yang masih berjaga di depan pintu masuk ruang sidang. “Dan kau, Pemuda, karena kau telah menyelamatkan putriku, maka kau akan berkesempatan untuk dijamu pada acara makan malam di istana. Pelayan, bawa pria ini ke kamar dan berikan dia pakaian yang layak,” perintah Raja Ragendra lagi. Ratu Divya Putri Malika yang mendengarkan keputusan raja saling bertatapan dengan raut kecewa di wajah mereka masing-masing, sementara selir Sasmita menarik napas lega karena posisinya kembali aman.
Pengawal melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan Teratai dan Banyu. Setelah itu, Teratai beserta kedua dayangnya meninggalkan ruang sidang. Dua pengawal mengiringi langkah mereka. Seorang pelayan pria membawa Banyu keluar, menuju sebuah kamar tamu.
Di setiap langkahnya, Banyu menatap keindahan istana Kerajaan Akhilendra. “Indah sekali istana ini,” batin Banyu.
“Silakan masuk, Tuan,” pelayan mempersilakan Banyu masuk ke sebuah kamar kosong yang cukup luas. Banyu masuk ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Ia duduk di tepi ranjang yang tertutupi kain beludru sambil mengamati dekorasi di dalam kamar. Ranjang yang sedang didudukinya terbuat dari kayu yang kokoh, dengan banyak ukiran di bagian kepala.
Ia kemudian berbaring dan meletakkan kedua lengan di belakang kepalanya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian yang baru saja dihadapinya di ruang sidang.
“Jadi gadis itu adalah seorang putri raja. Hehh, pintar sekali dia menyamar.” Banyu bermonolog. Ia masih ingat betapa manisnya senyum Teratai. “Tatapan gadis itu terasa tak asing bagiku. Suara dan cara berbicaranya yang tegas sungguh membuatnya layak menjadi putri seorang raja.” Banyu masih termenung sambil berbicara pada dirinya sendiri.
Suara ketukan di pintu menyadarkan Banyu dari lamunannya. Dengan cepat, ia turun dari ranjang dan melangkah menuju ke pintu. Di depan pintu, sudah ada seorang pelayan pria yang menunggunya. Ia membawa pakaian dan menyerahkannya kepada Banyu.
“Tuan, di sebelah utara kamar ini ada sebuah pemandian. Jika Tuan ingin membersihkan diri, saya akan mengantarkan Anda ke sana,” ujar si pelayan tersebut.
Banyu menganggukkan kepala, “Baiklah. Tolong antarkan saya ke tempat pemandian.”
“Baik, Tuan. Silakan ikut saya,” sahut si pelayan.
Dengan langkah tegap, Banyu mengekori langkah si pelayan. Beberapa pelayan wanita melihat, mengagumi ketampanan Banyu.
Banyu masuk ke tempat pemandian. Ia membenamkan tubuh di sebuah kolam berukuran sekitar 2 x 2 meter dengan tembok yang terbuat dari batu bata merah yang tersusun rapi. Ia membasuh wajah dengan kedua tangannya. Sesekali, Banyu menyelupkan kepalanya ke dalam air, sehingga rambutnya basah.
Setelah selesai membersihkan diri, Banyu mengenakan pakaian yang tadi ia terima dari pelayan. Seperti petinggi istana lainnya, pakaian yang diterima Banyu adalah sebuah jubah. Jubah itu berwarna hitam dengan tali berwarna putih di sekeliling pinggangnya. Di bagian punggungnya, ada sulaman berbentuk elang terbuat dari benang berwarna emas. Banyu menyisir rambutnya yang masih sedikit basah dengan kesepuluh jarinya.
Masih dengan kawalan pelayan, Banyu meninggalkan pemandian. Ia kembali ke kamar yang disediakan untuk tempatnya menginap.
Senja telah lewat, langit yang tadinya berwarna jingga berubah menjadi gelap. Obor-obor dan pelita mulai dinyalakan, untuk menjadi sumber cahaya yang menerangi setiap sisi di istana.
Banyu ikut makan malam bersama dengan raja, ratu, keluarga kerajaan dan beberapa petinggi istana. Dengan kikuk, ia mengikuti tata cara makan malam di tempat yang terasa asing baginya. Tak banyak kalimat keluar dari para peserta makan malam kali itu. Raja Ragendra hanya sempat mengucapkan beberapa kalimat ungkapan terima kasih karena Banyu sudah membantu Teratai.
Acara makan malam selesai, Raja Ragendra bersama Ratu Divya meninggalkan ruang makan diikuti peserta makan malam yang lainnya.
Teratai menunggu Banyu di depan ruang makan.
“Banyu,” panggil Teratai saat Banyu hendak berlalu.
“Ada apa, Nona?” Banyu menghentikan langkahnya.
“Bisa aku bicara sebentar denganmu?” tanya Teratai.
“Tentu saja, Nona.” Banyu mengangguk lalu membungkukkan tubuhnya yang tinggi.
“Kamu tidak perlu membungkuk ketika bertemu denganku. Anggap saja aku adalah temanmu,” ujar Teratai. Ia memegang bahu Banyu sehingga pria itu kembali menegakkan tubuhnya.
Teratai yang malam itu memakai jubah berwarna putih tampak sangat serasi dengan Banyu yang berjubah hitam. Teratai mengajak Banyu untuk duduk di alun-alun, di atas sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu.
Di langit yang cerah, bulan separuh memberikan cahayanya. Taburan bintang menambah keindahan langit yang bersih tak berawan.
“Terima kasih karena kau sudah kembali menolongku.” Teratai memulai percakapannya.
“Itu sudah tugasku, Nona,” sahut Banyu. Ia terus memandang ke depan, tak berani menatap Teratai.
“Jika bukan karenamu, aku mungkin sudah dihukum mati. Aku ditahan karena dituduh mencuri kotak perhiasan Ratu Divya. Seorang penjual kain membuat kesaksian palsu. Ia mengatakan bahwa kami bertemu di pasar dan aku memberikannya kotak perhiasan itu.” Teratai mulai bercerita. Suara jernihnya yang tegas mampu membuat menyedot perhatian siapa saja yang berbicara dengannya.
“Jadi Nona dituduh mencuri di istana sendiri?” tanya Banyu heran.
“Yah, begitulah. Raja Ragendra, dia adalah ayahku, tetapi dia tak pernah menganggapku putrinya.”
Banyu mulai tertarik dengan apa yang diucapkan Teratai. Ia mengalihkan pandangannya dan menatap Teratai. Gadis itu sedang tersenyum simpul, tatapannya lurus ke depan.
“Bukankah Nona adalah seorang putri raja?”
“Ya, benar. Tetapi statusku di sini hanyalah sebagai putri dari seorang selir yang tak pernah dicintai raja. Aku yakin ini semua adalah tipuan dari Ratu Divya dan Putri Malika. Mereka pasti merencanakan ini semua karena ingin melenyapkanku.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Banyu.
“Entahlah. Aku harus menuntut raja agar ia membuat wanita itu membuka mulut dan mengatakan yang sejujurnya. Walaupun raja membenciku, tetapi dia harus berlaku adil karena aku adalah salah satu warga di kerajaan ini.”
“Maaf kalau aku tak bisa membantu lebih lanjut, Nona,” ujar Banyu.
“Kau sudah sangat membantuku, Banyu. Mulai saat ini jadilah temanku. Jangan pernah panggil aku dengan sebutan Nona. Panggil saja aku Teratai atau Tera,” jawab Teratai sambil tersenyum.
“Bagaimana mungkin aku memanggil putri raja dengan namanya,” tolak Banyu halus.
“Anggap saja ini titah. Panggil aku Teratai atau Tera. Jika kau tidak melakukannya, berarti kau melanggar titah putri raja.” Teratai memaksa.
“Baiklah, aku hanya bisa menurut, Tera,” jawab Banyu dengan terpaksa.
“Ya, begitu lebih baik.” Teratai menganggukkan kepala.
“Kembalilah ke kamarmu. Hari sudah malam, kau harus istrahat. Bukankah semalaman kau menginap di penjara?”
“Baiklah, semoga kau juga merasa nyaman beristirahat di istana ini, Banyu,” ucap Teratai. Ia bangkit dari duduknya.
“Terima kasih. Istana ini sangat indah dan nyaman. Pasti aku bisa tidur nyenyak malam ini. Esok aku akan kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, kaum jelata yang hanya berjualan buah.” Banyu juga ikut bangkit dari duduknya.
“Selamat malam, Banyu. Selamat beristirahat,” pamit Teratai.
“Terima kasih, Tera. Semoga kau juga beristirahat dengan baik malam ini.”
Teratai mengangguk. Ia kemudian melangkah ke arah Barat. Jubah putihnya dengan sulaman bunga di bagian punggung melambai-lambai mengikuti langkahnya. Banyu memutar tubuhnya. Ia berjalan ke arah Timur, menuju kamar yang akan menjadi tempat peristirahatannya pada malam itu.
Dua pasang mata memperhatikan Teratai dan Banyu. Mereka mengintip dari kejauhan, sambil berbisik menanggapi kedekatan sepasang anak muda yang baru saja meninggalkan alun-alun.
“Ibu, mereka terlihat sangat dekat,” bisik Putri Malika.
“Ya, Ibu juga berpikiran sama denganmu. Hehh … selera Teratai sangat rendah.” Ratu Divya meremehkan Teratai.
“Tapi pria itu tampaknya bukan pria biasa, Ibu. Dia sangat tampan dan tatapan matanya tak gentar ketika bertemu dengan ayah.”
“Malika, jangan bilang kau jatuh cinta padanya.” Ratu Divya menatap tajam putrinya.
“Tidak, Ibu. Mana mungkin aku jatuh cinta pada orang biasa sepertinya.”
Setelah Teratai dan Banyu tak tampak lagi, ibu dan anak itu meninggalkan tempat mereka mengintip. Mereka kembali masuk ke kamar masing-masing.