Keesokan paginya, setelah matahari baru saja terbit di ufuk timur, anggota kerajaan dan penghuni istana lainnya berkumpul di halaman yang luas. Mereka akan melakukan pemujaan kepada Dewa Matahari. Tradisi ini mereka lakukan satu kali dalam satu bulan, tepatnya di hari pertama bulan baru.
Semua peserta upacara memakai baju putih, mereka berlutut menghadap matahari yang baru saja keluar dari peraduannya. Seorang imam melakukan ritual. Ia membakar seekor kambing yang bertubuh gemuk di atas beberapa batu yang disusun jadi satu.
Mulut sang imam berkomat-kamit, memanjatkan doa dengan suara yang nyaring. Peserta upacara yang lain mengulangi doa yang sama dengan yang dipanjatkan sang imam. Api berkobar, membakar bulu dan tubuh kambing tersebut. Lama kelamaan, tubuh korban persembahan habis ditelan api.
Peserta upacara terus berlutut sambil membungkukkan tubuh, menghormati sang surya yang menerangi seluruh dunia.
Dua jam berlalu, upacara penyembahan pun selesai. Sang surya sudah memancarkan sinarnya dengan sempurna. Satu per satu peserta upacara meninggalkan halaman, kembali melakukan tugas dan rutinitas masing-masing.
Raja Ragendra memanggil Teratai dan Banyu dan menyuruh mereka berdua untuk menemuinya. Ia mengajak mereka ke sebuah ruang yang fungsinya seperti ruang kerja. Raja biasa menggunakan ruangan itu sebagai tempat untuk membaca dan menulis.
Teratai memperhatikan isi ruangan. Ada banyak gulungan dan kitab yang bertuliskan aksara yang tak dimengerti oleh Teratai. Ruang kerja Raja Ragendra tertata dengan rapi. Ia duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu, sementara Teratai dan Banyu berdiri di hadapannya.
“Anak Muda, saya ingin berterima kasih denganmu karena engkau sudah melakukan hal yang baik terhadap kerajaan ini.”
“Itu sudah tugas saya, Paduka,” sahut Banyu sambil membungkukkan tubuhnya.
“Ini ada sedikit imbalan untukmu,” ucap Raja Ragendra. Ia memberikan sebuah kantung dari kain beludru kepada Banyu.
“Maaf, Paduka, saya tidak bisa menerimanya. Saya melakukannya dengan ikhlas,” tolak Banyu halus sambil menangkupkan kedua tangan di dadanya.
“Banyu, ambil saja. Kau sudah mengorbankan nyawamu untuk menolongku,” bujuk Teratai sambil menghadap ke arah Banyu.
“Ya, Anak Muda. Terimalah imbalan ini. Ini adalah titah raja.” Raja Ragendra memaksa.
“Baiklah, Paduka, saya terima.” Banyu membungkukkan tubuhnya lagi dan menerima kantung beludru dari sang raja.
“Kau boleh meninggalkan tempat ini,” ucap Raja Ragendra kepada Banyu.
Banyu memberi hormat kepada sang raja. Ia kemudian memutar tubuhnya, meninggalkan ruang kerja raja. Banyu menunggu Teratai di depan pintu.
“Teratai,” panggil sang raja.
“Ya, Ayah, apa yang ingin Ayah katakan padaku?” tanya Teratai.
“Saya hanya ingin memberitahukan sesuatu hal kepadamu.”
“Apa itu, Ayah?”
“Saya membebaskanmu hanya karena kau terbukti tidak bersalah. Jadi, saya ingatkan kepadamu untuk tidak besar kepala. Posisimu di kerajaan ini tetap akan menjadi anak dari selir. Jangan pernah mencoba untuk melewati batasanmu. Kau harus tetap menghormati Ratu Divya dan Putri Malika.”
Teratai menelan ludah. Ia tak mengerti mengapa posisi seorang putri selir sepertinya harus dianggap rendah. “Baiklah. Ayah tidak perlu khawatir. Aku sama sekali tidak ingin menggantikan posisi putrimu itu.”
“Baguslah kau mengerti. Aku tidak perlu lagi mengajarimu. Beberapa waktu belakangan ini kau tampak lebih pintar dari sebelumnya. Apakah mungkin pukulan di kepalamu itu membuat otakmu berfungsi lebih baik?”
Teratai menyipitkan mata, menatap ayahnya dalam-dalam. Tak sedikit pun ada cinta yang terpancar di mata pria itu untuknya. Dalam hati, Teratai mengutuki sikap Raja Ragendra yang bisa membenci putri kandungnya sendiri.
“Sungguh, jika saja aku bisa memilih, aku ingin terlahir dari keluarga lain yang bisa memberikanku kasih sayang.”
“Heh, kasih sayang? Tak tahukah kau, apa yang ibumu lakukan sehingga kau harus muncul di dunia ini?” tanya sang raja.
“Aku tak perlu tahu. Kehadiranku di dunia ini bukan hanya karena ibuku, Ayah juga ikut andil di dalamnya.” Teratai memang tak mengerti mengapa ayahnya begitu membenci dirinya.
“Terserah kau mau bilang apa. Mulai hari ini berhentilah membuat masalah. Jangan pernah meninggalkan istana ini tanpa pengawalan. Beruntung Banyu menyelamatkanmu dari para perampok. Sungguh memalukan jika tersiar kabar bahwa seorang putri dari kerajaan ini menjadi korban perampokan dan pelecehan. Jika hal itu benar terjadi, entah di mana harus kutaruh mukaku ini.”
Setiap perkataan sang raja menghujam hati Teratai. Ia mengepalkan kedua tangan dan menatap sang raja. Bagi Teratai, pria itu adalah orang asing. Tetapi bagi pemilik tubuhnya, pria itu adalah ayah kandungnya.
“Aku tak peduli kau menganggapku apa. Tetapi, aku mohon sebagai raja di kerajaan ini, berikan aku keadilan.”
“Apa maumu?” tanya Raja Ragendra.
“Hukum mati siapa pun yang telah melakukan pencurian itu. Bukankah itu yang Ayah katakan beberapa hari yang lalu?”
Raja Ragendra diam. Ia mengingat kembali perkataannya, bahwa ia akan menghukum mati pelaku pencurian kotak perhiasan Ratu Divya. Hanya saja, ia belum menemukan siapa pelaku yang sebenarnya.
“Kau tak perlu mengajariku. Sebelum kau memohon, saya sudah memikirkan hal tersebut,” respon sang raja.
“Lalu bagaimana jika pelakunya adalah orang yang Ayah sayangi? Putri Malika misalnya? Atau Ratu Divya?” tanya Teratai.
Raja Ragendra merasa kesal akan perkataan Teratai. “Kau jangan mengada-ada. Mana mungkin mereka melakukan hal tersebut?” Raja Ragendra balik bertanya.
“Heh, aku yakin Ayah tak akan memberi hukuman jika salah satu di antara kedua orang itu adalah pelakunya.”
“Tinggalkan tempat ini!” titah Raja Ragendra.
“Baiklah, aku lakukan apa yang menjadi perintah Ayah.”
Teratai mengibaskan ujung jubah putihnya dan memutar tubuhnya. Ia berjalan dengan langkah lebar meninggalkan ruang kerja raja.
Di depan pintu, tangan Teratai ditarik oleh Banyu.
“Kau masih di sini?” tanya Teratai.
“Ya,” jawab Banyu. Ia melepaskan cekalannya di pergelangan tangan Teratai. “Aku mendengar semuanya.” Banyu memang mendengar percakapan antara Teratai dan ayahnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah salah jika aku menyesal dilahirkan sebagai bagian dari keluarga ini?” tanya Teratai. Ia dan Banyu berjalan bersisian menyusuri lorong yang terdiri dari banyak pintu.
“Aku tak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Aku turut prihatin terhadap keadaanmu, Tera,” ucap Banyu penuh simpati.
“Aku sudah terbiasa, Banyu. Dua kali aku hidup, dua kali aku dibenci oleh ayahku.” Teratai tersenyum kecut.
“Apa maksudmu?” Banyu bertanya heran.
“Lupakan, anggap saja aku tak pernah mengucapkan hal itu.” Teratai hampir saja keceplosan mengungkapkan identitas dirinya.
Banyu tak mempermasalahkan apa yang baru saja diucapkan Teratai. Ia masih merasa iba karena gadis cantik yang sedang berjalan di sampingnya memiliki nasib yang kurang baik dalam urusan hubungan keluarga.
“Jangan mengasihaniku, Banyu. Aku tak selemah yang kau pikirkan.” Teratai mengibaskan tangan di samping wajahnya.
“Aku kagum akan keberanian dan ketegaranmu,” puji Banyu.
“Terima kasih,” sahut Teratai.
* * *
Di penjara bawah tanah
Wanita penjual kain sutra meringkuk sambil menangis. Ia meratapi nasib karena harus menghabiskan waktunya di penjara yang sempit, gelap, dan lembab.
“Andai saja aku tak termakan rayuan wanita itu,” gumamnya pelan. Air mata mengalir di pipinya. Ia mengambil beberapa koin emas yang ada di dalam jubahnya dan tertawa sinis.
“Dan sekarang, koin-koin ini sudah tak ada artinya.” Wanita itu kembali bermonolog sambil menghamburkan koin-koin emasnya. “Aku harus mengatakan yang sejujurnya kepada raja. Ia harus tahu siapa yang menyuruhku melakukan ini semua,” ucapnya lagi.
Suara langkah terdengar. Seeorang datang menghampiri penjara tempat wanita penjual kain ditahan. Orang itu memakai pakaian serba hitam. Setengah wajahnya ditutupi cadar berwarna hitam.
“Ini aku,” ucap wanita yang baru saja tiba. Ia adalah Putri Malika.
“Ada apa kau mendatangiku, Nona?”
“Teratai sudah dilepaskan. Ia terbukti tak bersalah. Kemungkinan sebentar lagi raja akan memanggilmu kembali ke ruang sidang,” ucap Putri Malika.
“Aku harus bagaimana, Nona?” tanya wanita yang sedang ditahan.
“Kau tidak boleh mengatakan yang sesungguhnya.”
“Aku menyesal karena sudah mengikuti permintaan Nona. Sekarang nasibku berada di ujung tanduk,” sesal wanita itu.
“Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Sekarang kau tak boleh lagi mundur,” sahut Putri Malika.
“Aku akan mengatakan yang sesungguhnya,” ujar wanita itu dengan gemetar.
“Apa? Kau mau mengatakan yang sesungguhnya? Hahaha ….” Putri Malika tertawa pelan.
“Ya, aku akan mengatakan bahwa Nona adalah dayang dari semua ini.” Wanita itu menatap Malika dengan kebencian.
“Kau yakin?”
“Ya, aku sangat yakin.”
“Bayangkan jika aku menyuruh orang menghabisi kedua orang tuamu, suamimu, dan keempat anakmu,” ancam Putri Malika.
“Kau?” Wanita itu mengeratkan rahang dan mengepalkan kedua tangannya.
“Ya, jika kau nekat mengakui yang sebenarnya, maka aku tak segan-segan menghabisi keluargamu. Aku bisa saja menyuruh anak buahku untuk membakar tempat tinggal mereka,” ancam Putri Malika lagi. “Tapi jika kau melakukan perintahku, maka mereka akan selamat.”
Wanita penjual kain mulai goyah. Ia tak ingin keluarganya yang menanggung akibat dari perbuatannya sendiri.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya wanita itu.
“Ini untukmu,” ucap Putri Malika. Ia memberikan sebuah botol kecil kepada wanita itu.
“Apa ini?” tanya wanita tersebut sambil menerima botol yang diberikan oleh Putri Malika.
“Minum ini di persidangan nanti. Jika kau tidak meminumnya, maka keluargamu yang akan mati.” Putri Malika kembali mengancam.
“Jadi Nona ingin aku mati?” tanya wanita itu.
“Ya,” jawab Putri Malika pendek.
“Aku akan meminumnya sekarang.” Wanita itu ingin membuka tutup botol ketika Putri Malika mencengkeram pergelangan tangannya sedikit keras.
“Bukan di sini, tetapi di ruang sidang kerajaan Akhilendra. Jika nanti ayahku bertanya kepadamu mengenai siapa yang telah menyuruhmu, kau harus meminum racun ini.”
Wanita penjual kain merasa terancam. Ia berada di posisi seperti buah simalakama. Jika ia menyelamatkan diri sendiri, maka keluarganya yang akan menjadi korban. Ia diam sambil mempertimbangkan apa yang dikatakan Putri Malika.
“Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau mau,” ucap si penjual kain.
“Bagus, itu lebih baik. Jangan pernah ingkar akan janjimu.”
Putri Malika segera berbalik meninggalkan penjara si wanita yang masih asyik mengamati botol kecil berwarna kuning keemasan. Senyuman terbit di ujung kedua pipinya.