Siang pun tiba. Matahari bersinar terik tepat di atas kepala. Raja kembali menggelar sidang untuk membuktikan pelaku pencurian yang sebenarnya. Sang raja duduk di takhtanya, dengan jubah berwarna hijau menyelimuti tubuhya. Mahkota berbatu hijau dan merah membuat penampilannya bertambah gagah.
Di sebelah kanannya, sudah duduk para wanita. Mereka adalah sang ratu, para selir, dan juga putri-putri dari kerajaan Akhilendra. Di sebelah kirinya, sudah duduk para petinggi istana. Semua hening, menunggu raja memulai sidangnya.
“Saya sangat kecewa dengan sistem pengamanan di istana ini. Kamar Ratu Divya yang dijaga beberapa pengawal terbaik tetap bisa kemalingan. Oleh karena itu, saya harus mengganti pengawal untuk berjaga di sana.”
Tiga pasang pengawal yang ditugaskna untuk berjaga di kamar Ratu Divya menunduk. Mereka harus siap menerima hukuman terburuk yang akan diberikan oleh raja.
“Kalian saya bebas tugaskan dan tak perlu lagi bekerja di sini.” Raja Ragendra menghentikan para pengawal tersebut dari tugas mereka. Dengan tubuh membungkuk, mereka berterima kasih kepada raja. Beruntung mereka tak mendapatkan hukuman yang berat. Ketiga pasang pengawal tersebut meninggalkan ruang sidang. Mereka diminta untuk berkemas dan segera meninggalkan wilayah istana dan kembali ke tempat asal mereka.
“Pengawal, bawa wanita penjual kain itu kemari!” titah sang raja.
Pengawal pun masuk, menggiring wanita yang baru saja mereka jemput dari penjara bawah tanah.
Wanita itu tampak kumal. Rambutnya berantakan, jubahnya pun sudah kotor dan lusuh. Wajahnya sudah tak terlihat ayu. Matanya sembab seperti orang habis menangis. Dari kejauhan, ia menatap Putri Malika yang duduk di sebelah ibunya.
Tangan wanita itu terikat di belakang pinggangnya. Ia terus berjalan maju mendekati singgasana sang raja. Ia menghentikan langkahnya setelah pengawal menarik lengannya. Wanita itu berdiri di hadapan raja.
“Sekali lagi saya tanyakan. Apakah benar kau bertemu Teratai di pasar itu?” Raja memulai investigasinya.
“Tidak, Paduka,” jawab wanita itu lemah sambil menundukkan kepalanya.
“Jadi kau berbohong saat mengatakan bahwa Teratai yang memberikanmu kotak perhiasan itu?” tanya Raja Ragendra lagi.
Wanita itu menunduk dalam, matanya menatap ujung kakinya yang telanjang, tanpa alas apa pun.
“Cepat jawab!” perintah raja dengan suara menggelegar.
“Saya berbohong, Paduka,” jawab wanita itu. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
“Katakan dengan jelas! Jadi kau berbohong?” tanya raja.
“Ya, saya berbohong, Paduka.” Wanita itu mengeraskan suaranya. Ia mengangkat kepala agar dapat menatap raja.
“Berani-beraninya kau berbohong di sidangku.” Raja mengeratkan rahangnya. Dadanya membusung naik turun, menahan amarah.
“Saya diperintahkan seseorang, Paduka,” ucap wanita itu lagi.
“Siapa orang itu? Lekas katakan!” perintah raja lagi.
“Saya akan mengatakannya. Tetapi mohon kabulkan permintaanku.” Wanita itu menatap sang raja.
“Apa permintaanmu?” tanya raja.
“Lepaskan ikatanku. Aku akan menunjuk siapa yang telah menyuruhku melakukan hal ini,” jawab wanita itu.
“Pengawal, lepaskan ikatannya!” perintah sang raja. Pengawal menurut. Ia mengambil sepucuk pisau kecil dari pinggangnya dan memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangan wanita itu.
Wanita itu menggerak-gerakkan pergelangan tangannya yang sudah terbebas. Sesekali, ia mengarahkan pandangannya kepada Putri Malika. Air muka sang putri sudah berubah tegang. Duduknya pun sudah tak tenang seperti sebelumnya.
“Sekarang katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan itu?” tanya raja penasaran.
“Orangnya ada di sini, Paduka.” Wanita itu menyapukan pandangan ke sebelah kanan dan kirinya. Tegang, ruang sidang seketika berubah penuh ketegangan.
“Cepat katakan! Jangan coba-coba mempermainkan saya!” titah sang raja lagi.
Wanita itu diam. Ia menundukkan kepalanya. Tangannya menyelip masuk ke dalam jubah. Raja mengamati tingkah wanita itu dengan penuh tanya.
“Kalaupun saya mengatakannya, raja tidak akan percaya. Lebih baik saya tutup mulut agar keluarga saya selamat.” Cepat wanita itu membuka penutup botol dan meminum cairan dari dalam botol kecil berwarna keemasan.
“Pengawal, hentikan dia!” perintah sang raja. Pengawal berlari cepat menghampiri wanita itu. Raja pun begitu. Ia turun dari singgasananya dan berlari mendekati wanita itu.
Pengawal menepis tangan wanita itu. Botol berwarna keemasan terpelanting jatuh di lantai. Namun terlambat, wanita itu sudah menenggak habis cairan di dalamnya.
Brukk
Wanita itu terjatuh dengan posisi telentang di lantai. Tangannya mengangkat pelan dan menunjuk ke arah Putri Malika. Ia berusaha untuk berbicara, tetapi tak satu pun kata keluar dari mulutnya.
Putri Malika menatap tajam ke arah wanita itu. Dadanya bergemuruh kencang. Ia takut wanita itu akan membuka identitas dirinya sebagai pelaku pencurian.
Plakk
Tangan wanita itu terjatuh di lantai. Matanya terbelalak, tubuhnya menggelepar, seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Mulutnya mengeluarkan busa berwarna putih.
Raja Ragendra melihat dengan jelas perubahan yang terjadi pada tubuh wanita itu. Setelah menggelepar beberapa saat, wanita itu menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya.
Pengawal memeriksa denyut nadi wanita itu.
“Dia sudah wafat, Paduka,” lapor sang pengawal.
Raja Ragendra berjongkok, mengambil botol yang adalah wadah racun yang diminum wanita tersebut. Ia mengamati botol tersebut lalu menggelengkan kepalanya.
“Bawa botol ini. Periksa dari mana botol ini berasal. Racun yang ada di dalamnya sangat mematikan. Ini adalah bahaya untuk kerajaan kita!” perintah raja kepada sang pengawal.
“Baik, Paduka.” Pengawal mengambil botol tersebut.
“Bawa mayat wanita ini dan lakukan upacara pembakaran jenazah.” Raja Ragendra memutar tubuhnya dan kembali duduk di singgasana.
Dua orang pengawal membawa mayat wanita itu keluar dari ruang sidang. Hening, ruang sidang kembali hening. Raja Ragendra mengetuk jari telunjuknya di lengan kursi singgasananya.
“Untuk sementara, penyelidikan terhadap kasus ini dihentikan. Para pengawal harap menjaga keamanan dengan baik. Saya tidak menerima alasan lagi jika sampai hal ini terulang kembali.” Raja Ragendra kemudian menutup sidang. Ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang sidang. Rasa kesal menyelimuti wajahnya, sorot matanya berapi-api menahan amarah. Para peserta sidang yang lain pun meninggalkan ruang sidang.
* * *
“Ibu, ikutlah ke kamarku. Ada yang mau aku bicarakan pada Ibu.” Putri Malika menarik lengan Ratu Divya.
“Ada apa, Malika?” tanya sang ratu.
“Ini masalah yang sangat penting, Ibu.”
“Baiklah,” sahut Ratu Divya. Ia mengurungkan niatnya untuk menyusul Raja Ragendra.
Kedua wanita itu berjalan bersisian. Mereka tampak cantik dan ayu dengan jubah indah berbahan sutra berwarna merah muda. Rambut hitam panjang menjuntai sampai ke bawah pinggang. Para pengawal yang berjaga menunduk, tak berani menatap mereka.
Putri Malika segera menutup pintu rapat-rapat ketika ia dan ibunya sudah berada di dalam kamar. Tak lupa, Putri Malika mengunci pintu kayu yang penuh dengan ukiran.
“Ibu, ini bahaya, Bu,” ucap Putri Malika. Ia menggenggam kedua tangan di depan perutnya. Ratu Divya mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Berhentilah, Putri Malika. Ibu pusing melihatmu terus-menerus mondar-mandir,” ucap Ratu Divya. Putri Malika menghentikan gerakannya.
“Ibu, aku sedang dalam masalah besar,” ucap Putri Malika. “Ibu harus membantuku,” lanjutnya.
“Ada apa, Putriku? Mengapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?” tanya Ratu Divya penasaran.
“Akulah yang mengambil kotak perhiasan Ibu. Aku juga yang menyuruh wanita itu menunjuk Teratai,” lapor Putri Malika.
“Kamu? Kamu yang melakukan itu semua?” tanya Ratu Divya tak percaya.
“Iya, Ibu. Aku merencanakan semuanya agar Teratai mendapat hukuman,” jawab Putri Malika.
“Malika, Ibu tak menyangka kau bisa berlaku seperti ini,” keluh Ratu Divya. Ia mulai ikut panik. Ia duduk di tepi ranjang.
“Ibu, aku melakukannya karena kesal kepada Teratai. Aku ingin membalaskan dendam atas ulahnya yang sudah berlaku sombong kepadaku. Aku tidak mengerti mengapa Teratai sangat berubah, Ibu. Dulu dia tak pernah melawanku. Sekarang dia bahkan berani melawan Ayah.” Putri Malika mendengus kesal.
“Ya, kau benar, Malika. Teratai sudah seperti orang lain sekarang,” sahut Ratu Divya sambil mengangguk setuju. “Jadi, apakah kau juga yang memberikan racun kepada wanita itu?” tanya Ratu Divya sambil menatap dalam kepada Putri Malika yang sudah duduk di sampingnya.
Putri Malika tertunduk lemah. “Iya, Bu. Aku mengancam akan menghabisi keluarganya jika wanita itu tidak mau meminumnya,” sahut Putri Malika.
“Malika, mengapa kau tidak membicarakan ini semua kepada Ibu, Nak? Kau sangat ceroboh. Ayahmu akan menyelidiki asal usul botol itu. Jika ia menemukan siapa yang memiliki botol itu, maka kau akan berada dalam bahaya.” Ratu Divya memijat dahinya.
“Maafkan aku, Ibu. Aku tidak berpikir sejauh ini. Ini semua karena Banyu. Andai saja Teratai tidak bertemu dengannya,” dengus Putri Malika kesal.
Keduanya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Ibu … Ibu harus lakukan sesuatu untuk menolongku,” pinta Putri Malika.
“Tenang … Ibu akan memikirkan jalan keluarnya.” Ratu Divya bangkit dari duduknya. Ia berjalan di sekeliling kamar yang luas dan megah.
“Ibu, aku ada ide. Bagaimana kalau aku mengakui kesalahanku kepada Ayah?” tanya Putri Malika.
“Malika, itu ide terburuk yang Ibu dengar. Kau tahu ‘kan betapa marahnya Ayahmu karena kejadian ini? Jangan memperburuk keadaan,” sahut Ratu Divya kesal.
“Lalu aku harus bagaimana Ibu?”
“Ibu akan bicara kepada ayahmu. Ibu akan membujuknya agar menghentikan dan menutup kasus ini.”
“Apakah itu akan berhasil, Ibu?” tanya Putri Malika.
“Kita tidak tahu kalau kita tidak mencobanya. Ingat, jangan pernah membicarakan hal ini kepada siapa pun kalau kau mau aman.” Ratu Divya memperingatkan Putri Malika dengan tegas.
“Baiklah, Ibu,” jawab sang putri.
“Malika, Teratai yang kita hadapi saat ini berbeda dengan yang dulu. Kau jangan bertindak bodoh.” Putri Malika mengangguk mengiyakan. Ia menyesal karena telah bertindak bodoh dan menjerumuskan dirinya sendiri dalam bahaya.
Ratu Divya meninggalkan kamar putrinya dan menghampiri sang raja yang sedang berada di ruang kerjanya.
“Suamiku,” panggil Ratu Divya dengan mesra. “Apakah aku bisa bicara denganmu?” tanyanya.
Raja Ragendra mengangkat kepalanya. Ia menutup sebuah kitab yang sedang dibacanya.
“Ya, tentu saja. Kemarilah,” ajak Raja Ragendra. Ratu Divya memainkan ujung rambutnya dan berjalan mendekati suaminya.
“Kau terlihat begitu lelah, Suamiku.” Ratu Divya berdiri di belakang sang raja. Ia memijat pundak suaminya dengan mengeluarkan sedikit tenaga.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya sang raja sambil menutup matanya.
“Suamiku, aku ingin kau menghentikan penyelidikan terhadap kasus pencurian kotak perhiasanku,” sahut Ratu Divya masih sambil memijat pundak sang raja.
“Mengapa begitu?” tanya Raja Ragendra.
“Suamiku, kasus pencurian ini sudah sangat menyita perhatianmu,” sahut Ratu Divya.
“Aku harus menyelidikinya. Aku harus menemukan pelaku yang sebenarnya,” ujar Raja Ragendra.
“Suamiku, jika kau hanya memikirkan masalah pencurian itu, kau tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan rakyatmu dan orang-orang lain di sekitarmu.” Ratu Divya mulai membujuk Raja Ragendra. “Termasuk aku,” bisik Ratu Divya tepat di telinga sang raja. Tangannya mulai turun, membelai punggung dan d**a suaminya. “Semenjak kejadian itu kau bahkan tidak pernah menghabiskan malam bersamaku,” rengek Ratu Divya manja.
“Istriku, ini sudah menjadi tugasku. Keamanan wilayah kerajaan dan istana adalah tanggung jawabku,” sahut Raja Ragendra.
“Suamiku, tapi kotak itu sudah ditemukan bukan? Lagi pula isinya masih lengkap, tidak ada satu pun yang hilang. Aku sudah tak mempermasalahkannya,” bujuk Ratu Divya lagi. Tangannya masih berkeliaran di tubuh bagian atas suaminya. Merasa usahanya belum membuahkan hasil, Ratu Divya berpindah tempat. Ia duduk di pangkuan suaminya dan mulai menyerang pria itu dengan cumbuan manisnya.
“Ratuku, apa yang kau inginkan?” tanya sang raja dengan napas yang mulai terengah-engah.
“Aku menginginkanmu, Suamiku. Aku mohon, hentikanlah penyelidikan kasus pencurian itu agar kita kembali memiliki waktu bersama,” rayu sang ratu.
“Baiklah, aku mengabulkan permintaanmu. Tapi ingat, kau harus memberikan imbalan yang terbaik malam ini,” sahut sang raja. Pertahanannya pun runtuh. Sepasang suami istri itu pun larut dalam cumbuan dan belaian yang membuat suhu di dalam ruangan menjadi makin hangat.
“Terima kasih, Suamiku. Aku akan memberikan yang terbaik untukmu nanti malam,” ucap Ratu Divya sambil merapikan bagian atas jubahnya yang sedikit berantakan karena ulah sang raja.
“Tinggalkanlah tempat ini. Aku akan memanggil pengawal dan meminta mereka untuk melenyapkan botol itu. Kau … mandilah dengan air bunga yang wangi. Aku akan menghampiri kamarmu malam ini.”
Ratu Divya bangkit berdiri. “Baiklah, Suamiku. Aku tak sabar menunggu malam tiba. Aku mencintaimu,” ucap Ratu Divya dengan nada manja. Sebelum meninggalkan ruang kerja sang raja, ia tak lupa memberikan satu ciuman hangat di bibir pria itu.
Ratu Divya tersenyum senang. Ia memuji dirinya sendiri karena sudah bisa merayu sang raja untuk menghentikan kasus pencurian kotak perhiasannya. Tak lupa, ia juga mengatakan kabar baik itu kepada Putri Malika. Putri Malika tertawa bahagia karena bahaya tak jadi menimpanya.