Sementara Ratu Divya dan Putri Malika sedang bersenang-senang, Teratai dan Banyu asyik duduk sambil mengobrol di bawah sebuah pohon rindang yang berbatang besar.
Matahari sudah mulai turun, tak lagi tepat di atas kepala. Angin bertiup pelan, tetapi sanggup menggoyangkan ujung rambut Teratai.
“Menurutku, kematian wanita itu adalah hal yang sangat aneh,” ucap Teratai penuh rasa heran.
“Ya, aku sependapat denganmu.” Banyu menganggukkan kepalanya.
“Pasti ada orang di istana ini yang menyuruhnya. Aku yakin ini semua adalah ulah Ratu Divya atau Putri Malika. Mereka memang tak menyukaiku,” ujar Teratai sambil memandang jauh ke depan.
“Mungkin saja,” sahut Banyu.
“Tetapi aku tidak punya cara untuk membuktikannya. Lagi pula, ayah tak akan percaya walaupun aku bisa memberikan bukti.” Teratai tersenyum simpul.
“Sebesar itukah kebenciannya kepadamu?” tanya Banyu bingung.
“Ya, bahkan aku beberapa waktu lalu aku sempat mendapat hukuman pukulan di kepala. Hampir saja nyawaku melayang,” jawab Teratai. “Bagaimana denganmu, Banyu? Apakah kau punya hubungan yang baik dengan kedua orang tuamu?” Teratai mengarahkan pandangannya kepada Banyu.
“Aku? Hmm … aku dibesarkan dengan kasih sayang seorang ayah, tetapi tanpa kasih sayang seorang ibu.”
“Apakah ibumu sudah meninggal?” tanya Teratai.
“Ya, ibuku meninggal ketika melahirkanku. Tak lama setelah itu, ayahku menikahi perempuan lain yang sekarang menjadi ibu tiriku. Aku mempunyai seorang adik tiri yang usianya hanya selisih satu tahun di bawahku,” jelas Banyu.
“Apakah ibu tirimu tidak menyayangimu?” tanya Teratai lagi.
“Ya, dia tidak pernah menyayangiku, begitu juga dengan adikku,” jawab Banyu.
“Ternyata kita bernasib sama,” ucap Teratai sambil tersenyum kecil. “Tapi kau jauh lebih beruntung, ayahmu menyayangimu. Sedangkan aku, tidak ada seorang pun yang menyayangiku. Ibuku bahkan memintaku untuk selalu menjadi Teratai yang bodoh dan penurut.” Teratai pun terkekeh membayangkan apa yang terjadi pada hidupnya yang kedua. “Semua itu ia lakukan agar bisa mendapatkan hati ayah,” lanjut Teratai sambil tersenyum getir.
“Tapi kau adalah gadis yang kuat. Aku salut akan keberanianmu,” puji Banyu.
“Aku harus melakukannya agar hidupku bisa aman. Aku tak ingin selalu ditindas dan diremehkan,” sahut Teratai.
“Teruslah bersikap seperti itu. Jika kau menemui kesulitan, kau dapat mencariku di pasar. Sebisa mungkin aku akan membantumu,” dukung Banyu.
“Terima kasih. Aku sangat senang mendapatkan seorang teman,” sahut Teratai. “Di mana tempat tinggalmu?” tanya Teratai.
“Orang tuaku tinggal di desa seberang, di Kerajaan Pradipta,” jawab Banyu.
Teratai menganggukkan kepala pelan. Sesungguhya, ia tak mengenal daerah yang disebutkan oleh Banyu.
“Mengapa kau tidak berjualan di sana saja?” tanya Teratai lagi.
“Aku hanya ingin menghindar dari ibu dan adik tiriku. Jika bertemu setiap hari, maka kami bisa berkelahi. Jadi, lebih baik aku pergi dan mencari jalan hidupku sendiri.” Banyu memandang ke depan, seperti ada beban di wajahnya.
“Kau harus kuat dan sabar menghadapi hal ini,” ucap Teratai. Ia meletakkan tangannya di punggung tangan Banyu.
Banyu menatap tangan Teratai sedang menggenggam tangannya. Pandangannya tak terlepas dari cincin yang ada di jari telunjuk gadis itu.
“Maaf,” ucap Teratai. Ia menarik tangannya dari tangan Banyu. Bagi Teratai yang biasa hidup di dunia modern, menyentuh tangan seorang pria bukanlah sesuatu hal yang luar biasa. Namun, cara Banyu menatap tangannya membuat Teratai sadar bahwa ia saat ini hidup di dunia yang masih kuno.
“Tidak apa-apa. Emmm … cincin itu, dari mana kau mendapatkannya?” tanya Banyu.
“Mengapa? Apa ada yang aneh dengan cincin ini?” Teratai mengamati cincin bermata bunga teratai yang ada di jarinya.
“Tidak, cincin itu terlihat indah. Aku hanya penasaran, di mana kau mendapatkan cincin seindah itu?” tanya Banyu.
“Ini … ini adalah pemberian ibuku,” bohong Teratai. Tak mungkin ia menceritakan kepada Banyu perihal kebenaran cincin itu.
“Pasti harganya sangat mahal. Lain kali, kalau kau mau ke pasar atau ke tempat lain bawalah pengawal untuk menjagamu.”
“Ya, aku mengerti. Mmm … kau sangat pandai ilmu bela diri. Maukah kau menjadi guruku?” tanya Teratai.
“Hehe, kemampuanku masih rata-rata. Kau yakin mau menjadi muridku? Bagaimana mungkin seorang putri dari kerajaan sebesar ini menjadi muridku, yang benar saja,” sahut Banyu. Ia tertawa mendengarkan permintaan Teratai.
“Ayolah, aku sudah melihat caramu berkelahi. Kau bisa mengalahkan semua penjahat itu. Kau pasti bisa mengajariku.” Teratai bangkit dari duduknya. Ia kemudian menggulung rambut panjangnya membentuk sebuah konde.
Banyu tetap saja di posisi duduknya. Ia mengamati Teratai yang sudah memasang kuda-kuda.
“Ayolah, Banyu. Kau jangan hanya bermalas-malasan saja. Cepat, ajari aku berkelahi,” ajak Teratai.
“Hahaha … kau sangat lucu, Tera. Baru kali ini ada putri raja yang sangat cantik mengajakku berkelahi. Tidakkah kau takut kalau kulitmu terluka?” tanya Banyu. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri sekitar satu meter di hadapan Teratai.
“Luka bisa disembuhkan, Banyu. Aku hanya ingin berkelahi. Ayolah,” ucap Teratai. Ia menarik lengan bajunya agak tinggi sampai ke lengan dan kembali memasang kuda-kuda.
“Baiklah. Ayo, silakan pukul aku,” ucap Banyu.
Teratai mengarahkan tinjunya ke perut Banyu. Pria itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Pukulan Teratai sangat pelan baginya.
“Lebih kuat lagi, Tera,” ujar Banyu. “Ayolah, apakah segitu saja kekuatanmu?” ledek Banyu.
Teratai mulai terpancing. Ia kembali mengarahkan tinjunya ke perut Banyu dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya.
Bughhh
Banyu mundur sedikit. Pukulan Teratai yang kedua cukup keras, tetapi Banyu tetap tersenyum tak merasakan sakit.
“Bagus, kau harus bisa memukul lebih kuat lagi. Sekarang gunakan juga kakimu!” perintah Banyu.
“Baiklah, Banyu. Tapi kau jangan hanya diam saja, lawanlah aku,” sahut Teratai.
“Bagaimana mungkin aku bisa melawan gadis cantik sepertimu? Hahaha ….” Banyu tertawa.
“Turuti perintahku!” perintah Teratai dengan suara yang meninggi.
“Baiklah kalau itu maumu,” jawab Banyu.
Keduanya pun memasang kuda-kuda. Teratai maju terlebih dahulu dan kembali mengarahkan pukulannya di perut pria itu. Banyu mundur sedikit, menghindari pukulan Teratai. Teratai merasa kesal. Ia mengarahkan tinjunya di wajah Banyu.
Bugghh
Pukulan Teratai yang cukup keras singgah di pipi kiri Banyu. Banyu mengusap pipinya tak membalas.
Hiyaa
Suara Teratai memekik sambil mengarahkan tendangannya ke perut Banyu. Banyu yang sedang tak siap, terhuyung-huyung ke belakang. Teratai berlari maju menghampiri pria yang hampir jatuh terduduk itu.
“Maaf, Banyu. Apakah tendanganku terlalu keras?” tanya Teratai sambil memegang lengan Banyu.
“Tidak, aku hanya sedang tidak siap saja,” sahut Banyu yang sudah kembali berdiri tegak.
“Maaf kalau aku sudah menyakitimu.” Teratai kembali memohon maaf.
“Tera, itu belum seberapa. Aku tidak apa-apa, lihatlah,” sahut Banyu. Ia membuka kedua lengannya.
“Ya, baguslah.”
“Ternyata kau pintar juga bela diri,” puji Banyu.
“Ahh … kau terlalu memuji.” Teratai kembali melihat Banyu dari atas ke bawah dan memastikan bahwa pria itu tidak apa-apa.
“Sepertinya kau sudah mempunyai dasar ilmu bela diri. Kau hanya perlu berlatih lebih sering lagi,” ucap Banyu.
“Tapi kau belum melawanku, jadi aku belum tahu bagaimana cara bertahan dari serangan lawan,” sahut Teratai.
“Tera, mana mungkin aku melawanmu. Mungkin kau bisa minta tolong pengawal untuk melatihmu.”
“Ya, aku akan meminta bantuan dari mereka.” Keduanya kembali duduk di bawah pohon yang rindang.
Teratai menurunkan gulungan lengan jubahnya dan mengusap keringat yang mulai muncul di dahinya. Ia juga kembali mengurai rambutnya yang panjang.
“Tera, besok aku harus pulang. Aku akan kembali berjualan buah di pasar,” ucap Banyu.
“Secepat itu?” tanya Teratai.
“Ya, ada dua sahabat yang menungguku. Mereka pasti khawatir akan keberadaanku. Aku juga harus kembali bekerja untuk menyambung hidup. Tak mungkin aku hanya menghabiskan waktu di istana ini tanpa melakukan apa pun,” papar Banyu panjang lebar.
Teratai mengangguk. Ia mengerti keadaan Banyu. “Baiklah, kau memang harus kembali bekerja. Padahal, baru kali ini aku mempunyai seorang teman,” ucap Teratai dengan sedikit nada kecewa.
“Kau bisa menemuiku kapan saja. Jadi tak perlu merasa kehilangan,” hibur Banyu.
“Ya, aku pasti akan kembali menemuimu. Aku sangat menyukai kelapa muda yang kau jual, rasanya sangat nikmat,” sahut Teratai. Keduanya kembali asyik mengobrol.
Dari kejauhan, tanpa sepengetahuan Banyu dan Teratai, ada dua pasang mata yang sejak tadi mengamati gerak-gerik mereka berdua.
“Ayah, apakah Ayah melihat keanehan pada diri Teratai?” tanya Putri Malika kepada ayahnya.
“Ya, Ayah tak akan percaya kalau Ayah tak melihatnya dengan mata kepala Ayah sendiri. Ini adalah hal yang sangat aneh,” jawab Raja Ragendra pelan. Matanya masih mengawasi Teratai dan Banyu.
“Ayah, apakah selama ini Teratai pura-pura menjadi gadis yang bodoh? Sejak kapan dia punya ilmu bela diri?” Putri Malika masih terheran-heran. Yang dia tahu, Teratai tak pernah berlatih ilmu bela diri.
“Banyak sekali perubahan pada Teratai. Entahlah, Ayah juga tak mengerti.” Raja Ragendra mengusap janggut yang tumbuh di dagunya. “Anak muda itu juga terlihat bukan seperti orang biasa,” ucap Raja Ragendra.
“Iya, Ayah. Apa yang akan Ayah lakukan terhadap mereka?” tanya Putri Malika.
“Ayah akan bicara pada Teratai dan Banyu. Ayah ingin mendapatkan jawaban yang benar-benar masuk akal,” sahut Raja Ragendra. “Pergilah, biar Ayah sendiri yang berbicara kepada mereka.” Putri Malika menurut. Ia beranjak meninggalkan sang ayah.
Raja Ragendra berjalan mendekati Teratai dan Banyu yang masih asyik berbicara. Keduanya bangkit berdiri menyambut sang raja. Banyu membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
“Anak Muda, sepertinya kau mempunyai ilmu bela diri yang cukup baik.”
“Hanya sekadar untuk melindungi diri sendiri, Paduka,” sahut Banyu.
“Apakah kau mau bekerja di istana ini? Jika kau berkenan, saya akan mengangkatmu menjadi salah satu pengawal di sini,” tawar sang raja.
“Maaf, Paduka. Saya masih ingin tetap bekerja sebagai penjual buah,” tolak Banyu halus.
“Bukankah bekerja di sini lebih menjanjikan untuk masa depanmu?” tanya Raja Ragendra.
“Ya, saya mengerti, Paduka. Tetapi saya harus kembali ke desa tempat saya tinggal,” tolak Banyu lagi.
“Ya, baiklah, saya tidak bisa memaksa.” Raja Ragendra mengalihkan pandangannya kepada Teratai. Ia masih menatap putrinya itu dengan penuh rasa heran. “Teratai, adakah hal yang ingin kau jelaskan kepadaku?” tanya sang raja.
“Hal apa, Ayah?” tanya Teratai. Ia mengangkat kepala dan menatap sang ayah.
“Sejak kapan kau bisa ilmu bela diri?” tanya Raja Ragendra.
“Aku … itu hanya kebetulan saja, Ayah,” sahut Teratai. Ia tak menyangka ayahnya melihat adegan latihan yang baru saja dilakukannya bersama Banyu.
“Tetapi kau terlihat cukup mahir. Apakah ada hal yang kau sembunyikan?” selidik Raja Ragendra sambil menyipitkan matanya.
“Tidak, Ayah. Ini semua karena Banyu. Ia sama sekali tak melawanku,” jawab Teratai.
Raja Ragendra kembali menutup mulutnya. Ia masih mengamati Teratai yang tampak asing baginya. Sorot mata Teratai tampak jauh berbeda dari yang biasa dikenalnya.
“Kuharap kau tidak berbohong. Kalau ada yang kau sembunyikan dariku, dan aku mengetahuinya, maka aku akan memberimu pelajaran.” Raja Ragendra mengingatkan Teratai dengan nada suara yang berat.
Setelah menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya, Raja Ragendra memutar tubuhnya. Ia meninggalkan Teratai dan Banyu walaupun masih ada beribu pertanyaan dalam hatinya.