Sebelas

1496 Words
Hari demi hari berganti, suasana di istana kembali seperti biasa. Raja Ragendra sudah menghentikan penyelidikan mengenai kasus pencurian kotak perhiasan sang ratu. Ia juga meminta pengawal untuk membumihanguskan botol racun yang merupakan bukti tunggal untuk kasus tersebut. Walaupun masih terasa janggal, tetapi tidak ada satu warga istana yang protes terhadap keputusan yang diambil oleh Raja Ragendra. Banyu akan segera meninggalkan istana Kerajaan Akhilendra. Ia sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Raja memberikan beberapa hadiah untuknya, berupa jubah-jubah yang indah dan juga sekantung koin emas. Sebelum pergi, Banyu kembali menemui Teratai untuk mengucapkan selamat tinggal kepada gadis yang baru saja menjadi temannya itu. Ia pun merasa berat meninggalkan Teratai karena posisi gadis itu sangat tidak menguntungkan di istana. “Tera, aku akan segera meninggalkan istana,” pamit Banyu sambil tersenyum kepada Teratai yang sedang duduk bersama Galuh. Teratai sedang diajari membaca aksara yang sama sekali tak dipahaminya. “Baiklah, Banyu. Kau harus berhati-hati di perjalanan,” sahut Teratai sambil menengadah melihat Banyu yang berdiri di hadapannya. “Aku harus pamit kepada ayahmu,” ucap Banyu. Sebuah buntalan kain dijinjing di pundak pria yang berusia 19 tahun itu. “Ya, mari kuantar untuk bertemu dengannya.” Teratai dan Banyu berjalan dari alun-alun menuju ruang kerja sang raja. “Hei, tunggu!” ujar Putri Malika. Teratai dan Banyu menghentikan langkah. Mereka berbalik dan melihat Putri Malika yang sedang berlari-lari kecil menghampiri. “Ada apa, Malika?” tanya Teratai sambil menatap adik tirinya yang sudah tampak cantik dengan jubah berwarna kuning muda. “Mau kemana kalian?” Putri Malika balik bertanya dengan napas yang tersengal-sengal. “Banyu ingin berpamitan dengan ayah. Dia akan kembali ke desa,” jawab Teratai. “Mmmm … Banyu, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Putri Malika sambil mengamati wajah Banyu yang terlihat tampan di matanya. “Ya, ada apa, Nona?” Banyu menaikkan kedua alisnya. “Apakah kau benar seorang pedagang buah?” selidik Putri Malika. “Ya, tentu saja benar,” jawab Banyu dengan nada meyakinkan. “Apakah ada yang salah dengan diriku?” tanya Banyu sambil menunduk mengamati dirinya sendiri. “Tidak, aku hanya penasaran. Dengan jubah yang kau pakai itu kau terlihat seperti bukan orang biasa.” Putri Malika menyipitkan matanya. Ia mulai curiga dengan status Banyu. “Nona, jubah pemberian Raja Ragendra memang sangat indah. Aku saja hampir tak mengenali diriku sendiri,” ujar Banyu sambil tersenyum dan mengibaskan ujung jubahnya yang berwarna hitam. “Jadi … kau benar-benar tidak sedang menyamar?” selidik Putri Malika lagi. “Tidak, Nona. Aku hanyalah orang biasa yang beruntung bisa bertemu putri-putri cantik dari kerajaan ini.” Banyu kembali mencoba meyakinkan Putri Malika. “Malika … mengapa kau hanya bisa berprasangka buruk terhadap orang lain?” dengus Teratai kesal. “Tera, kau sudah pernah membawa pria asing masuk ke istana ini. Apakah ini strategi barumu dengan mengaku sudah diselamatkan oleh Banyu?” tanya Putri Malika sambil tersenyum sebelah. “Oh, ya, siapa pun di istana ini sudah mengetahui sikapmu yang tak tahan melihat pria tampan.” Putri Malika melipat kedua tangan di depan dadanya. Gayanya terlihat sangat angkuh. “Seandainya saja kau yang ada di pasar dan hendak dirampok saat itu,” sahut Teratai. “Tidak mungkin, untuk apa aku pergi ke pasar? Untuk mencari pria tampan sebagai pemuas nafsu? Hahaha … aku tak serendah dirimu.” Putri Malika tertawa sombong. “Kau?? Aku sedang tidak ingin berdebat, Malika.” Teratai mulai geram. Ia mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. “Benar ‘kan apa yang aku katakan? Buktinya … kau bisa sedekat ini dengan Banyu. Entah mengapa ayah percaya dengan perkataanmu.” Putri Malika masih menatap Banyu dan Teratai dengan angkuhnya. “Terserah apa yang kau katakan, aku tak peduli. Banyu, lebih baik kita tinggalkan gadis gila ini.” Teratai menarik tangan Banyu dan meninggalkan Putri Malika yang kesal. “Atau jangan-jangan kau sudah tidur dengan pria itu? Sangat rendah seleramu, Teratai,” ledek Putri Malika dengan sedikit berteriak. Para pelayan yang lalu lalang tak berani mengangkat kepala walaupun mereka penasaran. Teratai menghentikan langkahnya. Ia melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Banyu. Teratai memutar tubuh dan berjalan dengan langkah lebar mendekati adik tirinya. “Apa katamu? Bisa kau ulangi sekali lagi?” tanya Teratai geram. “Kau pasti sudah tidur dengan pria itu. Seleramu sungguh rendah, bisa-bisanya kau memengaruhi ayah agar menjadikan pria itu sebagai orang yang terhormat.” Putri Malika menatap Teratai tajam. Plakkk “Kau??” Putri Malika mendelikkan matanya tak percaya. Plakkk “Teratai, kau sangat kurang ajar!” decak Putri Malika sambil memegangi pipi kirinya yang memerah akibat tamparan Teratai. “Mengapa? Kurang ajar katamu? Bukankah mulutmu yang sudah kurang ajar?” Teratai mencengkeram dagu Putri Malika dengan tangan kanannya. “Jangan lagi bicara buruk tentangku. Kalau kau masih keras kepala, aku akan memberimu pelajaran yang lebih menyakitkan dari sekadar tamparan. Mengerti?” ancam Teratai. Putri Malika meringis kesakitan. Dengan kedua tangannya ia mencoba melepaskan cengkeraman tangan Teratai. Namun, semakin ia mencoba, semakin kuat cengkeraman kakak tirinya itu. Banyu pun mendekat. “Teratai, kau bisa melukai adikmu sendiri,” ucap Banyu pelan. “Ini sebagai hukuman buat dia karena sudah berani meragukan kebaikanmu.” Teratai tetap mencengkeram dagu Putri Malika. “Ada apa ini? Mengapa kalian ribut-ribut?” tanya Sasmita, ibu Teratai. Wajahnya terlihat panik. Teratai tak menghiraukan ibunya. Ia makin menambah kekuatan cengkeramannya di dagu Putri Malika. Adik tirinya itu mulai menangis karena kesakitan. Ia terus mencoba menarik tangan Teratai. “Teratai, lepaskan!” Sasmita menarik tangan Teratai. “Mengapa Ibu membela orang yang sudah melecehkan anakmu sendiri, Bu?” tanya Teratai kepada ibunya. “Sudah kubilang, kau harus berlaku baik kepada Putri Malika. Biar bagaimanapun dia adalah adikmu. Cepat lepaskan!” Sasmita kembali menarik tangan Teratai. Teratai mengeratkan rahangnya. Ia sangat kesal karena ibunya tetap membela Putri Malika. Ia mendorong Putri Malika lalu melepaskan cengkeramannya. Putri Malika mundur beberapa langkah dan terjatuh. Sasmita menghampirinya dan menolongnya untuk kembali berdiri. “Aku akan mengatakan ini kepada ayah. Kau sangat kurang ajar kepadaku. Kau pasti akan diusir dari istana ini!” geram Putri Malika sambil mengusap dagunya yang memerah. “Silakan, kau bisa bilang apa saja pada ayah, aku tak peduli,” jawab Teratai dengan nada tak kalah angkuh. “Ayo, Banyu, aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan orang-orang picik seperti mereka.” Teratai kembali menarik tangan Banyu. Mereka berdua berjalan berdampingan menuju ke ruang kerja sang raja. “Teratai, aku khawatir kau akan dihukum oleh ayahmu,” ucap Banyu. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat Putri Malika yang masih meringis sambil memegang dagunya. Sasmita menggandeng lengan putri tirinya itu dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. “Kau tak perlu khawatir, Banyu. Aku pasti bisa menghadapi ayah.” “Atau apakah lebih baik jika kau ikut denganku saja? Di sini sangat berbahaya untukmu, Tera,” tawar Banyu dengan nada penuh kekhawatiran. “Hah, yang benar saja, Banyu. Mana mungkin aku ikut denganmu? Sudahlah, aku sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini. Lagi pula, aku ini anak kandung ayahku. Sejahat-jahatnya harimau, ia tak akan memakan anaknya sendiri.” Banyu menganggukkan kepalanya. Ia menyetujui ucapan Teratai dan mencoba untuk membuang kekhawatirannya. Tok tok tok Teratai mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Ia kemudian mendorong pintunya yang tak terkunci. Raja Ragendra sedang menulis di sebuah kertas yang berwarna kekuningan. “Paduka,” panggil Banyu sambil membungkukkan tubuhnya. “Ya, Anak Muda. Ada apa?” tanya Raja Ragendra. “Saya pamit kembali ke desa, Paduka,” ucap Banyu. “Pergilah, semoga kau beruntung dengan pekerjaanmu.” “Terima kasih, Paduka.” Setelah mendapatkan restu dan izin dari sang raja, Banyu dan Teratai keluar dari ruang kerja Raja Ragendra. Teratai mengantar kepergian Banyu sampai ke gerbang yang dipenuhi pahatan berbentuk dewa-dewi yang dipuja oleh warga kerajaan Akhilendra. “Terima kasih untuk semua kebaikanmu, Banyu,” ucap Teratai. “Seharusnya aku yang berterima kasih. Aku tak pernah berani bermimpi bisa tinggal di istana seindah ini,” sahut Banyu. “Mohon maaf kalau ada yang menganggap buruk tentang dirimu. Aku yakin kau benar-benar tulus membantuku,” ucap Teratai lagi. “Tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak terganggu dengan ucapan Putri Malika. Kuharap kau akan mampir ke kedai buahku,” jawab Banyu sambil tersenyum. “Ya, aku pasti akan kembali mengunjungi kedaimu.” “Bawa pengawal bersamamu.” “Baiklah. Hati-hati di jalan,” ucap Teratai. Ia menangkupkan kedua tangan di dadanya sambil membungkuk kepada Banyu. Banyu membalas salam Teratai dengan melakukan hal yang sama. “Teruslah menjadi gadis yang kuat dan berani,” pesan Banyu. “Tentu.” Banyu membungkukkan tubuhnya sekali lagi kepada Teratai. Ia kemudian berjalan menjauhi gerbang istana yang megah. Teratai baru meninggalkan gerbang setelah Banyu lenyap dari pandangannya. “Kalau saja Banyuku yang dulu bertanggung jawab dan bertingkah dewasa seperti Banyu yang kukenal sekarang dan kalau saja Banyuku tak berselingkuh, mungkin aku tak perlu tinggal di istana yang dipenuhi orang-orang picik seperti di tempat ini.” Teratai bermonolog sambil terus berjalan melewati halaman istana. Ia mengangkat ujung jubahnya agar tak kotor terkena debu. Sesekali ia tersenyum sambil mengangguk, menjawab salam dari para penghuni istana yang sedang berlalu lalang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD