Ada sedikit rasa kehilangan dalam diri Teratai ketika Banyu benar-benar telah meninggalkan istana. Walaupun baru mengenal Banyu dalam hitungan hari, Teratai sudah merasa dekat dan akrab. Ia pun dapat memercayai setiap hal yang dikatakan Banyu. Dari gerak-gerik dan cara berbicaranya, Teratai yakin bahwa pria yang baru menjadi temannya itu adalah pria baik-baik.
Setelah mengantar kepergian Banyu, Teratai memanggil Galuh untuk ikut ke kamarnya. Ia ingin lanjut belajar mengenai aksara-aksara yang digunakan sebagai komunikasi tertulis di tempat ia tinggal sekarang.
Galuh masuk ke kamar Teratai dengan membawa sebuah gulungan yang berwarna kekuningan. Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah kursi yang terbuat dari anyaman bambu. Dengan telaten, Galuh mengajari Teratai untuk mengenal dan membaca aksara yang paling sederhana.
“Galuh, aku sangat malu. Masakan putri sepertiku tidak bisa membaca?” dengus Teratai kesal pada dirinya sendiri.
“Tidak apa-apa, Non Tera. Aku akan terus membantu Nona,” sahut Galuh.
“Sebelum aku kehilangan ingatanku, apakah aku bisa membaca dan menulis?” tanya Teratai kepada Galuh yang sedang menggulung kertas yang sedang dipegangnya.
“Tidak, Non. Nona tidak pernah diajari membaca dan menulis.” Jawaban Galuh membuat Teratai terheran-heran.
“Mengapa? Apakah aku termasuk orang yang malas dan bodoh?” tanya Teratai lagi. Dirinya yang sekarang sungguh berbeda dengan dirinya yang dulu berotak cerdas.
“Tidak, Nona. Nona hanya tidak pernah diberi kesempatan untuk belajar.”
Teratai mengangguk mengerti. Tak perlu dijelaskan lagi, Teratai sudah bisa mengerti alasan di balik itu semua.
“Apakah Putri Malika bisa membaca dan menulis?” tanya Teratai.
“Ya, Nona. Raja bahkan mengundang seorang guru terbaik di kerajaan ini untuk mengajarinya tentang banyak hal.”
“Apakah dulu aku pernah dilatih ilmu bela diri?” tanya Teratai lagi.
Galuh melihat Teratai dengan perasaan iba. Dia kasihan melihat nonanya yang tak dapat lagi mengingat sedikit pun dari masa lalunya. Ia masih percaya bahwa nonanya itu terkena amnesia akibat pukulan yang ia terima di kepalanya.
“Nona … Nona tidak pernah belajar ilmu bela diri.”
“Ohh ….” Teratai menganggukkan kepalanya pelan. “Galuh, coba ceritakan perihal diriku yang dulu. Apa benar aku ini adalah pengagum pria tampan?” tanya Teratai. Ia ingin memastikan perkataan adik tirinya.
“Nona … dulu Nona dikenal sebagai seorang putri yang bodoh karena tidak bisa membaca, menulis, dan ilmu bela diri. Nona juga dikenal sebagai putri yang genit karena Nona sering menggoda pangeran-pangeran tampan yang diundang ke kerajaan ini.”
“Apakah yang kau katakan itu benar, Galuh? Kau tidak sedang berbohong padaku, ‘kan?”
“Tidak, Nona. Apa yang aku katakan adalah benar. Seperti itulah orang memandang Nona di waktu yang lalu,” sahut Galuh meyakinkan Teratai.
“Oh, tidak.” Teratai menepuk dahinya. “Sebodoh itukah aku yang dulu?” gumamnya pelan. Dalam hati, Teratai mengutuki nasibnya yang harus mengalami kehidupan kembali dan masuk ke raga seorang putri yang bodoh dan tidak mempunyai kualitas yang baik.
“Nona, sepertinya kita harus bersyukur. Kalau bukan karena hukuman pukulan itu, Nona akan tetap menjadi seperti yang dulu,” ujar Galuh.
“Ya, kau benar, Galuh. Ternyata di balik semua kesialan yang aku alami, ada hikmah yang baik yang aku dapatkan,” sahut Teratai.
“Benar, Nona, dan aku lebih menyukai sifat Nona yang sekarang.”
Tok tok tok
Pintu kamar Teratai diketuk. Galuh bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati pintu. Belum sempat ia membuka, pintu kamar Teratai didorong dari luar. Lidya masuk dengan terburu-buru, napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru habis berlari.
“Nona … ini bahaya,” lapor Lidya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan.
“Lidya, ada apa? Duduklah dulu!” Teratai menarik lengan Lidya dan mengajaknya untuk duduk di sampingnya.
Lidya menelan ludah. Ia kesulitan untuk berbicara. Galuh menghampirinya dan mengusap pundaknya, mencoba memberinya ketenangan.
“Lidya, bicaralah! Kalau kau tak bicara bagaimana kami bisa tahu apa yang sedang terjadi?” ujar Galuh masih sambil mengusap pundak sahabatnya itu.
“Nona, Putri Malika mengadu kepada raja bahwa Nona sudah menamparnya.” Lidya berbicara dengan terburu-buru.
“Ohh ….” Teratai mengangguk pelan. Di wajahnya sama sekali tak nampak ada kepanikan.
“Non, mengapa Nona terlihat sangat tenang? Aku yakin sebentar lagi raja akan memanggil dan menghukum Nona.” Lidya menunjukkan kekhawatirannya.
“Kau tenang saja, Lidya.” Teratai memegang pundak Lidya.
“Tapi, Non, bagaimana kalau ….” Galuh tak melanjutkan ucapannya.
“Kalau apa? Kalau raja menghukumku? Sudahlah, aku akan menanggung akibat dari perbuatanku. Bukankah menerima hukuman adalah hal yang biasa bagiku? Hehe … paling tidak, aku sudah terlebih dahulu memberikan hukuman untuk Putri Malika.” Teratai terkekeh pelan. Melihat nona mereka yang sangat santai, Galuh dan Lidya pun menjadi tenang.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Galuh dan Lidya. Tak lama setelah mereka berbincang, dua orang pengawal memanggil Teratai untuk bertemu dengan ayahnya. Dengan ditemani kedua dayangnya, Teratai berjalan menuju kamar sang ayah. Teratai tak gentar, ia siap menghadapi hukuman apa pun yang akan diberikan oleh Raja Ragendra.
“Galuh, Lidya, kalian cukup menemaniku sampai di sini. Kalian tak akan diizinkan untuk masuk kamar ayahku.” Teratai menghentikan langkah di depan pintu kamar sang raja yang lebar.
“Baiklah, Nona,” jawab Galuh dan Lidya serempak. Mereka memutar tubuh dan berpamitan dengan Teratai, lalu meninggalkan gadis itu.
“Nona, silakan masuk. Paduka Raja sudah menunggu di dalam,” ucap pengawal sambil membungkukkan tubuh.
Teratai mengangguk. Pelan tapi pasti, ia mendorong pintu kamar ayahnya. Di hidupnya yang kedua, ini adalah kali pertama ia memiliki kesempatan untuk masuk ke kamar yang megah itu. Teratai melangkahkan kakinya. Di kamar itu sudah ada Raja Ragendra, Ratu Divya, Putri Malika, dan Selir Sasmita. Wajah mereka terlihat kesal.
Teratai terdiam. Ia mengamati sekeliling dan mengagumi kemegahan kamar ayahnya.
“Kenapa kau diam saja?” sergah Ratu Divya sambil menarik lengan Teratai.
Teratai tersentak. Ia mencoba melepaskan lengannya dari cekalan ibu tirinya.
Plakkk
Ratu Divya memberi sebuah tamparan keras di pipi kiri Teratai. Teratai meringis sambil memegang pipinya. Bisa dipastikan ada bekas jari sang ratu di pipinya yang mulus.
“Rasakan itu, Teratai. Dasar anak tak tahu diri. Kau hanya anak seorang selir, berani-beraninya kau memperlakukan putri penerus takhta kerajaan ini dengan tidak sopan!”
Ratu Divya kembali mengangkat tangannya. Wajahnya menggeram penuh amarah. Raja Ragendra diam dan membiarkan aksi sang istri. Putri Malika hanya menonton sambil melipat kedua tangan di dadanya, senyuman puas terbit di wajahnya. Selir Sasmita, ibu kandung Teratai, tak bergeming. Ia tak berani membela Teratai.
Dengan sigap, Teratai menangkap tangan Ratu Divya yang sudah terangkat hendak menamparnya. Ia menggenggam pergelangan tangan wanita itu dengan kekuatan penuh. Gigi Teratai bergemeretak menahan rasa marahnya. Dalam kehidupannya yang lalu, tak seorang pun berani menamparnya. Bahkan, ayah yang membencinya, tak pernah berlaku seperti itu kepadanya.
“Lepaskan!” perintah Ratu Divya.
“Mengapa aku harus melepaskan? Supaya kau bisa menamparku, hah?” Teratai memutar lengan Ratu Divya.
“Aww … sakit. Tolong lepaskan! Kau bisa membuat tanganku patah,” ucap Ratu Divya sambil meringis menahan rasa sakitnya.
Raja Ragendra dan Putri Malika tak tinggal diam. Mereka mendekati Teratai dan Ratu Divya. Raja Ragendra yang memiliki kekuatan berkali-kali lipat di atas Teratai, dengan sangat mudah melepaskan cengkeraman tangan anaknya di pergelangan tangan sang istri.
“Jangan sekali-kali bertindak kurang ajar, Teratai!” perintah sang raja sambil memegang tangan Teratai supaya gadis itu tak bisa melanjutkan aksinya yang sangat menyakitkan bagi Ratu Divya.
“Aku tidak akan bertindak kurang ajar jika tidak dipancing,” sahut Teratai geram. Ia mengibaskan lengannya sehingga terlepas dari cengkeraman sang ayah.
“Lihatlah, Sasmita! Putrimu ini tak tahu diri,” dengus Raja Ragendra. Sasmita berjalan tergopoh-gopoh mendekati Teratai. Ia tahu pasti dirinya juga akan tersudut dan dianggap tak bisa mendidik anak dengan baik.
“Ma-maaf, Rajaku. Ini semua salahku karena tak becus mendidik anak,” sahut Sasmita sambil tertunduk.
“Ibu … Ibu lihat sendiri ‘kan kejadiannya? Apa salah kalau aku memberi pelajaran pada Malika? Dia sudah sangat tidak sopan kepadaku, terlebih kepada Banyu yang adalah tamu kehormatan di kerajaan ini.” Teratai mencoba membela dirinya.
“Teratai, Ibu ‘kan sudah pernah bilang. Kau harus tetap menghormati Putri Malika dan Ratu Divya. Mengapa kau tidak pernah mau mengerti apa yang Ibu katakan?” tanya Sasmita sambil menyentak lengan Teratai.
“Ibu, apakah benar kau adalah Ibuku? Mengapa aku merasa kau memperlakukanku seperti orang asing?” Teratai balik bertanya. Kekesalannya sudah membuncah sampai ke ubun-ubun.
“Pokoknya kau harus menurut apa yang Ibu bilang!” perintah ibunya Teratai.
“Ayah, berikan dia sebuah hukuman, Ayah. Kalau Ayah tak menghukumnya, dia akan kembali melakukan kesalahan.” Putri Malika mencoba memengaruhi sang ayah.
Raja Ragendra diam. Ia masih mengamati Teratai yang sedang dinasihati dan dimarahi oleh ibunya.
“Suamiku, benar apa yang dikatakan Malika. Kau harus menghukum Teratai supaya dia jera. Ini bukan yang pertama dia berani mengganggu putri kita.” Ratu Divya ikut-ikutan memengaruhi sang raja.
“Baiklah, aku akan memberinya hukuman,” jawab sang raja. Ia pun memanggil dua pengawal untuk masuk.
“Ya, Paduka,” ucap kedua pengawal yang baru saja dipanggil.
“Bawa Teratai ke gubuk hukuman. Kurung dia di sana selama tiga hari. Pastikan tidak ada yang memberinya makanan dan minuman. Aku ingin tahu, seberapa besar kekuatannya. Jika dia bisa keluar dalam keadaan utuh, maka dia akan dibebaskan.
Pengawal mengangguk mengiyakan. Teratai dengan nanar menatap sang ayah. Walaupun separuh dari darahnya mengalir di tubuh Teratai, itu tak bisa membuatnya menyayangi Teratai layaknya para ayah yang lain. Pengawal menggiring Teratai menuju gubuk yang terbuat dari anyaman bambu. Di tempat itu jugalah Teratai pertama kali menyadari bahwa ia sudah memasuki raga dari gadis yang lain.
“Hahaha … kau memang harus merasakan akibat dari perbuatanmu sendiri.” Putri Malika meledek Teratai yang sedang berjalan meninggalkan kamar sang ayah.
Teratai mengabaikan perkataan adik tirinya. Ia tak melawan ketika raja memberikannya hukuman. Satu tekad dalam diri Teratai, ia harus bertahan walaupun harus berpuasa selama tiga hari. “Setelah ini aku akan membalaskan dendam si pemilik raga ini,” batin Teratai.