Teratai kembali masuk ke gubuk hukuman. Gubuk tersebut sangat sempit, hanya berukuran 2 x 2 meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, berlantaikan kayu. Bentuknya seperti rumah panggung. Jarak antara lantai dan tanah sekitar 1.5 meter.
Baru beberapa waktu lalu Teratai keluar dari gubuk tersebut, kini dia harus memasuki tempat itu lagi. Dengan langkah pelan, Teratai menaiki tangga dan kemudian masuk ke dalam gubuk. Pengawal lalu mengunci pintunya dari luar. Adalah hal yang mudah jika Teratai ingin memporak-porandakan gubuk tersebut, tetapi penjaga yang bertugas di luar adalah pengawal-pengawal yang terkenal dengan kekejamannya. Tubuh mereka pun besar bak algojo.
Teratai duduk di lantai kayu. Ia menyandarkan tubuh di tiang yang terdapat di tengah-tengah gubuk tersebut. Dalam diam, ia kembali mengingat semua runtutan kejadian yang telah menimpanya. "Tragis sekali nasibku," gumam Teratai pelan. Ia lalu menyandarkan wajah di kedua lututnya yang tertekuk.
Waktu terus berjalan. Detik berubah menjadi menit dan menit pun sudah berubah menjadi jam. Cahaya yang sedari tadi menyelinap masuk melalui celah-celah bambu kini pun pudar. Dalam kegelapan, Teratai berdiri dan mengelilingi seisi gubuk untuk menghilangkan rasa jenuh.
Suhu di dalam gubuk pun menurun, menjadi lebih dingin. Teratai mulai merasakan lapar dan haus. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Teratai pun membaringkan tubuhnya yang perlahan mulai merasakan lemas. Kedua lengannya ia gunakan sebagai bantal. Teratai menutup mata, berharap bisa segera tidur.
Sunyi, sepi, hanya suara hewan-hewan liar yang terdengar berkeliaran di luar gubuk. Masih dengan mata terpejam, Teratai memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa bertahan dalam keadaan yang dihadapinya saat ini.
Lelah berpikir, Teratai pun tertidur. Di pertengahan malam, seorang sosok wanita paruh baya hadir di dalam mimpinya.
"Wahai, Anakku, kau harus kuat menghadapi ujian ini. Gunakanlah waktumu untuk bersemedi, berdoa, dan fokuskan diri pada tujuanmu. Gosokkanlah cincinmu pada bekas luka yang ada di dadamu. Niscaya, kau akan bisa menembus dinding ini tanpa pengetahuan siapa pun." Wanita paruh baya itu pun mengusap lembut puncak kepala Teratai dengan penuh kasih sayang. Selain Banyu, kekasihnya dulu, belum ada seorang pun yang memperlakukan Teratai dengan penuh kasih sayang seperti yang dilakukan wanita itu.
"Kau harus kuat, Anakku. Jika kau bersikap tulus, maka kau akan keluar dari situasi ini." Wanita itu kemudian menghilang setelah memberikan pesan kepada Teratai.
Teratai terbangun karena sudah mengalami mimpi yang aneh. Ia langsung duduk tegak dan merapikan rambut yang menutupi wajahnya. Ia mencoba mengingat wajah wanita paruh baya yang baru saja hadir di mimpinya.
"Siapa wanita itu? Apakah yang dikatakannya hanya bunga tidur saja?" gumam Teratai. Ia tak bisa memercayai begitu saja isi mimpinya.
Teratai mengamati cincin yang melingkar di jari telunjuknya. Sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bambu menjadi satu-satunya sumber cahaya. Teratai masih ingat, cincin yang dipakainya itu sudah menemani hidupnya selama beberapa tahun sebelum kematiannya. Kala itu, ia mendatangi sebuah toko barang antik bersama Ratna, sahabatnya yang juga berprofesi sebagai dokter. Mereka juga sempat memperebutkan cincin itu karena keunikannya. Namun, Teratai dapat membujuk Ratna untuk membiarkannya memiliki cincin itu. Alasannya adalah karena bentuk mata cincin itu adalah bunga teratai, sama seperti namanya.
Teratai pun menjadi semakin penasaran akan mimpinya. Ia mencoba apa yang disarankan oleh wanita dalam mimpinya. Teratai menurunkan jubah sampai dadanya sedikit terbuka. Ia pun mendekatkan cincinnya ke bekas luka tembakannya yang bentuknya menyerupai kelopak bunga teratai.
Dengan jantung yang berdebar-debar, Teratai mulai menggosokkan mata cincin ke bekas lukanya. Beberapa kali mencoba, tak ada perubahan. Teratai masih berada di dalam gubuk. Gadis itu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. "Ya, Dewa, kiranya engkau berkenan membantuku." Teratai merapalkan doa pendeknya.
Setelah memanjatkan doa, Teratai kembali mencoba menggosokkan mata cincin di dadanya. Setelah beberapa saat, ia mulai merasakan sesuatu yang janggal. Ia merasa tubuhnya menjadi seringan kapas. "Apa yang terjadi? Apa benar aku bisa menghilang?" tanya Teratai pada dirinya sendiri.
Teratai mencoba memegang tiang yang ada di tengah-tengah gubuk. Seperti angin, tangannya dapat menembus tiang tersebut. "Ternyata benar apa yang dikatakan wanita itu," ucap Teratai. Tubuhnya pun mulai melayang, mengambang di udara. Ia mendekati pintu yang tertutup rapat.
Teratai menerobos pintu dan keluar dari gubuk kecil tersebut. Para penjaga masih berdiri kokoh seperti tak mengenal lelah. Ia mencolek pinggang salah satu penjaga yang bertubuh paling besar. Pria itu merasa kegelian. Ia melihat penjaga yang ada di sampingnya.
"Mengapa kau menggelitikiku?" tanya si penjaga tersebut.
"Apa maksudmu? Siapa yang menggelitikimu?" sahut penjaga lainnya.
Teratai tertawa melihat kedua penjaga yang sedang kebingungan. Ia pun mengambil dedaunan yang ada di tanah dan menghamburkannya di atas kepala kedua penjaga yang masih bersitegang itu.
"Apa-apaan ini?" tanya salah satu penjaga.
“Aku juga tidak mengerti. Siapa yang melakukan ini?" Penjaga yang satunya lagi ikut bertanya. Ia menepis dedaunan yang berhamburan di atas kepalanya.
"Apakah mungkin di sini ada hantu?" kedua penjaga tersebut saling bertatapan sambil memegangi tengkuk mereka masing-masing.
"Ya, sepertinya di sini ada hantu." Keduanya bergidik ngeri.
Teratai kembali terkekeh. Ia meninggalkan para penjaga yang masih memasang wajah ketakutan. "Dasar, ternyata nyali kalian tak sebesar badan kalian," gumam Teratai.
Teratai berjalan menuju ke dalam istana. Kakinya tak lagi menapak ke tanah. Tujuan pertamanya adalah dapur. Suasana dapur istana sangat sepi. Hanya beberapa obor masih menyala untuk menerangi. Teratai mengambil sisa makanan yang masih tersedia di sana. Dengan cepat, ia menikmati makanan tersebut. Ia mengendap-endap memastikan supaya tak ada seorang pun yang melihat piring yang mengambang di udara.
Setelah perutnya kenyang dan rasa hausnya hilang, Teratai memilih untuk kembali ke gubuk hukuman. Ia tak mau mengambil resiko jika para penjaga menemukan bahwa ia tak ada di dalam gubuk itu.
Sebelum masuk, Teratai mengisengi para penjaga. Ia menarik janggut para penjaga sampai mereka meringis kesakitan. "Hehehe ...." Teratai tertawa. Ia pun menerobos masuk ke dalam gubuk.
Di dalam gubuk, Teratai duduk bersila. Ia menggosokkan mata cincin ke bekas luka yang ada di dadanya. Tubuhnya kembali seperti semula. Ia tersenyum puas karena mendapatkan satu kemampuan baru. "Luar biasa kehebatan cincin ini. Sungguh beruntung aku memilikinya," ucap Teratai sambil mengamati cincinnya.
Tiga hari dihabiskan Teratai di gubuk hukuman. Dengan bantuan dari cincin keramatnya, ia sama sekali tak menemukan kesulitan apa pun. Jika Teratai merasa bosan, lapar, dan haus, ia menggunakan kemampuannya untuk keluar dari gubuk. Beruntung setiap penjaga masuk, Teratai sedang berada di dalam gubuk. Di tempat itu, ia juga melakukan semedi untuk menenangkan pikirannya.