Perhatian El Pada Shafa

2055 Words
Shafa mengerjapkan matanya perlahan saat tepukan lembut ia rasakan di punggung tangannya. "Sudah sampai, Pak? Maaf saya ketiduran," ucap Shafa lalu membenarkan posisi duduknya. Wanita itu lalu menatap sekelilingnya. "Kita ngapain ke hotel Pak?" tanya Shafa menatap El meminta penjelasan. Pasalnya tadi Shafa meminta El mengantarkannya ke tempat sang sahabat. Ya, malam ini Shafa berencana akan menginap disana karena tak mungkin Shafa pulang ke rumahnya malam ini. "Saya udah booking hotel buat kamu istirahat malam ini," jelas El membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya. "Ayo Fa," ajak El kemudian. Shafa tampak tertegun sejenak, untuk apa El sampai memesan kamar hotel untuknya. "Lho Pak, saya kan bisa menginap dirumah." Ucapan Shafa terputus saat El memajukan kepalanya tepat di depan wajah Shafa. Dari jarak dekat seperti ini Shafa dapat merasakan hembusan nafas beraroma cool dan mint yang begitu menyegarkan dari pria itu. "Mau tidur di hotel sendiri atau saya temani?" El pun tampak mengangkat sebelah alis matanya. Shafa tampak menelan susah salivanya. "Saya sendiri aja Pak, kalau gitu saya turun sekarang," ucap Shafa tergagap. Tak menunggu lama wanita itu lalu turun dari mobil dan memasuki lobi hotel, setelah sebelumnya El tengah mengirim pesan pada ponsel Shafa terkait bukti reservasi hotel. El menggelengkan kepalanya lalu tersenyum tipis. Entah mengapa wajah gugup Shafa barusan membuatnya menjadi gemas. Andai Shafa bukan istri orang mungkin saat ini juga El akan mengajaknya bermalam bersama di hotel tersebut. Setelah memastikan Shafa masuk ke dalam pria itu lalu kembali melajukan kendaraannya menuju apartemen, tempat tinggalnya selama ini. *** Pukul enam pagi El pun sudah berada di hotel tempat Shafa menginap semalam. Pria itu sengaja menjemput lebih awal karena pagi ini mereka akan melakukan perjalanan dinas menuju kantor Kejaksaan Negeri Karawang. "Fa, kita sarapan dulu," ucap El lalu melirik jarum jam di pergelangan tangannya. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit, masih ada waktu tiga puluh menit untuk mereka mencari makan lebih dulu, sebelum nanti melanjutkan perjalanan menuju kejaksaan negeri Karawang. Shafa yang nampak tak bersemangat hanya menganggukkan kepalanya cepat sebagai jawaban. "Kita mau sarapan apa, Pak?" tanya Shafa pada rekan kerjanya itu, dalam hati ia terus berkata tak boleh bersikap cuek pada El, sebab pria itu tidak terlibat masalah apapun dengannya, dan tak seharusnya Shafa melampiaskan rasa marahnya pada Dion dengan bersikap acuh pada El Karena biar bagaimanapun El ini sudah sering berbuat baik padanya. "Kamu maunya makan apa, Fa?" bukan menjawab El malah balik bertanya. Pria itu lalu melirik ke arah Shafa sekilas. "Apa saja saya mau, Pak." Jika tidak memikirkan kesehatannya Shafa sendiri enggan mengisi perutnya, bahkan sejujurnya Shafa pun ingin menghabiskan waktunya untuk menangis seorang diri. Namun, Shafa tak sebodoh itu ia tak boleh terlihat lemah dimata siapapun. Shafa harus kuat dan mempunyai pertahanan diri agar ia tak mudah di hina atau di injak-injak harga dirinya oleh orang lain. El pun mengangguk paham. "Ayo ikut saya, kita sarapan pagi dulu," El membuka pintu mobilnya dan berjalan keluar, mengajak Shafa menuju sebuah kedai makan. Shafa pun mengangguk, ia lalu mengikuti langkah kaki El dari belakang. di sana El pun langsung memilih sebuah tempat duduk paling belakang yang berada di sudut ruangan. El memutuskan mengisi perut mereka pagi ini dengan sarapan semangkuk soto Kudus. "Dimakan Fa, kenapa melamun?" tanya El. Pria itu pun mengambil sepotong jeruk nipis lalu memerasnya tepat di atas mangkuk soto itu. Awalnya Shafa ingin bertanya, tapi melihat El yang mulai menyuapkan makanannya membuat wanita itu mengurungkan niatnya. "Iya Pak," jawabnya singkat lalu mulai memakan sarapan paginya, rasa makanan itu masih sama. Pahit dan hambar sama seperti hubungan rumah tangganya dengan Dion. Suasana menjadi hening, tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga setelah El menyelesaikan sarapan paginya pria itu pun kembali bertanya. "Ada sesuatu yang mau kamu tanyakan, Fa?" tanya El tepat sasaran. Bukan tanpa alasan sedari tadi sebenarnya El sudah mengamati gerak-gerik Shafa yang terlihat gelisah dan seperti ingin menanyakan sesuatu hal. Shafa yang baru saja menyesap segelas teh hangat itu pun langsung mendongak, ia heran mengapa El bisa cepat tanggap seperti ini. Ah, Shafa lupa El kan seorang Jaksa tentu saja kemampuan mengamati lawan bicaranya sudah tidak diragukan lagi. "Saya mau nanya Pak." Shafa berucap ragu, haruskah ia menanyakan hal ini pada El. "Boleh, mau tanya apa?" El berucap tenang, ia lalu menatap dalam manik mata wanita di depannya ini seolah memberikan sinyal bahwa El siap mendengarkan semua ucapan Shafa. "Pak, apa yang harus saya lakukan jika saya ingin menggugat cerai suami saya di pengadilan?" pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibir Shafa, sejak semalam ia terus berpikir langkah apa yang harus Shafa lakukan untuk mengajukan gugatan perceraiannya di pengadilan karena jujur Shafa tak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Tak punya orang tua apalagi sanak saudara. Shafa benar-benar hidup sebatang kara. El membulatkan matanya ketika mendengar ucapan Shafa barusan. "Kamu mau cerai sama suami kamu?" tanya El memastikan sekali lagi, berharap pendengarannya kali ini tidak salah. Oh Tuhan jika kabar ini benar bolehkah ia bersyukur? Wanita yang ia sukai akan bercerai dengan suaminya. Bolehkah El bahagia dan berpikir ini merupakan salah satu cara Tuhan menyatukan dia dengan Shafa. Shafa tidak menjawab, ia malah terlihat diam dan menundukkan kepalanya. Apakah keputusan sudah benar bercerai dengan Dion? Mengapa rasanya berat sekali. Sejujurnya Shafa pun masih sangat menyayangi suaminya itu, ia tidak ingin berpisah tapi pengkhianatan yang Dion lakukan benar-benar membuatnya sakit hati. Setelah diam cukup lama, kini Shafa pun tersentak saat merasakan sesuatu mengenai bibirnya. Ia pun mendongak kepalanya cepat. "Pak," ucap Shafa tergugup saat melihat El sudah berada tepat di depannya dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat. "Maaf, ada nasi di sudut bibir kamu." El lalu menunjukan sebutir nasi di ibu jarinya. Pria itu lalu mendudukkan dirinya lagi di atas kursi. Shafa terlihat menundukkan kepalanya lagi. "Makasih Pak." Entah mengapa jantung Shafa pun mulai berdegup kencang, setelah melihat perhatian kecil yang El berikan padanya tadi. Sesuatu hal yang tidak pernah ia dapatkan dari Dion selama ini. Shafa langsung menggelengkan kepalanya cepat, tidak mungkin ia terpesona dengan El tapi, jika dipikir siapa pula yang mampu menolak pesona El. Pria tampan dengan sejuta kharisma itu. "Astaghfirullah, inget dosa Shafa. Ingat Lo itu udah punya suami," gumam Shafa dalam hati, saat pikiran itu datang lagi. Pikiran untuk menyukai pria lain selain suami nya. "Kamu pusing, Fa?" tanya El begitu perhatian. Bahkan pria itu pun terlihat sedikit khawatir saat mengucapkan hal itu. "Tidak demam," gumam El kemudian menurunkan tangannya dari kening wanita itu. Shafa kembali tersentak saat merasakan punggung tangan El kembali menyentuh kulitnya. Wanita itu reflek mendongakkan kepalanya menatap pria itu. "Nggak Pak." Shafa tergugup saat mata mereka bersibobok saling menatap satu sama lain dalam diam. Hingga di menit berikutnya Shafa pun tersadar dan langsung membuang pandangannya ke arah sekitar. Menghindari tatapan pria itu. El tampak mengulas senyuman tipis melihat wajah Shafa yang terlihat gugup itu. "Ayo, kita harus segera kembali ke kantor," ucap El lalu berdiri, pria itu memilih berjalan lebih dulu menuju parkiran. Sementara Shafa masih terpaku di tempatnya. Jantungnya kembali berdegup kencang saat tadi dengan sengaja El mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Wanita itu kembali tersentak dan tersadar tak seharusnya Shafa seperti ini. Ia seorang wanita bersuami tak seharusnya terlihat murahan seperti ini. Memejamkan matanya sekilas Shafa pun mencoba menetralkan detak jantungnya yang tak beraturan itu. Jika seperti ini apa bedanya dia dengan Dion? Si pengkhianatan itu. *** Pertanyaan Shafa tadi siang terpaksa terhenti lantaran mereka harus kembali melanjutkan pekerjaannya. Pukul empat sore saat semua pekerjaan sudah selesai Shafa pun hendak beristirahat dan masuk ke dalam kamarnya. Ya, El dan Shafa memang sengaja memesan dua kamar hotel, sebenarnya bisa saja Shafa langsung kembali pulang ke Jakarta, namun, El melarangnya dan berkata akan memakan waktu yang lama dan keesokan harinya akan membuat tubuh kelelahan sehingga tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Shafa pikir-pikir ucapan El ada benarnya juga, alhasil wanita itu pun menurut untuk tinggal di hotel selama tiga hari. Setelah selesai membersihkan diri, Shafa lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sejenak pandangannya menatap langit-langit kamar hotel itu, sejak kepergian dirinya dari rumah itu bahkan Dion tak pernah sekalipun menghubungi atau mencari keberadaan. Shafa tersenyum getir, haruskah ia terus berharap pada pria yang sama sekali tak pernah menghargai keberadaannya? Lagi-lagi air mata Shafa pun menetes tanpa permisi, hatinya kembali rapuh, Shafa masih tak menyangka Dion tega mengkhianati nya bahkan selama dua tahun lamanya. Lalu apa saja yang sudah mereka lakukan selama ini di belakang Shafa? tidur bersama? Memadu kasih? Oh Tuhan Shafa benar-benar tidak sanggup membayangkan nya lagi, sudut hatinya berdenyut nyeri manakala mengingat Dion tidak pernah bersikap manis padanya selama ini. Bertolak belakang dengan apa yang ia lihat saat di restoran malam itu, sikap manis Dion terhadap wanitanya. Mendesah nafasnya kasar Shafa pun kembali melihat satu aplikasi chat di ponselnya. Online itu yang Shafa tangkap pertama kali saat melihat nomor sang suami. Tapi mengapa pria itu tak juga menghubungi nya atau mencari keberadaannya? Setidak penting itukah Shafa untuk Dion? atau suaminya itu senang manakala tahu Shafa kabur dari rumah? dengan begitu ia bisa bebas bertemu dan menjalin hubungan dengan selingkuhannya itu. Shafa menggelengkan kepalanya heran, bisa-bisanya ia masih berharap pada Dion yang jelas-jelas sudah mengkhianati nya. "Kamu jahat Mas, aku benci." Shafa kembali menangis tersedu-sedu, apa yang diharapkan dari pria itu? sebuah kesetiaan? tidak mungkin jelas-jelas Dion sudah mengkhianati cintanya. Suara bel begitu nyaring, seseorang tengah berada di depan kamar Shafa sekarang. Menghela nafasnya pelan Shafa pun langsung mengusap butiran air mata yang mengalir di kedua pipinya, ia lalu beringsut dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah pintu. "Kamu udah tidur, Fa?" tanya El yang kini tengah berada di depan pintu kamar Shafa. Shafa menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kaku. "Belum Pak, ada apa ya Pak?" tanya Shafa terlihat canggung. "Kamu mau temani saya, cari makan malam?" tanya El to the point. Pria itu lalu menatap lawan bicaranya penuh harap, semoga Shafa mau menemani makan malamnya. "Boleh Pak, kalau begitu saja ambil tas dulu." Tanpa pikir panjang Shafa pun mengiyakan ajakan El, sepertinya ia butuh menghirup udara segar agar tidak terus-menerus memikirkan Dion yang sama sekali tidak pernah memikirkan nya. El pun bersorak senang dalam hati, setelah mendengar jawaban iya dari Shafa. Merapikan sedikit penampilannya El ingin Shafa tak malu jalan dengannya. Kini keduanya pun sudah berada di alun-alun kota Karawang. El sengaja mengajak Shafa kesini, di samping ingin mencari kuliner yang enak pria itu pun ingin menghibur Shafa dari rasa sedihnya. El tahu beberapa menit yang lalu bahkan wanita itu baru saja menangis hal itu terlihat jelas dari mata sembab juga hidung mancungnya yang kemerahan. "Makasih ya Pak, saya ditraktir terus." Shafa yang memulai pembicaraan setelah keduanya tampak terdiam sesaat. Setelah menikmati makan malam mereka kini tengah menikmati udara malam di kota Karawang. El yang baru saja membalas pesan dari seseorang pun langsung menoleh. "Sama-sama, Fa," jawab Satya diiringi senyuman manis di bibirnya, bahkan senyuman itu pun khusus El persembahan hanya untuk Shafa. "Kamu sudah mengantuk?" tanya El saat melihat Shafa menutup mulutnya dan menguap. "Belum Pak, apa kita mau langsung pulang?" Dari nada bicaranya Shafa seolah mengatakan enggan balik ke kamar hotel, ia masih ingin menghirup udara malam yang terlihat menyejukkan kali ini. Mencoba mengusir penat yang hinggap di seluruh hatinya. "Jika kamu tidak keberatan kita bisa duduk disini dulu." El lalu memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku celananya, bahkan sebelumnya pria itu sudah menonaktifkan ponselnya. Bukan tanpa alasan malam ini El tak ingin siapapun mengganggu waktunya bersama Shafa, termasuk mama nya sendiri. Shafa pun mengangguk. "Iya Pak," jawab wanita itu singkat. "Shafa, boleh saya tanya sesuatu?" El mengubah posisi duduknya, pria itu terlihat memiringkan sedikit tubuhnya lalu menatap dalam dalam manik mata lawan bicaranya. "Apa Pak?" tanya Shafa tergugup, terlebih saat pria itu menatap lewat wajahnya tanpa berkedip. Entah mengapa Shafa kembali merasakan sudut hatinya berdetak halus. "Apa kamu masih mencintai suamimu?" tanya El tepat sasaran, setelah mendengar cerita dan keluh Shafa tadi pagi bolehkah El memiliki harapan yang lebih pada wanita cantik itu? bolehkah ia bermimpi menjadikan Shafa menjadi pendamping hidupnya? Hal ini harus El pastikan lebih dulu karena ia tak mau semua yang ia lakukan menjadi sia-sia di kemudian hari. "Saya." Ucapan Shafa terputus begitu saja saat mendengar suara seorang wanita yang terdengar begitu nyaring. Shafa pun menolehkan kepalanya melihat sosok wanita yang kini sudah berada di depannya. "Abang," panggil wanita itu begitu mesra. Tak lama wanita itu pun sudah mendudukkan dirinya tepat di samping El dengan tangan kanan yang sudah melingkar manis di lengan pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD