SEBUAH PERTEMUAN

1537 Words
Mentari di ufuk timur mulai bercahaya. Ia tak lagi malu-malu menampakkan wujudnya yang indah. Waktu telah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Di ranjang king size bernuansa industrial minimalist, seorang pria masih terlelap dalam tidurnya. Dengan posisi tengkurap tubuh atasnya terekspos tanpa sehelai benang, sementara tubuh bawahnya tertutup oleh selimut putih mulai dari pinggang. Entah sudah berapa banyak dering ponsel yang terabaikan karena si pemilik ponsel masih terlelap. Tak lama kemudian, seorang wanita berbalut bathrobe dengan gulungan handuk di kepala menyambar ponsel yang samar-samar terdengar sejak ia ada di dalam kamar mandi. “Astaga, Mas!” Wanita itu berdecak kesal. Ia meraih ponsel yang sudah tak berdering tersebut. Pandangannya tertuju pada angka missed call sebanyak lima puluh kali. ‘Jo?’ Tak butuh waktu hingga sambungan teleponnya terangkat di ujung sana. “Yes, Jo, ada apa?” “…” “Belum. Tuh, anaknya masih tidur.” “…” Asena menjauhkan ponsel dari telinganya ketika suara Jo memekik di ujung panggilan. “Santai, Jo! Gue bakal bangunin, kok.” “…” “Tapi gue ga janji, ya. Takutnya yang bangun malah adiknya,” goda Asena mencairkan kepanikan Jo yang terdengar di seberang telepon. Asena yang baru tahu bahwa sang kekasih ada jadwal syuting pagi, gegas membangunkan Abinawa dengan penuh kelembutan. Ia duduk di tepi ranjang sambil memandang wajah pria itu. Berikutnya ia mengecup kening, lalu mengoyakkan tubuh pria kekar tersebut. “Mas, bangun! Kamu ada syuting, lho!” Sekali panggilan, Abinawa hanya bergumam. Ia sedikit beringsut namun tak membuka mata. “Mas, waktu kamu cuma ada tiga puluh menit nih! Kalau ga, Jo bakal larang kamu nginep disini lagi,” terang Asena, memelas. “Hmmm.” Hanya sekali gumaman. Abinawa benar-benar tak membuka matanya. “Ayo, Mas, bangun!” “Udah bangun, babe.” Suara serak itu terlontar dari bibir Abinawa. Dahi Asena mengernyit. Matanya menyipit. Ah! dasar pria. "Astaga! Bukan itu maksud aku!" Asena tergelak. Bibirnya melengkung ke atas. Kalau saja ia tidak benar-benar mencintai pria itu, Asena akan memelintir telinga kekasihnya sangking gemas. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Asena menarik tubuh pria itu tergopoh-gopoh. “Kamu berat banget, sih!” Dengan tekad dan usaha, akhirnya Abinawa mengalah. Ia pun bangun. Matanya yang masih setengah terbuka, melihat pemandangan yang begitu indah di pagi hari. “Guten Morgen, Girl!" Cup! Sebuah kecupan mendarat di bibir wanita itu. Kemudian turun ke lehernya. “Eh!” Asena terkesiap. Bisa-bisa jika dirinya tetap duduk disana akan terjadi satu ronde pergulatan panas di atas ranjang. “Sudahlah, aku ganti baju dulu. Kamu jangan tidur lagi, ya!” “Siap, Nyonya!” Senyum mengembang dan Abinawa gegas bersiap-siap. *** Sejak pijakan kaki memasuki lokasi syuting, Ishya langsung beranjak menuju ruang tunggu miliknya. Seolah tak boleh ada yang mengganggu, Ishya meminta Neha untuk menempelkan sebuah sticky notes agar tak boleh ada yang masuk. Pun demikian sang kakak, Ishya meminta wanita itu menunggunya di tempat lain. Ia ingin sendiri. Masih ada waktu sekitar empat puluh menit sampai make up calling dilakukan. Ishya duduk di hadapan cermin dan menatap bayangan yang terlihat menyedihkan. ‘Hatimu terlalu murahan, Ishya. Gimana bisa jantungmu bergetar cuma karena lihat lelaki kaya dia? Apa istimewanya sih, huh?’ Segala pertanyaan berkelebat di otaknya. Bahkan script naskah yang ada di pangkuannya terabaikan begitu saja. Matanya masih menatap tajam. ‘Tok-tok!’ Dahi Ishya mengernyit. Siapa gerangang orang yang dengan polos mengetuk pintu sementara sticky notes terpampang nyata bahwa dirinya tak ingin diganggu. ‘Tok-tok!’ “Siapa?” Tak niat beranjak dari duduk, Ishya hanya menoleh, menatap daun pintu di belakangnya. “May I come in?” Suara yang tak asing terdengar menembus daun pintu tersebut. Samar namun jelas di telinga. Alis Ishya menyatu, menerka dengan wajah kebingungan. “Hmmm,” gumam Ishya sedikit keras. Kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok yang tak disangka akan ada di lokasi tersebut. Bibirnya menganga serta tubuhnya tanpa sadar bangkit dari duduk. Script naskah yang ia pegang, lantas diletakkan begitu saja di meja rias. Di udara mata mereka saling memandang. Cukup sepuluh detik berlalu, hingga senyuman dari sosok pria di sana membubarkannya. “Hai … Ishya, did you remember me?” Mata wanita itu memicing. Jelas, ia mengingatnya. “Pak … Aka—ra?” Saat sebuah nama meluncur dari bibirnya, sekelebat memori berputar di otak. Wanita itu terpegun. “Mau jalan-jalan ke pantai? Disini terlalu bising.” “Saya penggemar kamu.” Pertemuan mereka tidak hanya terjadi ketika reading. Ishya akhirnya menyadari mengapa wajah itu tak begitu asing baginya. Akara Emir, eksekutif produser yang membiayai proyek film sutradara Jun. Untuk apa pria itu menemuinya secara pribadi? ‘Ada apa?’ “Apa kabar?” “I’m good, Pak.” Ishya tahu bahwa pertanyaan itu hanya basa-basi semata. Langkah kaki Akara mulai mendekat. Dan masih dalam pijakan kaki yang sama, tangan Ishya kini bergetar. Melihat tatapan pria itu, Ishya jelas tahu apa yang diinginkan seseorang seperti Akara. Terlebih saat Ishya terngiang kembali bahwa Akara menyerukan dirinya sebagai seorang penggemar. Entah benar atau hanya obsesi semata. Rasanya Ishya terlalu trauma dengan kata ‘penggemar’. Namun, ia tak ingin berpikir negatif terhadap pria dewasa disana. Ishya dan Akara kini saling berhadapan dalam posisi yang begitu dekat. Sebuah pertemuan yang menggetarkan seluruh persendian tubuhnya. Ishya menatap penuh waspada. Dalam dunia hiburan, satu hal yang Ishya takutkan. Para petinggi yang memanfaatkan tubuh talent hanya untuk memuaskan hasrat mereka. Dan ya, tatapan Akara sejak pertama mereka berjumpa, jelas … memancarkan sebuah obsesi untuk bisa memilikinya. “Kamu ada waktu untuk saya sebentar?” Ishya terkesiap. Manik matanya memutar mencoba mencari alasan agar tidak berlama-lama bersama. Ishya meraih ponselnya, menatap waktu yang terpajang di halaman lockscreen. ‘Make up calling masih lama, gimana caranya bisa kabur.’ “Ishya?” tanya pria itu membuyarkan rencana di pikirannya. Entah mengapa, Ishya terkesan memandang Akara sebagai seorang maniak yang ingin menyakitinya. “Eung … tapi saya harus segera prepare, Pak.” Bohong. Ishya jelas tengah berkilah untuk bisa menghindar dari pria tersebut. Tak butuh waktu lama, Ishya pun berlalu. Namun, langkah kakinya tertahan ketika sebuah jemari mencekal pergelangan tangannya. “Lho! Mau kemana?” Akara menghentakan pergelangan itu, hingga Ishya terbelenggu dalam dekapannya. Dengan jarak yang sangat lekat, Ishya bisa menghidu aroma tubuh musk pria itu. Pun demikian detak jantung yang terdengar tak beraturan. ‘Jantungnya.’ Ishya sering membaca artikel bahwa salah satu penyebab jantung tak beraturan adalah akibat respons terhadap emosi yang kuat. Mungkinkah, Akara menahan emosi akibat sikapnya? Ishya semakin ketakutan. “Saya harus latihan, Pak.” “Tapi saya belum selesai bicara sama kamu. Apa kedatangan saya sangat mengganggu?” ‘Obviously!’ Ishya berteriak dalam hati. “Tidak, Pak. Tapi saya benar-benar harus—” Belum sempat Ishya menyuarakan ucapan lebih lanjut. Sebuah bibir telah membungkam mulutnya. Ishya terkejut. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Ia tak bisa mencerna maksud dari sikap Akara terhadapnya. ‘Lo harus jadi milik gue, Shya.’ Akara terobsesi untuk mendapatkan wanita yang kini ada dalam sentuhan bibirnya. Perlahan, Ishya terpegun. Namun, di detik berikutnya ia berusaha berontak. Telapak tangannya membentang di dadaa bidang pria itu untuk memberi mereka sedikit jarak. Sesekali, ia memukul dadaa tersebut untuk melepaskan diri dari belenggu sang produser. Namun, kuatnya kukungan otot pria itu, tak bisa dikalahkan oleh tenaganya yang sangat lemah. “Hmmmp!” Tak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah bergejolak, Akara memperdalam pagutan bibir yang membuat dirinya semakin terbuai. Ia mendorong tubuh Ishya hingga terpojok ke tepi meja rias. Sebelah tangannya bertumpu, sementara tangan lainnya menahan tengkuk wanita itu agar membalas ciumannya. Dengan mata terpejam, Akara menikmati rasa manis dari bibir ranum wanita itu. Sementara Ishya hanya bisa menangis. Kini, pipinya mulai dibasahi air mata. “I adore you so much, Ishya.” Bisikan disela ciuman panas itu, membuat bulu tengkuk Ishya semakin meremang. “I want you desperately!” ‘Dia sudah melecehkanku! Siapapun … tolong aku!’ *** Abinawa tiba di lokasi sepuluh menit sebelum jadwal briefing dilakukan. Setelah menyapa beberapa kru dan sutradara yang sibuk dengan tupoksinya masing-masing. Abinawa gegas menuju ruang tunggunya, tepat di sebelah ruang tunggu Ishya. Melewati beberapa anak tangga, kini Abinawa berjalan di selasar lantai atas. Saat langkah kaki itu melintasi ruang tunggu lawan mainnya, mata Abinawa memicing melihat ada seseorang yang tengah berjaga di depan ruang tersebut. “Robert?” Pria bernama Robert menoleh ke sumber suara. Di sisi kirinya, Abinawa terpegun di atas pijakan kaki, sambil memandangnya penuh tanda tanya. “Lo ngapain disitu?” “Eung … itu …” Melihat keanehan yang ditunjukan oleh raut wajah pria disana, semakin menimbulkan rasa penasaran. Abinawa melirik daun pintu dengan sticky note yang menempel. Lalu mendengar samar-samar kebisingan yang ditimbulkan dari dalam ruangan. ‘Jangan biarkan wanita itu terperangkap.’ Tiba-tiba ia teringat ucapan uncle Jun. Kakinya gegas mengikis jarak dan tak peduli Robert yang berusaha menghalangi. Syukurnya, lantai dua cukup lengang. Tak ada orang disana, karena para kru sibuk mempersiapkan alat di lantai dasar. Setelah menyingkirkan Robert yang tak bisa menyakiti dirinya, Abinawa membuka pintu tersebut dengan sekali hentakan. “I adore you so much, Ishya.” Bisikan disela ciuman panas itu, membuat bulu tengkuk Ishya semakin meremang. “I want you desperately!” “Hmmmp!” Suara desis wanita disana, cukup menohok pemandangan Abinawa. Tangannya tiba-tiba mengepal. “What are you guys doing there!” hardik Abinawa menatap tajam punggung sahabatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD