COMEBACK

1486 Words
Senja berganti malam. Siluet keorenan berubah warna menjadi awan hitam nan pekat. Seorang pria menyiku tangannya di sisi jendela sambil menopang dagu dan menatap keluar. Hening. Terlihat bahwa pria itu tengah termangu. Sementara sang asisten mengamati dari balik spion. “Kenapa, bro?” tanya sang asisten. “…” Tak ada jawaban, asisten tersebut semakin dihantui rasa penasaran. “Lo jadi jemput dia ‘kan?” “Eung?” Perhatian pria itu beralih. Tangannya tak lagi menyiku, tubuhnya tegak memandang tatapan di balik kaca spion. “Memang jadwal penerbangannya jam berapa, Jo?” Seseorang yang dipanggil dengan sebutan Jo, menatap lurus sambil mengingat pertanyaan itu. “Hmmm, maybe landing setengah jam lagi.” Kening pria lain mengkerut. Kemudian menyentuh layar smartwatch yang telah menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat. Mengingat arah mobilnya dengan bandara berlawanan, Abinawa meminta Jo memutar balik. “Kita ke Bandara!” perintah pria itu. “Oke.” Kecepatan mobil melaju diatas rata-rata. Jarak tempuh dari titik keberadaannya menuju bandara memakan waktu selama dua puluh menit, itu artinya Abinawa memiliki waktu lebih selama sepuluh menit untuk menanti kembalinya seseorang. ‘I miss you, girl.’ Senyumnya mengulum tipis. Abinawa meraih ponsel dari balik saku jaket jeans-nya, lalu memandang lock screen yang menampilkan wajah seorang wanita tengah tersenyum manis. Potret selfie dengan wajah bare face seolah membuat Abinawa semakin tak sabar bertemu dengan wanita tersebut. ‘It’s almost two years, babe!’ Tak lama, mobil berhenti di lobi kedatangan luar negeri. Abinawa gegas turun, sementara Jo melaju mencari parkiran. Tak lupa dengan topi, masker dan kacamata, Abinawa menyamarkan wajah serta identitasnya. Ia tak ingin, satu bandara histeris dengan keberadaannya disana. Abinawa melangkah setenang mungkin layaknya pengunjung. Kemudian ia menggerakkan kakinya ke arah pintu keluar terminal. Sekali lagi, Abinawa melihat smartwatch yang menunjukkan waktu dimana seharusnya wanita yang ia tunggu sudah mendarat. Abinawa terlihat tak sabar. Sudah hampir sepuluh menit ia mondar mandir di area itu sambil sesekali menatap pintu keluar. Tak lama kemudian, Abinawa melihat sosok yang begitu ia rindukan. Tangan kanannya melambai ke arah seorang wanita dengan setelan floral bodycon mini dress dilapisi coat cream sebatas betis. Sentuhan sepatu boots serta sunglasses menampakkan aura bintang yang luar biasa. Tak sedikit pengunjung yang menyadari bahwa wanita itu adalah bintang papan atas yang lama vakum. Sorot kamera ponsel, terlihat di beberapa titik, namun wanita itu tak pernah mempedulikan. Toh! Orang-orang kakaknya pasti sudah sigap menyelesaikan itu. Terbukti dengan tidak ada seorang pun yang berkutik ketika beberapa bodyguard memergoki mereka di setiap sudut, lalu memerintahkannya untuk menghapus unggahan foto dan video tersebut. “Hai!” sapa wanita itu ketika langkah kakinya tiba dihadapan Abinawa. Senyumnya mengembang saat masker yang menutupi wajahnya dibuka. “Hai …” Tak butuh waktu hingga wanita itu ada dalam pelukan seorang Abinawa. “I miss you, Asena,” ucapnya lirih. “Me too.” “Uhuk!” Seseorang batuk di belakang mereka. Sang asisten, Mirna, hanya sekedar mengingatkan bahwa mereka ada di tempat umum. Sebagai seorang bintang, tentu gerak-geriknya selalu menjadi santapan lezat para pemburu berita. Itu mengapa, Mirna tak setuju mereka berpelukan di muka umum. Ia hanya tak ingin sang artis terkena skandal. “Mesra-mesraannya di penthouse aja, yuk! Diliatin banyak orang tuh!” sindir Mirna. Asena dan Abinawa pun terkekeh pelan. *** Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Asena tiba di penthouse miliknya. Setelah melewati dinner bersama, Abinawa mengantar Asena tepat di unit yang sudah lama tak wanita itu tempati. Hampir dua tahun lamanya, kedua anak manusia telah menjalani long distance relationship karena Asena mengenyam pendidikan di sebuah sekolah akting ternama di New York. Demi reputasi sang kakak dan demi karir yang digeluti, Asena rela meninggalkan kebebasannya untuk bisa menjadi top artis manca negara. Padahal, tanpa mengasah kemampuannya berakting, Asena merupakan aktris yang paling berbakat. Namun, sebab adanya tuntutan yang besar, serta harapan yang tinggi dari sang kakak. Wanita itu pun harus kembali berjuang. Hingga Asena tumbuh menjadi independent woman yang penuh ambisi. “Gimana musim dingin di New York?” tanya Abinawa ketika memasuki foyer unit tersebut. Alas kakinya berganti selop lalu menarik koper itu masuk bersama langkah kakinya. “Biasa aja, Mas.” jawab Asena sambil meletakan sling bag di atas drawer kemudian mencari stop kontak. Sepersekian detik cahaya menerangi seluruh penjuru ruangan. Abinawa dapat menangkap sosok yang sudah jalan mendahuluinya. Lantas Abinawa menaruh koper di selasar ruang tamu. Dan ketika Asena belum sempat melangkah lebih jauh, Abinawa menarik tangan wanita itu dengan cepat. Kemudian menyudutkannya ke sebuah dinding. Matanya menatap lekat dan bibirnya melengkung ke atas. “Gimana dengan ini …” ucap Abinawa tertahan. Disaat yang sama pria itu mengulum bibir sang wanita dengan lembut, mengecap rasa manis dari liptint wanita itu. Sungguh rasanya sangat memabukkan. Asena tak mampu menolak. Meski tubuhnya terasa begitu lelah, namun, nalurinya menginginkan pria itu lebih dari apapun. Bibirnya terasa berkedut. Abinawa seolah menghanyutkan dirinya melalui ciuman hangat yang mendominasi. Setelah sekian lama terpisah jarak, mereka kembali merasakan gejolak yang memuncak. “I want you,” lirih Abinawa. Nalurinya sebagai pria kini mulai mengintimidasi. Tangannya bergerak menelusuri setiap pahatan indah di raga wanita itu. Entah sejak kapan, Asena tak sadar bahwa coat cream yang ia kenakan kini sudah tanggal, menyisakan floral mini dress yang membentuk tubuh indahnya. “You are so beautiful, Sena.” Abinawa menatap mata indah itu seolah hanya Asena, wanita yang bisa menaklukkannya. Di tengah keheningan malam, suara indah percumbuan dua anak manusia menggema, seperti bara yang mampu menyulut api asmara yang teredam. Semakin dalam terasa semakin menggetarkan jiwa. Pria itu kian menyibukkan diri, menuntaskan gejolak yang menumpuk di dalam raganya. Atmosfer ruangan pun seolah ikut memanas meski pendingin ruangan telah berada di titik suhu paling rendah. Gumam lirih serta sentuhan manis, membuat wanita itu tak sadar bahwa kini dirinya telah berada di puncak surga dunia. Tubuh mengejang dibersamai keringat yang mengucur diatas kulit membuat Asena terbuai. “I love you, Mas.” Tepat di telinga pria itu, Asena membisikkan kalimat cinta. *** “Ishya! Cepat kesini!” Neha dari lantai dasar unit apartemen bertipe loft itu berteriak hingga mengejutkan sang adik yang tengah bersiap-siap. Belum tandas aktifitas per skincare-an, Ishya harus menguraikan kegiatan itu. Jika tidak, Neha akan meneriakinya seperti saat ini. Masih dengan hotpants dan tanktop, Langkah kaki Ishya setengah berlari gegas menghampiri wanita itu. Dan ya, Neha cukup tahu bagaimana membuat orang lain senam jantung setiap pagi. Seperti saat ini, berteriak di pagi hari, ketika matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Beruntung, unit yang ditempati mereka kedap suara. Mungkin jika tidak, Neha akan menjadi korban pengaduan para tetangga. “Ada apa sih, Kak, pagi-pagi udah teriak!” Sambil berdecak kesal, Ishya menghampiri Neha yang baru saja selesai menyiapkan sarapan pagi. “Lihat deh!” Neha menyodorkan smartphone miliknya, menunjukkan sebuah thread di sosial media dengan hashtag trending topic Asena Lunara comeback. Bahkan lebih dari itu, beredar sebuah video singkat yang menampakkan pertemuan antara wanita itu dengan Abinawa di bandara. ‘Asena Lunara?’ “Dia sempat vakum karena lanjut studi … denger-denger, skill akting dia setara dengan Abinawa, lho!” “Hmmm.” Ishya hanya bergumam. “Dia juga bakal go international karena support kuat saudaranya.” Bukan senang dengan bisikan sang kakak, wajah Ishya seketika merengut. Ia tak suka, entah mengapa ada rasa cemburu di hatinya. Apakah Asena akan jadi saingan terberatnya? Ishya sungguh tak bisa memikirkan hal itu. “Jadi Kakak teriak sepagi ini, cuma buat kasih tau aku tentang …” Ishya seketika lupa siapa nama wanita tersebut. “Asena Lunara!” sambung Neha. “Nah, itu!” “Memangnya kenapa?” “Menurut Kakak?” Ishya tak ingin menanggapi. Hatinya panas. Sungguh! Jika ada termometer yang bisa mengukur seberapa panas hatinya, tentu derajatnya sudah melampaui batas maksimal. “Berhenti lihat hal-hal yang ga penting!” tegas Ishya seolah menirukan apa yang pernah sang kakak ucapkan. “Lho, mau kemana?” Melihat kepergian Ishya yang tiba-tiba, Neha bisa menyimpulkan bahwa adiknya jelas menaruh rasa pada pria itu. Cinlok? Neha menggedikkan bahunya. “Kamu cemburu ya, Shya?” Langkah kaki Ishya sudah menjauh. Mendengar pertanyaan Neha tentang perasaannya, tentu saja, Ishya merasa cemburu. Dengan wajah menekuk, Ishya menaiki anak tangga dengan lesu ‘Kenapa hati aku tiba-tiba sakit?’ Lima belas menit berlalu sejak keduanya meninggalkan unit. Dan saat itu pula, Ishya melamun. Tatapannya kosong memandang keluar jendela. Tiba-tiba Neha merasa bersalah karena membuat suasana hati sang adik memburuk. “Kamu beneran ga apa-apa, Shya?” tanya Neha sedikit ragu melontarkan pertanyaan itu. “Hmmm.” Ishya bergumam, malas memandang ke arah Neha yang duduk di kursi kemudi. “Maaf ya, kalau Kakak buat salah sama kamu,” ucap Neha yang dibersamai tatapan tajam sang adik. “Salah apa?” ketus Ishya. Atmosfer seketika canggung. Bahkan Neha tak berani menjawab pertanyaan menohok dari sang adik. ‘Ishya ga main-main ternyata.’ ‘Hari ini aku bakal ketemu sama orang itu dengan perasaan yang aneh. Mungkinkah aku bisa jalani syuting hari ini? Arrrggghhh!’ Ishya memandang keluar jendela sementara mobil melaju dengan sangat cepat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD