‘Lucu juga.’
Sepasang mata masih mengekori kemana wanita itu pergi. Bibirnya mengulum tipis. Langkahnya membawa pria itu kembali ke lokasi.
Semua talent sudah berada di posisinya sesuai blocking. Sutradara Jun bersama seorang script supervisor mengamati di balik monitor kecil. Sementara seorang clapper telah berdiri di depan kamera yang standby.
“Oke … ready?!”
Dengan toa yang menggema, Jun memberikan aba-aba. Sementara seorang kru mengacungkan jempol tanda semua sudah siap pada posisinya.
“Action!” timpal Jun memulai adegan berikutnya.
Internal. Ruang keluarga. Petang hari.
“Sorry, tadi aku sedang melihat-lihat,” ucap Juno ketika kembali bergabung di ruang tamu.
“Duduklah!” pinta sang ibu.
Setelah mereka berkumpul kembali. Tuan Adam menyimpulkan hasil diskusi perjodohan antara dua keluarga.
Kamera menyorot ekspresi calon kedua mempelai. Ishya tertunduk lesu. Sementara Abinawa diam tanpa ekspresi. Kamera dua menyorot melalui lintasan di belakang mereka agar menampilkan ekspresi talent yang lain.
“Juno … Yuna … walau kami tahu bahwa usia kalian masih terbilang sangat muda. Tapi kami ingin melihat kalian bersama. Jadi, kami sudah memutuskan bahwa pernikahan kalian akan dilangsungkan bulan depan.”
“Tapi Ayah, bukannya itu terlalu buru-buru?”
Garis wajah Juno mengeras. Ia jelas tak setuju. Disisinya, Yuna melirik pemuda yang berusaha menolak perjodohan itu.
“Keputusan ini sudah dibuat sejak lama. Kalian cuma perlu memikirkan untuk bisa saling mencintai dan hidup bersama.”
Bak tersambar petir. Juno terdiam.
“Freeze!” seru Jun dengan toa di tangan seraya meminta para talent berhenti sejenak dan tidak berpindah dari posisi. Bersamaan dengan itu, kamera close up masih menyorot ekspresi Abinawa dan Ishya silih berganti.
“Cut! Very good!”
Jun berdiri dari posisi, bertepuk tangan dengan rona bahagia. Senyum yang terpancar, jelas menandakan bahwa sutradara itu puas dengan kemampuan akting para talent. Diluar ekspektasi, Ishya yang baru pertama kali terjun ke dunia seni peran, dengan cepat beradaptasi dan bisa mengimbangi akting seorang aktor papan atas, Abinawa.
“Oke, guys! Wrap!”
Instruksi sutradara Jun membuat para kru bersorak gembira serta bertepuk tangan, karena menandakan adegan yang diambil hari itu sudah selesai dan sesuai ekspektasi sang sutradara.
Ketika para kru tengah menggulung alat-alat syuting, Jun melangkah mendekati Ishya yang tengah berbincang dengan Fiona, pemeran pembantu yang memerankan sosok ibunda Yuna.
“I’m so proud of you, Shya,” puji Jun melekang perbincangan keduanya.
Fiona mengulum senyum tipis pada sutradara lalu meninggalkan mereka. Saat pria paruh baya itu tiba di hadapan, Ishya menunduk seraya memberikan salam.
“Thanks, Uncle.”
“Kamu benar-benar bisa membawakan peran ini sangat baik. Saya harap kamu bisa mempertahankannya, ya, Shya.”
Pancaran mata itu mengisyaratkan harapan yang tinggi. Dan ya, itu membuat Ishya sangat terbebani. Bagaimana bisa seorang sutradara ternama menaruh kepercayaan proyek besarnya pada seorang model yang tidak pernah memiliki track record berakting.
“Baik, Uncle. I’ll try my best!”
Ishya tersenyum meski hatinya gemetar. Awal mula yang begitu mengesankan baginya bahwa semua berjalan dengan lancar. Hari semakin petang, waktunya kru dan para talent bergegas meninggalkan lokasi.
Tak sengaja, iris mata Ishya melihat sosok yang mencuri hatinya. Ia memandang lekat seorang pria yang hampir lolos dari gawang pintu. Begitupula Jun yang menatap ke arah yang sama.
“Abinawa! Kesini sebentar!”
Seketika kaki pria itu terhenti taatkala Jun menyerukan namanya. Ishya sedikit terkejut. Tiba-tiba ia salah tingkah saat sutradara menyuruh Abinawa datang menghampiri mereka. Langkah Abinawa kian mengikis jarak. Dengan cepat Ishya mencari alasan agar bisa menghindar.
“Uncle … aku mau kesana dulu, ya.”
Ishya nyaris berlalu. Namun, tubuhnya langsung di rangkul sang sutradara. Hingga Ishya pun tak bisa bergerak.
“Mau kemana? Sebentar dulu!”
“Ada apa, Uncle?” tanya Abinawa tiba di hadapan mereka.
Beberapa saat Abinawa menatap mata Ishya dengan tajam. Namun, wanita itu gegas menunduk tak berani membalas tatapan lawan mainnya.
‘Ya Tuhan … jantungku kenapa bisa deg-degan kaya gini.’
“Bagaimana akting Ishya? Bagus ‘kan?”
Abinawa tersenyum sinis.
“Uncle, panggil gue cuma buat nanya itu?”
Ishya melirik dengan cepat. Apa yang salah dengan pertanyaan itu?
‘Dasar sombong!’
Ishya mencaci maki melalui tatapannya.
“Make sure aja kalau feeling gue tepat.”
Teringat kembali bagaimana Abinawa merendahkan Ishya saat reading beberapa waktu lalu.
“Hmmm, not bad-lah!”
Jun terkekeh. Itu adalah kata-kata yang sempat diucapkan saat berdebat dengan pemuda tersebut di rooftop rumah produksi.
“Apa gue bilang!” seru Jun, semakin mengeratkan rangkulannya. Terlihat Ishya hanya bisa tersipu. Sesekali Abinawa menatap matanya lekat.
“Udah gitu aja?” tanya Abinawa yang tak ingin berlama-lama di hadapan wanita itu.
“Tunggu!”
Langkah Abinawa kembali tertahan.
“Mari kita buat kesepakatan,” ucap Jun membuat mata keduanya membulat.
“Kesepakatan?” tanya dua anak manusia itu bersamaan.
“Belum apa-apa chemistry kalian udah nyatu aja,” goda Jun membuat keduanya canggung.
Abinawa dan Ishya tertegun. Sesekali terdengar hembus nafas kasar, seolah si empunya suara memiliki beban yang besar.
“Selama proses syuting, gue harap kalian bisa bangun chemistry yang kuat. Di lokasi aja ga akan cukup buat ngebangun itu.”
“Maksudnya?” tanya Abinawa masih tak mengerti.
“Kalian boleh sering-sering jalan atau ketemu diluar lokasi. Itu bisa membantu kalian membangun chemistry.”
Ide itu tentu buruk menurut Ishya. Bahkan bertemu di lokasi saja, jantungnya sudah berdetak tak karuan. Bagaimana mungkin mereka harus sering jalan bersama? Bisa-bisa jantungnya meledak tak beraturan.
‘Oh, no!’
Ishya hanya bisa menyatakan ketidaksetujuan dalam hati. Bodohnya lidah itu kelu. Ishya berdehem sesaat, namun tak membantah ucapan pria paruh baya disana.
“Bagaimana, Shya?” tanya Jun.
Kontan wajahnya mendongak. Matanya bersitatap dengan Abinawa, lalu menoleh ke arah Jun. Bingung.
‘Jangan biarkan wanita itu terperangkap.’
Abinawa teringat ucapan yang membuatnya tak bisa menolak. Entah apa yang membuatnya begitu mengkhawatirkan wanita di hadapannya ini. Dan entah apa rencana Jun yang sebenarnya. Kesepakatan yang dibuat, tentu menyiratkan sesuatu.
“Hmmm, baiklah.”
Abinawa hanya mengangguk seraya menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh sutradaranya.
“Gue boleh pergi sekarang, ‘kan?” tanya Abinawa untuk mengusaikan perbincangan mereka.
Jun mengangguk. Setelah Abinawa menghilang dari pandangan. Jun melepas rangkulan di bahu Ishya, lalu menatap wanita muda tersebut dengan senyum tipisnya.
“Kamu harus terbiasa sama sikap Abi,” ungkap Jun tiba-tiba.
“...”
Ishya mencerna kalimat yang tak ia mengerti. Mengapa uncle Jun tiba-tiba mengatakan itu dihadapannya.
“Doi itu luarnya aja dingin … tapi hatinya menghangatkan kok,” sambung Jun mengusaikan kalimatnya. Tak lama kemudian, Neha menghampiri. Dan Ishya bergelut dengan pertanyaan di otaknya.
‘Kenapa Uncle tiba-tiba ngomong gitu?’
“Hai, Uncle!” seru Neha membuyarkan lamunan sang adik.
“Hai, Neha.”
“Terima kasih karena Uncle udah banyak bantu Ishya.”
“Hmmm, saya yang berterima kasih, karena menemukan talent yang begitu berbakat seperti Ishya.”
Selepas itu, Jun meninggalkan keduanya. Begitu pula Ishya dan Neha yang gegas meninggalkan lokasi.
***
Dalam perjalanan, Ishya tak henti memikirkan perbincangannya dengan Jun dan Abinawa saat di lokasi. Ada kalimat yang masih tak bisa dicerna oleh otaknya.
“Doi itu luarnya aja dingin … tapi hatinya menghangatkan kok,”
Memandang sang adik yang bergeming sejak mendaratkan bokoong di kursi penumpang, Neha mencecarnya dengan beberapa pertanyaan.
“Abinawa lagi?” tuduh Neha seolah tahu yang dipikirkan sang adik.
“...”
Ishya masih hanyut dalam lamunannya. Ia sama sekali bergeming tak menghiraukan pertanyaan Neha.
“Astaga! Shya! Are you okay?”
“Eh.”
Ishya menoleh.
“Kamu kenapa? Sejak ketemu Uncle Jun jadi pendiam gitu?”
Tak mengalihkan pandangan pada jalanan ibu kota yang begitu padat, Neha melontarkan rasa ingin tahunya.
“Ga apa-apa.”
“Ga apa-apa gimana? Tuh kelihatan di jidat kamu kalau something happened”
Ishya melirik kaca spion sambil mengusap jidatnya yang tertutup poni tipis.
“Masa sih?”
“Uncle Jun ngomong sesuatu sama kamu?”
“Ga ada. Beliau cuma berharap aku bisa lebih baik.”
Ishya tak jujur bahwa ada kesepakatan di antara dirinya, Abinawa, dan Uncle Jun. Dan kesepakatan itu, jelas memberatkan hatinya. Ia bahkan tak bisa membayangkan jika perasaannya kian bersemi setelah menghabiskan waktu bersama Abinawa.
“Maksudnya, aktingmu buruk?”
“Nope. Aktingku sudah baik, tapi perlu di improve aja.”
“Ah! I see.”
Neha menginjak pedal gas, ketika keluar dari kemacetan.
‘Sorry, Kak. Aku ga mau buat kamu khawatir.’
***