Part 2 - Putus

1892 Words
Dua Belas Tahun Sebelumnya. “Aku lulus!” pekikan Nayara terdengar di telinga Devon. Gadis itu melambaikan secarik kertas yang ada di tangannya, memberitahukan pada kekasihnya bahwa dia sudah berhasil di terima di sekolah menengah kejuruan khusus perempuan seperti yang selama ini diidamkannya. Devon turut tersenyum, pria itu mengacak rambut Nayara karena turut senang mendengar penuturan teman baiknya yang sebentar lagi—setelah gadis itu mengenakan seragam putih abu—akan ia jadikan kekasihnya. “Aku traktir kamu, mau apa?” tanya Devon lagi. Nayara memandangi pria pujaannya dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dengan polosnya dia mengatakan bahwa dia hanya ingin makan bakso yang biasanya nangkring tak jauh dari tempat tinggal keduanya. Dan Devon dengan mudahnya menyetujuinya. Nayara naik ke atas motor Devon. Pria itu mengulurkan tangannya ke belakang, meminta Nayara untuk berpegangan dengan memeluk perutnya dan gadis itu menurut begitu saja. Hati Nayara jelas sangat berbunga-bunga. Bukan hanya karena keinginannya untuk bersekolah di sekolah impiannya terkabul, namun juga karena sikap manis Devon terhadapnya. Ya, Devon yang biasanya dikenal orang-orang daerah mereka sebagai anak urakan, nyatanya tak seperti itu dimata Nayara. Nayara sudah mengenal Devon selama dua tahun terakhir ini. Mereka bertetangga sejak Devon pindah ke kediaman paman dan bibinya yang kebetulan hanya berjarak empat rumah dari kediaman ibu Nayara. Ya, kedua orangtua Nayara sudah bercerai saat Nayara duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya lantas menikah lagi dengan seorang pegawai pemerintahan. Dan ayahnya, beliau juga menikah lagi dan memutuskan untuk tinggal bersama istri barunya meskipun lokasi mereka tidak terlalu berjauhan. Nayara ingat pertemuan pertamanya dengan Devon dua tahun yang lalu. Kala itu ibunya baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki dari ayah barunya. Dan hal itu membuat Nayara kesal, karena sekarang, dirinya sudah tidak bisa lagi mencari perhatian ibunya karena fokus ibunya sudah lebih pada bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Haidar. Saat Nayara murung dan memilih untuk duduk di pos ronda, saat itulah ia melihat Devon. Pria yang berusia tiga tahun darinya itu menyapanya. Awalnya Nayara kesal karena pria itu sok kenal dengannya. Sampai kemudian dia tahu bahwa ternyata pria itu masih tetangganya dan merupakan sepupu dari teman satu sekolahnya Pandu. Sejak saat itu, mereka bertukar nomor ponsel dan sesekali Devon mengajak Nayara untuk bertemu secara diam-diam. Devon akan menjemput Nayara dari sekolahnya saat pria itu pulang sekolah. Mereka akan pergi untuk sekedar mencari angin. Entah itu nongkrong di alun-alun kota atau sekedar jajan makanan ringan di sebuah café. Ya, Devon berasal dari keluarga kaya. Pria itu sudah memiliki motor bahkan sebelum usianya tujuh belas tahun. Dan untuk uang jajan, pria itu mengatakan bahwa ia hanya perlu minta maka uang itu akan langsung masuk ke dompetnya. Lantas siapa yang akan menolak semua tawaran itu? Nayara jelas tidak akan menolaknya. Ia butuh perhatian dan itu tidak bisa ia dapatkan lagi dari ibunya. belum lagi setelah pulang sekolah, setelah seharian berpikir ibunya pasti akan memerintahkannya untuk melakukan ini itu di rumah. Entah itu mencuci piring, membersihkan rumah dan menjaga adiknya. Karena meskipun sedang menyusui, ibunya masih harus mendahulukan pelanggan salonnya. Jika tidak, maka mereka akan kehilangan pelanggan yang selama ini sudah susah payah dicarinya. Dan sekarang, dua tahun berlalu tanpa terasa. Nayara sebentar lagi akan mengenakan seragam putih abunya. Dan Devon. Pria itu mengatakan bahwa dia akan berkuliah di kota tetangga dan saat ini sedang mempersiapkan administrasinya. Sedih, tentu saja Nayara sedih. Siapa yang tidak sedih jika kesatria yang selama ini menjadi pelindungnya tidak akan ada lagi di sampingnya. Pada siapa nanti Nayara mengadukan masalahnya? Siapa yang akan menemaninya melewati hari-hari membosankannya? “Ada yang mau aku bicarain sama kamu.” Ucapan Devon membuat Nayara kembali pada alam nyata. “Apa?” tanya Nayara dengan sedikit lebih keras untuk menghalau angin yang menyamarkan suaranya. “Nanti, tunggu kita sampai dulu.” Ucap pria itu yang hanya dijawab anggukkan Nayara. Mereka sampai di kedai bakso yang tadi Nayara sebutkan. Suasana kedai itu sepi, hanya ada empat pengunjung yang mengisi bagian dalam kedai. Devon menuntun Nayara untuk duduk di salah satu sudut ruangan setelah memesankan porsi yang mereka inginkan. Keduanya memilih untuk duduk saling berhadapan. dan hal itu kini selalu membuat jantung Nayara berdebar dengan teramat kencang. Ya, Devon itu pria yang tampan. Tubuhnya memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter, lebih tinggi dari Nayara yang hanya berkisar seratus lima puluh lima sentimeter. Pria itu juga memiliki kulit yang putih, rambut hitam mengkilap yang lebat dan lurus. Wajahnya tampan dan bersih. Tidak ada jerawat, tidak ada bulu-bulu sama sekali. Hidungnya mancung dan bibirnya berwarna merah muda pucat. Giginya rapi dan putih. Dan saat pria itu tersenyum atau tertawa, sudut matanya mengerut. Dan itu semakin membuat Nayara jatuh dalam pesonanya. Devon juga terkenal. Bukan hanya di sekolah pria itu, tapi juga di lingkungan sekolah Nayara. Maklum, mereka tinggal di kota kecil dan di daerah yang lingkungannya hanya itu-itu saja. Jadi satu sama lainnya bisa saling mengenal dengan mudah. Kabar lain juga sampai ke telinganya tentang Devon yang merupakan seorang playboy yang memiliki banyak pacar di sekolahnya. Namun Nayara tidak percaya itu. karena jika memang Devon memiliki banyak pacar, tidak mungkin pria itu akan selalu ada untuknya. Bukan hanya di malam minggu atau minggu malam. Tapi juga setiap kali Nayara membutuhkannya dan menghubunginya. “Apa yang mau kamu katakan tadi?” tanya Nayara ingin tahu. Devon tampak gugup. Pria itu memilih untuk memainkan alat makan yang ada di depan mereka sebelum kemudian memandang Nayara dengan mata hitamnya. “Sebentar lagi aku pindah ke Jakarta.” Ucap pria itu yang meskipun dengan enggan harus Nayara angguki. “Kamu tahu kan, setelah tinggal disana mungkin akan lama buat aku pulang kesini. Maksudku, hanya sesekali aku pulang kesini.” Lanjutnya yang kembali dijawab anggukkan Nayara. Pria itu kemudian menarik tangan Nayara dan menggenggamnya. Mengusap punggung tangan Nayara dengan lembutnya dan menatapnya dalam-dalam. “Aku mau, aku pergi dengan rasa aman.” Ucap pria itu yang membuat Nayara bingung. “Maksudnya?” tanyanya lagi. “Aku mau, kamu janji sama aku, kalo selama aku gak ada disini, kamu gak lirik-lirik cowok lain, Nay.” Pinta pria itu dengan nada memelas. “Aku suka kamu. Aku mau kamu jadi pacar aku. Kamu mau?” tanyanya lagi kali ini dengan nada berapi-api. Nayara memandang pria itu dengan bingung namun juga bahagia di saat yang bersamaan. Ternyata, selama ini perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Gadis mana yang tidak akan bahagia jika orang yang disukainya ternyata juga menyukainya. Jika tidak malu, mungkin nayara pun akan bersorak saat itu juga. “Nay?” Devon menarik tangannya dengan lebih kencang supaya Nayara kembali pada kenyataan. Wajah Nayara mengembangkan senyum bahagianya dan gadis itu mengangguk menyetujui permintaan Devon. “Ya, aku mau.” Jawabnya dengan sungguh-sungguh. “Janji sama aku, kalau kamu gak akan lirik-lirik pria lain selama aku gak ada.” Pintanya lagi yang dijawab anggukkan Nayara. “Kamu juga. Jangan lirik-lirik cewek lain disana. Aku denger katanya cewek Jakarta itu cantik-cantik, modis-modis. Pokoknya jangan kamu lirik-lirik apalagi bandingin aku sama mereka. Devon tersenyum dan menganggukkan kepala. “Jadi, kita sah ya?” tanyanya yang dijawab anggukkan Nayara lagi. Sepuluh Tahun Sebelumnya Tahun ajaran baru dimulai. Nayara sudah duduk di kelas tiga sekolah menengah kejuruan dan itu berarti Devon sebentar lagi akan menginjak tahun ketiga kuliahnya. Memasuki semester kelimanya. Dua tahun sudah Nayara dan Devon berhubungan. Sampai sejauh ini, hubungan mereka tidak sepenuhnya berjalan manis seperti negeri dongeng. Jarak yang memisahkan dan keterbatasan komunikasi terkadang menjadi bahan pertengkaran. Kala Devon santai, ia tidak bisa menghubungi Nayara dan begitu juga sebaliknya. Saat Nayara libur, Devon disibukkan dengan urusan di kampusnya. Mereka yang awalnya bisa saling bertelepon kini hanya bisa saling membalas pesan dan itupun akan dibalas entah berapa jam setelahnya. Nayara tidak lagi bisa mencurahkan isi hatinya tepat pada waktunya. Dan ketika Devon mulai menanyainya, ia sudah terlanjur kesal dan bahkan sudah mendapatkan penyelesaian untuk masalahnya. Belum lagi ibunya yang terus mendiktenya untuk masuk ke kursus salon dan kecantikan supaya bisa meneruskan usaha yang dirintisnya. Nayara berusaha untuk menolak. Dia sudah sangat lelah dengan jam belajarnya dan sekarang harus bertambah dengan kegiatan lain yang tak hanya menguras otaknya namun juga tenaganya. Namun apalah daya, ia tidak bisa menolak titah sang bunda karena semua akomodasi, uang jajannya, ibunyalah yang memberikannya. Karena ayahnya—ibunya bilang—tak bisa diharapkan. Dan karena alasan itu, pertengkaran dengan Devon semakin menjadi-jadi. Beruntung Nayara memiliki teman yang baik di sekolahnya. Ia seringkali mencurahkan isi hatinya pada mereka dan memilih untuk menghabiskan waktu senggang dengan mareka. Sehingga ia tidak lagi benar-benar kesepian. Nayara iri, melihat beberapa temannya yang pulang dengan dijemput oleh kekasih mereka. Meskipun ada juga yang tidak, tapi mengingat dia memiliki kekasih, ia juga ingin merasakan hal yang sama. Bisik-bisik teman bermainnya pun mulai terdengar. Mereka semua membahas tentang Devon yang kuliah di luar kota dan kini sudah memiliki kekasih lain. Memang, selama ini tidak ada yang tahu tentang hubungannya dengan Devon karena keduanya memutuskan untuk tidak mengumumkannya. Dan mendengar desas-desus seperti itu membuat Nayara memanas dan secara langsung menghubungi Devon untuk menanyakan kebenarannya. Sayangnya, Devon sangat sulit dihubungi sehingga kecurigaan Nayara padanya semakin membesar. Dengan kesal dan tanpa pikir panjang, Nayara mengirim pesan pada pria itu dan mengatakan bahwa hubungan mereka putus. Entah pada pukul berapa di malam harinya ponsel Nayara tak berhenti berdering. Ia menoleh pada layar dan melihan nama Devon tertera disana. Namun enggan mengangkat karena rasa takut yang terlalu menderanya. Ia memilih untuk mematikan ponselnya tanpa tahu bahwa hal itu akan berpengaruh buruk padanya keesokan harinya. Nayara bersiap pergi ke sekolah di pagi hari, namun kejutan menyambutnya kala melihat Devon sudah berdiri di depan pagar rumahnya dengan rambut acak-acakan dan mata merah. “Apa-apan pesanmu itu?” tanya pria itu dengan amarah yang meledak. Nayara yang terkejut hanya bisa membelalakkan mata tanpa bisa menjawab apa-apa. Pria itu berjalan mendekat dan kemudian mencengkeramnya kedua lengannya dengan erat. “Kamu gak bisa begitu aja minta putus dari aku, Nay. Memangnya apa salah aku?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya. “Ka-kapan kamu datang?” akhirnya suaranya keluar juga meskipun hanya berupa cicitan ragu. “Aku langsung datang kesini setelah baca pesan dari kamu, Nay!” geram pria itu. “Pulang dan tidurlah, kita bicara nanti. Aku udah telat pergi ke sekolah.” Ucap Nayara berusaha melepaskan pegangan Devon dari tangannya. “Gak. Aku gak mau. Kamu harus jelasin ke aku sekarang ini juga.” Perintah pria itu dengan geramannya. “Devon, aku harus pergi ke sekolah. Aku ada ujian pagi ini.” tolak Nayara lagi. Ia berusaha melepaskan tangan Devon namun pria itu tidak bergeming. Hingga kemudian suara pintu dibuka dan ayah tiri Nayara muncul bersama dengan ibunya. “Ada apa ini?” tanya pria paruh baya itu dengan sorot tak suka pada Nayara dan juga Devon. Tentu saja, selama ini pria itu sudah menunjukkan rasa tak sukanya pada Nayara secara terang-terangan. Dan melihat Nayara sedang bersama dengan pria yang dianggapnya sebagai ‘pengganggu ketenangan’ membuat mata pria itu menyala-nyala karena amarah. Tidak ada yang menjawab. Nayara memilih diam, begitu juga dengan Devon. “Kenapa kamu masih ada disini, Nay? Jam berapa ini?” suara teguran itu muncul keluar dari mulut ibunya. Nayara mengentakkan tangan Devon dalam sekali gerakan yang membuat pegangan tangan pria itu terlepas seketika. “Ini juga mau berangkat.” Ketusnya dan kemudian berjalan dengan cepat menjauhi Devon yang masih mematung di tempatnya. Ia juga bisa mendengar teguran diarahkan pada Devon dari kedua orangtua di belakangnya. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD