Charly mendengus. Astaga, hanya karena kedatangan para penyusup yang menyerang mansion, juga Nicolin yang tidak mengizinkan Milo untuk menginterogasi mereka dengan siksaan membuat ia, Darius, Miya, dan bahkan juga Milo menjadi penuh dengan prasangka. Maksudnya, Charly tahu bahwa Milo itu memiliki insting setajam hewan buas, dan mendapati dia mengutarakan kecurigaan terhadap berbagai hal bukanlah perkara baru sejak Charly menginjakkan kakinya di mansion Grey. Mereka berempat itu berasal dari latar belakang yang benar-benar berbeda. Jika dituliskan, ada berderet-deret perbedaan di antara mereka yang sesungguhnya menjadi alasan kuat mengapa mereka harusnya tidak cocok satu sama lain. Tetapi mungkin, satu kesamaan buruk di antara keempatnya sudah cukup untuk menjadi alasan kecocokan mereka di antara banyaknya perbedaan di antara mereka.
Mereka berempat sama-sama tidak mumpuni untuk memenuhi tugas sebagai pelayan.
Rasanya benar-benar ironi, di saat mereka berempat direkrut untuk menjadi seorang pelayan, tetapi bahkan mereka sama sekali tidak bisa mengurus satu saja pekerjaan di mansion yang berkaitan dengan pekerjaan pelayan. Charly sadar sepenhnya bahwa apa yang mereka berempat lakukan lebih banyak menambah masalah dan pekerjaan baru untuk Nicolin alih-alih membantunya meringankan pekerjaan. Terpujilah Nicolin dan juga kemampuan ajaibnya dalam menyelesaikan segala pekerjaan yang ada di mansion, belum lagi harus mengurus seluruh kebutuhan dan keinginan Tuan Muda Gilbert yang Charly sadari sebagian keinginannya kadang bukan perkara yang mudah.
Jika tidak ada Milo yang memiliki insting tajam juga lontaran perkataannya yang terkadang tidak tahu adab, Charly mungkin akan tetap santai-santai saja dan tidak mencurigai apapun. Baginya, hidup nyaman dan tidak terbelenggu atau dipaksa ini-itu sudah cukup menyenangkan untuknya. Gilbert tidak pernah memaksanya melakukan apa-apa. Tuan Mudanya itu bahkan sama sekali tidak pernah marah. Mungkin Gilbert memiliki kontrol emosi yang kuat. Tapi apapun itu, Charly senang karena ia tidak merasa ditekan atau semacamnya.
Gilbert adalah orang yang sangat ia hormati. Setidaknya, mungkin itulah yang ia rasakan. Charly belum pernah merasa menghormati seseorang, atau ia saja yang tidak mengerti bagaimana sebenarnya konsep menghormati orang lain. Lagipula, ia bukan seseorang yang terlahir dari keluarga baik-baik yang penuh tata krama.
Charly adalah Charly. Mantan kriminal kota yang namanya sudah dikenali hampir seluruh warga yang ada di sana.
Sejak lahir—atau setidaknya sejak masa yang ia ingat dalam hidupnya, Charly hanya tinggal dengan ayahnya yang penyakitan. Mereka berdua tinggal pada rumah kayu kecil di ujung jalan. Charly bisa membaca dan menulis, tetapi ia tidak banyak mengerti tentang pengetahuan karena ia tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk hal itu. Sepanjang hidupnya, Charly bekerja di berbagai tempat untuk mendapatkan uang dan makanan, termasuk menabung untuk membeli obat bagi ayahnya yang sakit. Charly tidak tahu apa penyakit ayahnya, yang jelas pria itu selalu batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Ayahnya sama sekali tidak bisa bangun dengan leluasa. Tubuhnya sangat lemah dan kurus.
Charly terus hidup dalam keadaan seperti itu selama bertahun-tahun. Namun, melihat kondisi ayahnya yang bahkan membaik pun tidak, Charly mulai tergerak untuk mendapatkan uang yang lebih banyak, agar ia bisa memanggil dokter dan membuat ayahnya sembuh. Sayang sekali, anak sepertinya, tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus dan menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat.
Dalam kegelapan hatinya, juga keputusasaan di mana ia ingin sekali menyembuhkan ayahnya, Charly mulai mencuri di tempat-tempatnya bekerja. Ia mengumpulkan uang curiannya, dan berniat menyewa seorang dokter untuk mengobati ayahnya agar ayahnya bisa segera sembuh dan tidak merasa tersiksa dengan penyakitnya lagi. Namun tentu, pencuri kecil sepertinya tidak akan pernah bertahan lama dalam kerasnya dunia yang berpihak kepada orang-orang dengan status baik. Meski Charly menjelaskan keadaannya pun, posisinya tetaplah yang bersalah. Orang-orang tidak akan bersimpati kepada kriminal, bahkan meski kriminalitas yang dilakukannya itu berdasarkan keterpaksaan, keadaan yang mendesak, atau sesuatu yang membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain melakukan hal itu.
“Kau! Dasar tikus pencuri!”
Kalimat hinaan pertama yang didengar Charly adalah ketika ia ketahuan mencuri di toko perabotan tempatnya bekerja. Tuan yang mengelola toko itu murka, melemparkan salah satu vas bunga keramik hingga pecah mengenai pelipis Charly. Darah segar mengalir, tampak mengerikan karena luka itu terus menguncurkan darah. Tapi satu orang pun tidak ada yang peduli. Orang-orang yang lewat berbisik-bisik, menggunjing tentang seorang lelaki cilik pencuri yang dihajar oleh Tuan yang dicurinya.
Charly kembali ke rumah dalam keadaan babak belur. Rasa perih di area pelipis dan juga nyeri di perutnya akibat tendangan brutal Tuan yang ia curi masih tersisa. Tetapi melihat hasil uang curiannya, Charly menarik senyum puas. Sejak hari itu, ia terus dan terus melakukannya lagi. Semakin hari semakin banyak. Semakin lama semakin sering ia mendapatkan pukulan, tendangan, dan beragam kekerasan lainnya. Charly menjadi terbiasa, dan ia bahkan belajar menghindar pun melawan.
Tahun demi tahun berlalu. Charly yang mendapatkan panggilan tikus pencuri telah berubah menjadi remaja kuat yang jago berkelahi. Ia lebih terlatih dalam mencuri, dan tidak lagi gampang dijatuhkan atau dilukai oleh orang yang dicurinya. Namanya semakin dan semakin terkenal, membuat para pedagang kaya was-was jika mereka menjadi target Charly.
Dengan semakin terkenalnya Charly, banyak gerombolan kriminal yang berkali-kali menantangnya berkelahi. Charly enggan menanggapi hal itu jika tidak ada hal penting yang mendesak sebagai latar belakang dari perkelahian mereka. Charly masih bertahan hingga sekarang dan bahkan bisa berkelahi bukan untuk gaya-gayaan atau memamerkan kekuatan belaka. Charly harus terus bertahan hidup, karena jika tidak maka ayahnya tidak akan selamat.
Suatu hari, segerombolan pria dewasa menghadangnya yang hendak pergi ke kota. Penyakit ayahnya semakin memburuk, Charly harus mencari pereda setiap hari agar ayahnya masih bisa tertidur dengan nyaman. Ia sedang tidak berminat untuk meladeni, pikirannya sudah berkecamuk karena batuk darah ayahnya sama sekali tidak berhenti sejak semalam bahkan hingga pagi ketika ia pamit untuk pergi.
“Bertarunglah denganku, dan buktikan siapa yang paling kuat!” yang paling muda dan berdiri di tengah berkacak pinggang, menampilkan senyum meremehkan yang sangat memuakkan.
Charly menghela napas. “Aku sedang ada keperluan mendesak hari ini. Lagipula, aku tidak ingat pernah punya masalah dengan kalian. Jadi menyingkirlah!”
Pria yang berdiri di tengah maju, menarik pakaian Charly dan membuatnya terpaksa mendongak. Kedua alis pria itu menukik tajam, termasuk tatapan matanya yang menyiratkan kekesalan sepenuhnya.
“Aku menantangmu, dan pantang bagi orang yang ditantang olehku untuk menolaknya.”
Charly memutar bola matanya kesal. Lagipula ia tidak pernah mendengar aturan seperti itu. Memangnya siapa yang menetapkan aturan merugikan begitu?
“Jika semua orang yang kau tantang wajib menerimanya, maka tidak ada keadilan bagi seseorang yang lebih lemah darimu untuk menghindar dari tantangan konyolmu. Orang-orang memiliki alasan untuk berkelahi, bukannya sembarangan menantang orang lain dan memaksakan kehendaknya. Memangnya, kau tidak pernah berpikir bahwa berkelahi hanya akan merusak tubuhmu, eh, Paman?”
Sebuah kerutan di dahi pria itu semakin dalam. Ia semakin mengeratkan cengkramannya pada pakaian Charly. “Tidak ada yang mengizinkanmu untuk memanggilku dengan sebutan paman, kau hanya seorang anak dari keturunan rendah.”
Benar, aturan level status adalah hal yang normal. Manusia dengan status rendah seperti Charly memang lebih banyak kebagian peran sebagai bersujud-sujud di hadapan mereka-mereka yang memiliki status lebih tinggi. Masalahnya, Charly tidak memiliki waktu untuk itu sekarang. Ia harus segera ke kota untuk mencari obat yang bisa meredakan batuk ayahnya.
Charly membuang napas, meletakkan kedua telapak tangannya di perutnya dan segera menunduk sembilan puluh derajat. Orang–orang yang ada di hadapannya melebarkan matanya, tidak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh Charly.
“Maafkan saya Tuan, saya memiliki urusan lain yang sangat penting. Lain waktu, saya akan menerima tantangan Tuan sebagai ganti dari ketidaksopanan saya kali ini.”
Charly berjalan melewati mereka, tapi sepertinya mereka tidak akan melepaskannya semudah itu. Si pria yang sejak tadi menantangnya mencengkram pergelangan tangannya kuat-kuat. Wajahnya memerah marah dan Charly sudah bisa menyimpulkan hanya dengan melihat kilat mengerikan di wajahnya bahwa pria di hadapannya ini siap meledak kapan saja.
“Sayang sekali, aku tidak suka ditolak.” Desisnya tajam.
Belum sempat Charly mengatakan apa-apa, pria itu sudah melayangkan tinjunya tepat di wajah Charly, membuat Charly terhuyung mundur dengan hidung berdarah. Sungguh, Charly sedang benar-benar tidak berada di kondisi di mana dirinya bisa menahan amarahnya. Situasinya saat ini sedang mendesak, dan orang asing ini dengan seenaknya meninju wajahnya hingga ia mimisan.
Pria itu tertawa-tawa, memamerkan ototnya yang disoraki denga bangga oleh rekan-rekannya yang lainnya. Charly mengusap darah di area hidung dan bibirnya dengan kesal.
“Tadinya aku berusaha menghormatimu, bagaimana pun kau berada di level yang lebih tinggi dariku. Aku diajarkan untuk menghormati mereka-mereka yang levelnya lebih tinggi dariku. Sayang, sepertinya kau tidak berhak mendapatkan rasa hormatku.”
Charly berlari, menerjang pria itu dengan mengayunkan tendangan lututnya tepat di d**a si pria. Tidak sampai disitu, bahkan sebelum pria itu sempat menyadari apa yang terjadi, Charly sudah kembali menginjak perutnya dengan sekuat tenaga, membuatnya memekik kaget dengan kedua bola mata melotot kaget.
Charly benar-benar kesal, dan sepertinya pria di hadapannya ini memang dikirmkan Tuhan untuk menjadi bahan pelampiasannya. Tidak lama dari adegan Charly menginjak perutnya, ia mendudukinya, menarik pakaian pria itu dibagian leher dan menjedukkan kepalanya di tanah berkali-kali. Charly meninju muka pria itu bertubi-tubi, darah segar memuncrat dan mengotori tangan serta pakaiannya. Melihat kondisi yang tak terkendali, rekan-rekan pria itu segera saja ikut menyerangnya secara bersamaan. Charly sudah terbiasa dengan yang seperti itu. Diserang secara keroyokan bukan hal yang baru dalam hidupnya, dia selama beberapa tahun ini Charly sudah cukup terlatih untuk melawan segerombolan orang secara bersamaan.
Charly berdiri, dengan bercak-bercak darah dari lukanya dan juga lawan-lawannya. Hanya karena hal ini, yang bahkan Charly lakukan karena mereka yang menantangnya terlebih dahulu. Charly sadar ia adalah manusia tidak beradab, tetapi sekali pun dalam hidupnya, ia tidak pernah memulai perkelahian jika dirinya tidak dipukul terlebih dahulu.
Masalah itu menjadi melebar. Charly lolos selama beberapa tahun belakangan karena yang menjadi lawannya hanya pedagang-pedagang kaya saja, bukan seseorang dengan gelar bangsawan. Kali ini, sepertinya ia memang sedang sial. Segerombolan pria itu adalah seorang Baron dan pelayan-pelayannya.
Beruntung Charly tidak mendaptkan masalah yang lebih serius selain hukuman cambuk yang diberikan oleh keluarga itu. Ia pulang tanpa membawa obat yang dibutuhkannya. Seluruh tubuhnya terasa sakit, bekas memar di sekujur punggung terasa menyakitkan bahkan hanya karena terkena gesekan kain bajunya.
“Ayah, aku pulang. Maaf aku belum membelikanmu obat karena tadi—“ Charly membelalakkan matanya. Ia berdiri membeku dengan tubuh bergetar hebat. Perlahan tapi pasti, bulir-bulir air mata berjatuhan, deras di atas pipinya.
Charly berharap bisa meredakan kemarahan termasuk luka hatinya dengan bersama ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tetapi yang dia temukan adalah ayahnya yang telah mati, dengan leher tergantung tali tambang. Charly menemukan secarik kertas yang berada di atas meja. Surat itu adalah tulisan ayahnya, berisi permintaan maaf karena sudah merepotkan Charly selama bertahun-tahun juga ia yang tidak mau lagi menelan obat hasil dari uang curian. Charly jatuh terduduk, meremat kertas itu dan berteriak keras, melampiaskan seluruh emosi yang terkumpul di dalam hatinya, membuatnya begitu terluka.
Charly semakin dan semakin liar sejak kematian ayahnya. Lagipula, ia tidak lagi memiliki tanggung jawab. Jika suatu waktu dirinya mati karena perkelahian, maka tidak ada lagi yang membebainya. Ia hidup bersama luka menganga di hatinya, dan terus seperti itu bahkan meski ia telah pergi hingga ke ibu kota Kerajaan.
Suatu hari, ketika Charly tengah berkelahi dan nyaris sekali lagi membunuh lawannya, seorang pria bangsawan menahannya. Charly benci bangsawan, terutama setelah apa yang terjadi di hari kematian ayahnya. Charly yang penuh luka dipaksa untuk ikut dengannya, diobati dengan baik. Charly tidak biasa menerima kebaikan orang lain, karena memang ia tidak pernah mendapatkannya.
“Kenapa menyia-nyiakan kemampuanmu di jalanan. Bekerjalah denganku, tidak perlu membunuh orang lain.”
Charly terkekeh. “Aku tidak berminat.”
“Mungkin kau bisa memikirkannya terlebih dahulu. Aku memiliki seorang puteri yang hampir seumuran denganmu. Dia sangat ceria, namun karena penyakit batuk darahnya, dia tidak benar-benar kehilangan seluruh cahaya di wajahnya. Istriku sudah meninggal, pelayan-pelayanku bukan lagi orang kepercayaan. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga puteriku dengan baik. Ayo ikut denganku.”
Charly berteriak protes kita ditarik untuk melihat anak dari pria bangsawan yang membawanya. Di dalam kamar luas itu, seorang gadis dengan rambut coklat kemerahan terbaring lemah. Charly bisa menilai bahwa gadis itu sangat cantik, ia hanya kehilangan cahaya di wajahnya sama seperti yang dikatakan oleh ayahnya.
Charly tidak tahu bagaimana awalnya hingga ia terbiasa menjaga gadis itu. Gadis itu bernama Lily. Charly menjaganya ketika sang ayah pergi, ia juga menyiapkan segala hal yang dibutuhkan Lily. Ia melakukannya secara alami. Mungkin, itu karena Charly sudah terbiasa merawat ayahnya selama bertahun-tahun.
Hari demi hari, bulan demi bulan, lalu tahun berganti. Lily yang sebelumnya sama sekali tidak bisa bangun mulai bisa berdiri. Ia tidak boleh kelelahan, namun setidaknya gadis itu sudah kembali bersinar. Charly melihat wajah Lily begitu cantik, dengan kilau zamrud di kedua matanya, juga senyumnya yang begitu manis.
“Terima kasih, Charly. Berkat kau yang terus merawatku, akhirnya aku bisa kembali berdiri dan melihat dunia luar.”
“Ayahmu yang membayar berbagai dokter untuk mengobatimu.”
Lily tertawa. “Benar. Mungkin secara fisik, ayahkulah yang menyembuhkanku, tetapi jiwaku disembuhkan olehmu.”
Charly tidak tahu harus mengatakan apa. Mungkin, hanya hanya terlalu senang sampai-sampai tidak tahu harus menanggapi bagaimana kalimat yang dikatakan oleh Lily.
“Terima kasih, kau selalu melindungiku.” Ucap Lily.
Charly tersenyum tipis. “Aku akan selalu melindungimu.”
Ayah Lily begitu bahagia, ia tak henti-hentinya tersenyum melihat puteri satu-satunya yang telah lama sakit sudah berangsur-angsur membaik. Ia memeluk Charly, mengucapkan terima kasih berkali-kali hingga Charly merasa canggung. Pria bangsawan itu menarik telapak tangannya, dan menarik telapak tangan Lily, menyatukan keduanya dengan erat.
“Kuharap, kalian berdua bisa menjadi pasangan yang saling mencintai dan selalu menjaga sepanjang hayat.”
Wajah Lily merona samar, pun dengan Charly. Tidak pernah dalam hidupnya ia berpikir suatu hari akan mendapatkan seorang wanita di sisinya sebagai istri. Ia hanyalah seorang rakyat jelata biasa, sementara Lily adalah puteri seorang bangsawan.
“Kau yakin, Tuan? Maksudku, aku bukan pemuda bangsawan dengan status yang bagus.”
Pria itu terbahak. “Status tidak selalu memberi kenyamanan, lagipula puteriku mencintaimu.”
Wajah Lily semakin merona, Charly bisa melihatnya dengan jelas. Sebuah kehangatan tercipta di dadanya. Rasa yang begitu nyaman dan sangat ia sukai.
Rencana pernikahan mereka dibicarakan dengan penuh suka cita. Tidak ada rencana pesta besar, hanya ada pesta sederhana saja dengan beberapa keluarga dekat Lily. Dengan kondisi Lily yang baru saja membaik, ayahnya berpikir akan sangat berisiko jika mengadakan pesta besar karena hanya akan membuat anaknya kelelahan.
Charly meminta izin untuk pergi ke tempat asalnya. Ia ingin mengunjungi makam ayahnya dan mengatakan rencana pernikahan itu. Lily menawari untuk ikut menemani, namun Charly melarangnya karena daerah asalnya cukup jauh dan ia tidak ingin Lily kelelahan. Maka beberapa hari sebelum hari pernikahan yang direncanakan, Charly berangkat ke rumah lamanya.
Sewaktu ayahnya meninggal, Charly menguburkannya di belakang rumah. Ia kira, dirinya tidak akan kembali kemari. Ketika Charly datang, gundukan tanah itu telah ditumbuhi banyak bunga. Charly menunduk sembari memejamkan matanya.
“Ayah, aku datang kemari untuk meminta izin. Aku akan menikah. Telah banyak yang terjadi selama bertahun-tahun. Kuharap kau berbahagia di sana.”
Charly tidak berlama-lama di sana. Ini pertama kalinya sejak bertahun-tahun ia hidup di rumah tua reyot itu, Charly tersenyum ketika melangkah pergi. Hatinya penuh kehangatan, dan membayangkan wajah tersenyum Lily cukup untuk membuat suasana hatinya terasa begitu bahagia.
Nahas, tepat ketika Charly datang kembali ke mansion keluarga Lily, tidak ada senyuman yang ia temukan, tidak ada raut wajah bahagia, tidak ada sapaan ramah.
Lily terbaring kaku, dengan perut berdarah. Di sampingnya, sang ayah juga berada dalam keadaan yang sama. Ada sepucuk surat yang bertuliskan ujaran kebencian, ditulis dengan darah dan diletakkan di dekat tubuh mereka berdua. Charly diterjang guncangan hebat. Kenapa? Kenapa orang yang selalu ia janjikan akan ia lindungi selalu berakhir seperti ini.
Pada akhirnya, semua janji yang ia ucapkan hanyalah janji belaka, tidak ada yang terpenuhi.
---
Charly kembali pada kehidupan lamanya pasca kematian Lily dan ayahnya. Ia semakin brutal, sulit mengendalikan emosi, dan menjadi orang yang selalu memulai perkelahian. Ia kira, mungkin hidupnya ditakdirkan seperti ini. Ia memang tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Lalu ia datang, seorang pemuda belia dengan pakaian rapi dan berkilauannya, membawa seorang pelayan tampan yang selalu menampilkan senyum ramah.
“Hei, ikutlah denganku.” Katanya.
Charly mendongak dengan malas. Ia tidak lagi ingin berhubungan dengan bangsawan. “Tidak berminat.”
“Kau bisa melindungiku. Aku butuh pelindung yang kuat sepertimu.”
Charly meradang, ia semakin sensitif dengan kata ‘melindungi’ sejak dirinya sama sekali tidak pernah berhasil melakukannya. “Aku tidak memiliki kemampuan itu.”
“Kau hanya pernah gagal, makanya kau tidak mau. Siapa yang tahu jika kali ini kau berhasil.”
Sebuah cubitan kecil terasa di hatinya. Apa yang dikatakan oleh bangsawan belia itu tepat sekali menohok hatinya, menekan sisi terluka yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
“Ikutlah denganku, mungkin kau bisa berhasil kali ini.”
Charly merasa bodoh, dan ia tetap melakukannya karena ia memang bodoh. Dua kali ia gagal, dan ia tetap mau menerima tawaran yang sama. Melindungi orang itu, seolah menjadi hasrat terpendam di dalam hatinya, yang telah dua kali tidak berhasil ia wujudkan, yang tetap ingin ia wujudkan.
“Aku akan mencobanya. Aku akan melindungimu, Gilbert Grey.”
-----