"Terima kasih banyak, Pak," ucap Hana sembari berjabat tangan dengan Harry. Keduanya telah sepakat jika Hana akan menyewa apartemen itu dan tentunya Hana langsung mentransfer uang sewa.
"Apakah Anda baru di kota ini?" tanya Harry sedikit berbasa-basi sebelum dia kembali ke kantor. Dia dan Hana meneruskan acara makan siang mereka.
"Ya benar, Pak."
"Jangan panggil aku pak. Harry. Aku rasa umur kita tak jauh berbeda ... Hana."
Hana tersenyum kecil. Kemudian dia mengangguk setuju. "Aku berasal dari Indonesia, Harry. Sebelumnya aku tinggal di hotel sejak beberapa hari lalu. Kemudian aku memutuskan untuk mencari apartemen agar bisa menetap.”
Harry mengangguk paham. "Di mana kamu bekerja?" tanyanya.
"Aku belum mendapat pekerjaan," jawab Hana jujur yang langsung membuat Harry melotot terkejut. Jika Hana tak bekerja, bagaimana wanita ini bisa membayar uang sewa. "Tenang saja, Harry. Aku akan membayar uang sisa uang sewanya. Aku sedang mencari pekerjaan sekarang," lanjut Hana agar pria itu tak khawatir.
Seketika Harry mengingat tentang Saddam. "Apakah kamu mau jika aku tawari bekerja menjadi sekretaris?" ucap Harry yang langsung mendapat atensi penuh dari Hana.
"Sekretaris? Boleh. Memang ada lowongan?" tanya Hana bersemangat. Jika dia mendapat pekerjaan sekarang, mungkin ini adalah hari keberuntungan bagi wanita ini.
"Ya. Di tempatku bekerja sedang membutuhkan sekretaris untuk atasan kami. Jika mau, kamu bisa datang ke sana atas rekomendasi dariku. Aku belum menyebar lowongan ke luar juga," jelas Harry. Terpaksa Harry harus mencarikan Saddam sekretaris karena pada dasarnya Harry tak ingin menjadi sekretaris pria itu. Di mana dia selalu dibuat kesal dengan sikap sang sahabat.
"I will do it! Aku akan ke sana besok," sahut Hana cepat agar tak kehilangan peluang. Melihat betapa bersemangatnya Hana membuat Harry terhibur.
"Tapi, ada satu hal yang perlu kamu tau, Hana," jeda Harry. "Mungkin kamu menjadi sekretaris ke lima belas yang bekerja di sini. Setiap bulannya akan ada sekretaris yang dipecat di sana. Entahlah, atasan kami itu sedikit istimewa. Segalanya harus sempurna dan dikerjakan dengan cepat. Aku memberitahumu sejak awal agar kamu bisa berpikir dulu untuk menerima pekerjaan ini," kat Harry.
Hana terdiam sejenak. Peluang menjadi sekretaris sudah di depan mata. Bagaimana bisa dia menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mencari pekerjaan di jaman seperti ini juga bukan hal mudah.
"Aku terima tawaran ini, Harry. Aku yakin bisa bertahan di sana," putus Hana.
Harry mengangguk. Dia akan mencoba percaya dengan kepercayaan diri wanita ini.
Kemudian siang itu Hana memutuskan untuk mulai menempati apartemen miliknya. Di sini semua apartemen diberi kunci. Tidak ada fitur finger print atau password. Maklum, badget sedikit.
Ketika Hana baru sampai di depan pintu apartemennya, dia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita yang menuju ke pintu apartemen tepat di depan apartemen Hana. Untuk sekedar berbasa-basi, Hana pun menyapa wanita tersebut.
"Oh, hai." Sambutan baik diterima oleh Hana kala itu. "Kamu penghuni baru?" tanya wanita yang belum Hana ketahui namanya itu.
"Ya. Hari ini aku pindah," jawab Hana jujur.
"Oh i see. Bagaimana jika aku bantu?" tawar wanita tersebut.
"Bolehkah? Jika tak keberatan," jawan Hana.
Wanita itu pun membantu Hana memasukkan barang-barang. Ketika memasuki apartemennya, Hana merasakan hawa aneh. Dia mengenyahkan pikiran buruknya, mungkin ini efek karena apartemen sudah lama tak ditinggali.
"Siapa namamu?" tanya wanita tersebut pada Hana.
"Hana. Kamu?"
"Ava. Aku tinggal di depan apartemenmu. Jika butuh bantuan datanglah padaku. Tapi, aku hanya berada di sini ketika pagi hingga sore. Malamnya aku pergi bekerja," ungkap Ava yang membuat Hana mengangguk.
"Terima kasih untuk bantuannya," ucap Hana.
"Sama-sama. Apakah barang-barangmu sudah semua?"
"Sudah. Aku tidak membawa barang banyak," jawab Hana.
"Baiklah, Hana. Salam kenal dan semoga betah tinggal di sini. Jika tak ada yang perlu aku bantu lagi, aku akan pergi ke apartemenku," ucap Ava. Hana mengangguk dan membiarkan wanita tersebut pergi.
Hana langsung menuju ke kamarnya. Dia membuka jendela yang ternyata sebuah balkon kecil. Cukup menarik untuk ukuran apartemen low badget ini. Sembari memandangai view di depannya, wanita itu menghirup udara dalam-dalam. Ini adalah suasana kebebasan untuknya. "Kamu pasti bisa, Hana," ucapnya kepada dirinya sendiri. Dia yakin bisa menemukan kebahagiaannya.
"Aku lupa. Besok adalah interview, aku harus membeli baju agar tak terlihat memalukan," ucap Hana yang langsung membuka koper miliknya dan akan mulai menata barang-barang di apartemen.
"What? Apa ini?" seru wanita tersebut tatkala menemukan beberapa baju di dalam lemari yang ada di kamarnya. Hana menarik baju tersebut dan membukanya. Terlihat seperti pakaian pria. "Apa milik penghuni sebelumnya? Emm, mungkin saja. Baiklah, besok aku akan berikan pada Harry saja," putus Hana. Dia mengeluarkan baju-baju tersebut dan menata bajunya dengan rapi di dalam lemari.
Hana juga menatap alat make up nya di meja rias. "Sepertinya aku harus menata ulang apartemen ini," ujar wanita tersebut. Jujur, suasana di sini sedikit sesak menurut Hana sendiri. Meskipun perabotan hanya sedikit, dinding kamar yang dicat putih dan hitam terkesan gelap bagi Hana pribadi. Dia akan memanggil tukang cat jika gaji pertamanya sudah turun.
Hana butuh waktu banyak untuk menata barang bawaannya. Dia juga sedikit mengubah kursi, meja dan perabotan di sana. Dia tidak bisa mengubah arah kasur karena itu terlalu berat. Mungkin dia akan meminta bantuan Ava kapan-kapan. Ava? Wanita itu akan jadi orang yang sangat Hana repotkan nanti haha.
Setelah dirasa selesai, Hana bergegas membersihkan diri. Dia tak ingin membuang waktu terlalu banyak dan tak ingin terlalu malam untuk pulang karena sekali lagi apartemen ini berada di pinggiran yang bisa dipastikan jalanannya sepi dan rawan kejahatan.
Sudah jam 8 malam. Perutnya pun sudah keroncongan. Hana mengembuskan napas lelahnya. Dia berkeliling toko untuk mendapatkan pakaian yang bagus tetapi dengan harga terjangkau. Sekali lagi ditampar kenyataan bila sedang berada di Paris, bukannya Indonesia.
Untung mengurangi perut keroncongannya, Hana mampir ke minimarket, dia butuh mengisi kulkas dan persediaan di apartemen.
"Bahkan untuk makan pun terasa mahal," keluh Hana tanpa sadar. Wanita tersebut memilih mengambil mie instan yang cukup banyak. Dia tak ada pilihan lain. Kalau pun diterima kerja, dia harus menunggu sebulan lagi untuk mendapat gaji pertama.
Tak lupa Hana juga membeli beberapa sayuran juga dan makanan istan lainnya. Ya sekiranya itu cukup untuk sebulan ke depan.
“Pencernaanmu akan terganggu jika setiap hari memakan makanan itu,” celetuk sebuah suara yang tepat berada di sisi kanan tempat Hana berdiri. Wanita ini reflek menoleh, seketika matanya membulat. Ekspresi terkejut juga tercetak di wajah orang itu, hanya beberapa detik sebelum wajahnya berubah menjadi datar.
Sadar jika pria ini sempat bertemu dengannya di minimarket waktu itu pun membuat Hana menjadi sedikit salah tingkah. Entah mengapa dia selalu gagal fokus dengan warna mata pria ini.
Karena gugup, Hana pun buru-buru menuju ke kasir untuk membayar belanjaannya. Ini sungguh memalukan, belanja bulanan dengan mengisi mie instan cukup banyak di keranjang, dan bertemu pria tampan di minimarket waktu itu. Pria tampan?
Tepat ketika Hana selesai membayar, pria dengan netra biru itu baru menuju ke kasir. Dengan buru-buru Hana pun segera keluar dari toko. Ini benar-benar memalukan.
***
Keesokan harinya Hana sudah rapi dengan baju yang ia beli semalam. Tak ketinggalan dia memoleskan make up juga di sana agar terlihat lebih segar. Hari ini dia hanya sarapan roti. Itu sudah cukup menurutnya, hitung-hitung berhemat.
Hana baru keluar dari apartemen, dia kembali bertemu dengan Ava yang sepertinya baru pulang. “Oh hai, Hana,” sapa Ava lebih dulu.
Hana tersenyum dan sedikit mengernyit ketika mencium bau aneh dari tubuh tetangga apartemennya ini. “Hai, Ava. Kamu baru pulang kerja?” Ava mengangguk. Hana jadi berpikiran pekerjaan apa yang wanita ini lakukan? Bekerja di malam hari dan pulang di pagi hari. Pikiran Hana menjadi buruk sekarang.
“Kamu mau berangkat bekerja?” tanya Ava.
“Oh tidak. Aku sedang ada wawancara sekarang.”
“Wow. Aku doakan lancar.”
“Terima kasih, Ava. Kalau begitu aku akan berangkat sekarang agar tidak terlambat.”
“Itu bagus. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Hana pun masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai bawah. Karena masih baru di kota ini, jadi Hana tidak tau jalanan. Dia hanya bisa mengandalkan taksi untuk sekarang, dan berharap tidak dibodohi oleh si taksi.
Taksi yang Hana tumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan tinggi dengan lantai yang mungkin Hana tak sanggup menghitungnya. Dia tak menyangka akan bekerja di tempat seperti ini, terlebih lagi menjadi sekretaris dari pemilik perusahaan. Bisa dibilang Hana mungkin sudah nekat karena dia sendiri tak memiliki pengalaman apa pun dalam bidang ini.
Hana langsung menuju ke resepsionis dan menyebut nama Harry sebagai janji temu mereka. Hana pun diminta untuk menuju ke lantai sepuluh, di mana Harry sudah menunggunya di sana. Hana mengangguk dan langsung bergerak masuk ke dalam lift.
Tepat ketika pintu lift tertutup, sosok pria dengan jas mahal dan wajah tampannya baru masuk ke lobi. Semua orang nampak menunduk hormat, dia adalah Saddam. Berjalan gagah dan langsung masuk ke dalam lift. Tidak ada seorang pun yang berani mengusik pemilik perusahan di pagi hari seperti ini.
Hana baru saja menginjakkan kaki di lantai sepuluh. Dia mengernyit ketika menemukan hanya ada dua ruangan di lantai itu. Dan toilet tentu saja. Di sana tertulis ruang meeting, Hana pikir tidak mungkin Harry berada di sana. Ruangan satunya tidak ada nama.
“Apa mungkin ruangan ini?” gumam Hana. Dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Menunggu dalam beberapa saat tak ada sahutan dari dalam sana. Hana sepertinya terlihat seperti orang bodoh. Kenapa dia tak menelepon Harry saja? Dengan sigap Hana langsung mencari ponselnya di dalam tas.
“Apa yang kau lakukan di depan ruanganku?” tegur Saddam dan berhasil membuat Hana terlonjak kaget. Wanita itu reflek berbalik dan langsung mundur beberapa langkah.
Baik Hana dan Saddam, keduanya saling menunjukkan wajah terkejut mereka. Ini adalah pertemuan ketiga mereka. Pria dengan netra biru yang Hana temui di toko adalah Saddam. Dan Saddam juga sepertinya tidak menyangka akan bertemu wanita ini lagi. Kalian pasti ingat mengenai perkataan tiga pertemuan bukan? Jika kau bertemu orang sebanyak tiga kali tanpa sengaja, itu bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Orang itu akan berpengaruh di dalam hidupmu nanti.
“Apa yang kau lakukan di depan ruanganku?” Saddam mengulang pertanyaannya. Hana yang sadar jika ini bukan ruangan Harry pun langsung menunduk.
“Maaf. Aku sedang ada janji dengan Harry. Apakah kamu tau di mana dia berada?” tanya Hana
Saddam mengernyit ketika wanita yang sudah tiga kali bertemu dengannya ini mengenal Harry. “Apa kau … kekasihnya?”
Bola mata Hana langsung membuat sempurna. Dia menggeleng cepat di sana. “Bukan. Kamu salah paham. Tapi, apakah kamu mengenal Harry? Aku harus segera menemuinya sekarang,” tanya Hana sedikit panik. Dia tak ingin terlambat datang untuk wawancara kerja.
“Hana.”
Panggilan dari arah lift pun membulat kedua orang ini reflek menoleh. Hana lega akhirnya Harry sudah datang. Harry langsung menghampiri mereka sembari membawa tiga kantong minuman di tangannya.
“Kalian sudah berkenal ternyata. Ayo kita masuk,” ucap Harry santai. Saddam dan Hana pun sama-sama mengernyit.
“Tunggu, Harry,” cegah Saddam membuat mereka urung masuk ke dalam ruangan Saddam. “Kenapa wanita ini ikut masuk? Bisa kau jelaskan padaku?” lanjut Saddam.
Harry menepuk dahinya pelan. “Aku lupa memberitahumu, Saddam. Dia Hana. Dia akan menjadi sekretaris barumu.”
“APA?!” pekik Saddam dan Hana bebarengan.