Bagian 4

1585 Words
Di sinilah ketiga orang ini. Saddam, Hana, dan Harry nampak sudah berada di dalam ruangan Saddam. Tatapan penuh masih pria ini tujukan kepada kedua orang dengan inisial yang sama itu. Hana pun tak berpikiran jika dia akan bertemu pria yang sama di minimarket. Dan tidak tau juga jika pada akhirnya dia akan menjadi sekretaris pria itu. Benar sih Hana mengagumi warna netra Saddam yang indah, tapi tetap saja dia belum bisa menerima segala kebetulan ini. Harry berdeham untuk mencairkan suasana. Hana memilih lebih baik menatap Harry saja dibandingkan Saddam. Entah kenapa dia mendadak gugup ketika berhadapan dengan pria itu. “Karena Hana sudah datang, dan kau pun sudah tau, maka sudah tidak perlu aku jelaskan lagi, kan? Hana akan menjadi sekretaris barumu, Saddam. Dan Hana, ini adalah Saddam, kamu akan bekerja bersama dia,” terang Harry. “Aku sudah mengatakan jika tidak membutuhkan sekretaris padamu,” seloroh Saddam. Perkataan pria itu membuat Hana sedikit tersinggung di dalam hatinya karena dia berpikir bila Saddam tidak menginginkan kehadirannya di sini. “Hei, kau butuh sekretaris, dan Hana adalah orang yang tepat. Sudahlah, jangan banyak bertingkah. Terima saja ini,” kata Harry. Melihat betapa beraninya Harry kepada atasannya sendiri membuat Hana tentu mengernyit bingung. Melihat kebingungan di wajah Hana membuat Harry memakluminya. “Jangan terkejut, Hana. Aku dan dia memang selalu begini. Kami sudah bersahabat sejak lama,” jelas Harry agar Hana tidak berpikiran buruk mengenai hubungan kedua pria ini. “Sahabat yang tak tau diri,” sindir Saddam. Harry malah terkekeh dan merasa tak sakit hati. Harry berdiri dari tempat duduknya. Hal itu membuat Saddam dan Hana jadi ikut berdiri juga. “Kalau begitu aku akan kembali ke tempatku. Saddam, tolong bimbing Hana dengan baik. Hana, semoga kamu betah di sini ya,” pamit Harry. Hana ingin pergi saja bersama dengan Harry dari pada dia harus berduaan dengan Saddam. Atmosfernya membuat sedikit berbeda di antara mereka. “Oh iya, Hana.” Langkah Harry berhenti di pintu keluar. “Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Kalau pria itu berbuat macam-macam, kau bisa melaporkannya padaku.” Hana mengangguk ragu, sedangkan Saddam nampak ingin menghajar sahabatnya itu. Harry meninggalkan keduanya dengan sejuta kebisuan di sana. Saddam mengembuskan napas beratnya. Dia harap wanita bernama Hana ini tidak seperti sekretaris-sekretaris miliknya yang sebelumnya. “Kau bisa mulai membuat jadwalku selama seminggu ke depan,” ucap pria itu. Hana mengangguk dan segera mengambil buku yang Saddam siapkan dan berikan padanya. Hana membuat buku itu, dia langsung mengerjakan tugasnya. Mulai mendata dengan rapi agar mudah dibaca. “Hari ini aku ada meeting di luar. Jadi—” “Jam sebelas siang, Pak,” potong Hana mencoba mengingatkan sesuai dengan yang ada di buku. Saddam mengangguk. “Di meeting nanti perhatikan dan catat hal penting. Apakah kau bisa melakukan itu?” tanyanya hati-hati. Saddam tak mengerti kenapa cara bicaranya menjadi seperti ini sekarang. “Bisa, Pak,” jawab Hana dengan mantab. Harry sendiri tampak sibuk menyiapkan ruangan untuk Hana saat itu. Dia jadi tertawa sendiri ketika mengingat ekspresi terkejut Saddam ketika dirinya membawa Hana tadi. Bunyi dering ponsel membuat atensi Harry menuju ke benda kecil itu. Sebuah nama tertera di sana. Sudut bibir pria ini terangkat dan langsung menempelkan ponselnya di telinga. “Halo.” “…” “Aku di kantor. Kenapa?” “…” “Oh? Apakah kamu sedang buru-buru?” “…” “Baiklah. Aku akan berangkat sekarang.” Panggilan pun terputus. Harry buru-buru membereskan semuanya. Setelah itu terlihat pria ini nampak buru-buru untuk keluar. Sepertinya dia akan ke tempat orang yang menghubunginya barusan. “Kau kenal Harry di mana?” tanya Saddam mencoba mencairkan suasana sekaligus mencari tahu di mana Harry menemukan sekretaris barunya ini. Tapi, ada yang aneh. Ini bukanlah sifat Saddam. Biasanya juga dia tidak pernah berbasa-basi dan tidak peduli di mana Harry mendapatkan sekretaris untuknya. “Saya bertemu Pak Harry saat melakukan penyewaan apartemen, Pak,” jawab Hana yang langsung mendapat atensi penuh dari Saddam. “Jadi … kau yang menyewa apartemen milikku?” “Eh?” Hana terkejut mendengar penuturan pria ini. “Itu apartemen Pak Saddam?” tanya Hana memastikan. “Ya. Dan apartemen yang kau tempati itu adalah milikku. Aku sering berada di sana.” Hana pun terkejut. Pantas saja aura apartemennya sedikit berbeda. Hana memaksakan senyumnya. “Maafkan saya. Saya tidak tau soal itu.” “Ya, kau memang tidak tau. Ini semua memang salah Harry. Dia selalu seenaknya melakukan segala hal,” ucap Saddam yang tak habis pikir dengan sahabatnya. “Jam berapa sekarang?” tanya Saddam kemudian. “Jam sepuluh lebih, Pak.” “Lebih baik kita berangkat sekarang,” putus Saddam yang disetujui oleh Hana. Hana mengangguk dan langsung mengambil alih map yang akan Saddam bawa. “Tidak perlu. Aku bisa membawanya sendiri,” tolak pria itu. Hana mengernyit, tetapi dia membiarkannya saja. Harry baru saja tiba di depan rumah dengan halaman yang cukup luas. Dia langsung masuk ke dalam rumah itu tanpa permisi sedikit pun. Langkah kakinya menuju ke salah satu kamar yang ada di sana. “Sudah siap?” tanyanya kepada seorang wanita dengan tas besar miliknya. Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Harry mendekat dan mengambil alih tas besar milik wanita ini. Keduanya berjalan menuju ke luar kamar. “Apa tidak tunggu weekend saja? Aku bisa menemanimu nanti jika weekend,” usul Harry. Setelah sampai di luar rumah, Harry memasukkan tas tadi di bagasi. Kemudian dia menyusul si wanita yang sudah masuk ke dalam mobil. “Tidak perlu, Harry. Aku bisa berangkat sendiri,” ucap wanita yang duduk di sebelah Harry sekarang. Pria ini tak berkata lebih lagi dan mencoba fokus dengan jalanan. “Bagaimana kabar Saddam?” tanya wanita itu tiba-tiba dan berhasil membuat perubahan pada perasaan Harry kala itu. “Dia baik,” jawabnya singkat. “Sudah lama sekali. Terima kasih Harry karena sudah membantuku selama ini dan tetap dalam diam di depan Saddam.” Harry mengangguk. Dia melakukan ini untuk kebaikan dirinya sendiri dan sang sahabat juga. Beralih kepada Saddam dan Hana yang sudah sampai di perusahaan yang menjadi tempat meeting mereka. Hana selalu berjalan di sisi Saddam dan mencoba mengingat segala hal yang pria ini beritahukan padanya mengenai bagaimana cara bekerja bersama dengan Saddam alias sebagai sekretaris pria ini. Mereka pun masuk ke dalam ruangan meeting yang diantar oleh seorang pria. Di dalam sana sudah ada beberapa orang yang hadir. Hana jadi minder sendiri karena semuanya tampak pria sedangkan hanya dirinya seorang wanita di sana. Meeting tak langsung dimulai saat itu juga karena sepertinya masih harus menunggu beberapa orang lagi. Saddam duduk tepat di sebelah Hana kala itu dengan wanita ini yang tampak sedikit gugup. Bagaimana tidak, ini adalah hari pertama ia bekerja dan dia langsung disuguhkan oleh meeting seperti ini. Saddam yang melihat wanita di sebelahnya gugup langsung menggeser air. Hana menoleh. “Minumlah,” perintah Saddam. Hana mengangguk, dia menenggaknya sedikit. Tak beberapa lama kursi sudah dipenuhi oleh orang-orang. Meeting pun dimulai dan ada satu pembicara di depan sana untuk mempresentasikan proyek mereka. Saddam terlihat fokus sekali. Hana sendiri tampak sibuk mencatat hal-hal penting, seperti kata Saddam. Satu jam lamanya Hana berada di sana. Dengan orang yang bergantian mempresentasikan proyek mereka. Bahkan Saddam pun juga. Hana cukup takjub dengan bagaimana Saddam menjelaskan segalanya. Seperti ini untuk mengambil keputusan proyek mana yang akan mereka ambil atau kerjakan nantinya. Karena betapa profesionalnya Saddam, wanita ini tak ingi mengecewakan atasannya itu. Kesepakatan diambil bahwa proyek yang Saddam ajukan akan mereka kerjakan lebih dulu karena menurut mereka proyek ini membawa keuntungan lebih cepat dibandingkan yang lain. Saddam pun juga setuju karena dia sudah merencakan ini dengan penuh matang. “Jam berapa sekarang?” tanya Saddam kepada Hana ketika keduanya menuju ke luar lift. “Dua belas lebih, Pak,” jawab Hana. “Kita mampir makan siang dulu,” putus Saddam. Hana mengangguk setuju. Keduanya masuk ke dalam mobil yang tadi mereka tumpangi sebelumnya. Dan itu dikendarai oleh supir Saddam. Tak beberapa lama mobil ini berhenti di sebuah restoran. Saddam turun bersama dengan Hana. Hana sebenarnya bingung apakah dia ikut ke dalam restoran atau menunggu saja di dalam. Seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka. Saddam menyebutkan makanan dan minuman yang ia pilih. Hana menatap menu di depannya. Dia menelan ludah melihat makanan foto makanan yang tampak mengenakkan, tetapi ketika melihat harganya, dia jadi tak kuasa. Hana melirik Saddam. Saddam yang melihat lirikan itu mengernyit. “Apakah ada nasi goreng?” tanya Hana hati-hati. “Tidak ada, Nona,” jawab sang pelayan. Hana tak habis pikir. Bagaimana bisa sebuah restoran tidak ada nasi goreng. “Samakan saja dengan pesanan saya,” sela Saddam. Pelayan mengangguk dan bergegas pergi. Hana tersenyum canggung. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Saddam. “Saya … berapa harga makanan tadi, Pak?” tanya Hana berhati-hati. Saddam tersenyum tipis. “Apakah kau pikir aku tega membiarkan seorang wanita membayar?” jelas Saddam yang membuat Hana bernapas lega. Melihat ekspresi yang dikeluarkan wanita itu membuat Saddam hanya bisa menggelengkan kepala. “Nanti aku potong dengan gaji pertamamu.” “APA?!” pekik Hana membuat Saddam tak kuasa menahan tawa. “K-kok gitu sih, Pak? Kalau begini saya tidak mau makan di sini. Mending makan roti saja sudah cukup,” sahut Hana. Belum juga gajian udah kena potong. Kan dia butuh uang untuk membayar sewa serta kebutuhan setiap hari. Kalau begini jadinya, Hana akan membeli makanan yang murah-murah saja. “Aku hanya bercanda,” kata Saddam. Hana bernapas lega, tetapi tetap saja celetukan Saddam membuatnya jantungan. Saddam cukup terhibur melihat ekspresi terkejut wanita itu. Dan entah kenapa dia jadi memiliki selera humor sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD