Jadi pria ini yang akan menjadi suamiku. Aku masih mengingat pertemuan pertama kami. Sekitar sepuluh tahun yang lalu. Di saat itu aku masih kelas satu SMA. Hari Senin saat masuk sekolah. Aku merasa senang karena dapat masuk di sekolah favorit. Di mana hanya terdiri siswa yang pandai. Aku berdiri di depan gedung. Senyuman yang manis menghiasi wajahku. Aku kemudian berjalan masuk menuju ruangan kelasnya. Bel masuk kemudian berbunyi. Di dalam kelas banyak murid wanita yang sedang berkumpul. Beberapa murid berteriak dan ada juga memegang wajah kekaguman. Aku kemudian melihat ke arah seorang siswa pria yang sedang duduk di ujung. Dia murid yang tampan. Tapi terlihat sangat dingin seperti es. Aku kemudian duduk di kursi yang kosong. Bel masuk berbunyi. Murid wanita yang mengelilingi pria itu kembali ke tempat duduknya masing-masing. Aku menatap kembali pria yang duduk di tempat paling ujung . Dia merasa heran kepada para murid wanita yang jatuh cinta kepada pria itu hanya karena berwajah tampan. Pak guru menerangkan pelajaran. Aku mencatat semua pelajaran.
"William."
Pak guru memanggil nama salah satu siswa. Murid melihat ke arah belakang. Pria yang berada di ujung kemudian berdiri lalu berjalan ke depan. Jadi pria itu bernama William. Siswa wanita terkagum dengan pesona William yang berjalan maju ke depan. Hanya aku yang membuang muka.
"Coba kamu jawab pertanyaan ini."
Pak guru mengatakannya. William dengan tenang berjalan ke depan.
"Bagaimana dengan jawabannya?"
William kemudian kembali ke tempat duduknya. Semua murid terkejut melihatnya. Aku melirik ke samping. Dia beranggapan kalau pria itu cukup pandai walaupun memiliki sikapnya kurang sopan karena tidak menyebutkan nama guru. Jam istirahat kemudian berbunyi. Irene keluar dari kelas. Hari ini dia ingin membawa bekal dari rumah. Irene ingin menghabiskan bekal miliknya di taman sekolah. Di depan berjarak beberapa meter ada seorang siswa wanita yang berjalan mendekati William. Siswa wanita itu kemudian memberikan sebuah hadiah kepada William dan meminta untuk menerima hadiah itu. William kemudian tersenyum.
"Terimakasih."
Siswa wanita itu merasa senang lalu membungkukkan badannya dan berjalan pergi. Setelah sosok siswa wanita yang memberikan hadiah pergi. William kemudian menghela nafas dan kemudian membuang hadiah ke dalam tempat sampah. Aku kemudian meninju tanganku. Hatiku merasa sangat marah. Padahal siswa wanita itu sudah memberikan hadiah. Tetapi William begitu kejam membuangnya. Jika tidak suka seharusnya dari awal William menolak pemberian wanita itu.
"Dasar pria bermuka dua!"
Aku menggerutu kesal kemudian kembali ke dalam kelas.
"Kamu kenapa? Wajahmu kelihatan sedang kesal."
Seorang siswa wanita mendekatiku. Ariana. Dia adalah teman yang duduk di sampingku.
"Tidak. Hanya saja hari ini nasibku begitu buruk hingga bertemu dengan siswa pria yang sombong."
"Aku baru tahu ada siswa yang seperti itu."
"Iya. Aku melihatnya sendiri. Siswa itu mendapat hadiah dari seorang gadis. Di depan gadis itu dia menerimanya dan tersenyum. Tetapi setelah gadis itu pergi. Dia lalu membuang hadiah ke tempat sampah."
"Benar-benar kurang ajar sekali siswa itu."
Ariana memukul mejanya dengan keras. Dia ikut kesal mendengar ceritaku. Semua murid yang berada di kelas melihat kearah kami berdua. Ariana kemudian duduk kembali di kursinya.
"Iya. Memang benar kurang ajar."
Aku menyetujui perkataannya.
"Bagaimana kalau kita memberi pelajaran pada siswa itu?"
Ariana memberikan sebuah gagasan yang sangat bagus. Aku kemudian menganggukkan kepala. Ariana membisikan rencananya kepadaku. Sepulang sekolah Kami berdua membeli perekat.
"Kita akan kembali ke sekolah saat malam hari."
Ariana mengatakan kepadaku .
"Kalau begitu sampai bertemu nanti malam."
Aku menjawab kemudian melambaikan tanganku.
"Apakah tidak berbahaya jika kita ke sekolah saat hari sudah gelap?"
Aku kemudian bertanya dengan tubuh bergetar. Kami sekarang berada di depan gerbang sekolah. Ada sebuah cerita menyeramkan mengenai hantu yang sering muncul di sekolah saat malam hari. Konon ada seorang siswa yang bunuh diri jatuh dari atap gedung. Setelah kejadian itu atap sekolah sekarang di tutup. Di beri tanda peringatan di depan pintu ruangan atap tidak boleh masuk ke dalam. Bagaimana jika arwah itu datang? Lebih baik aku melakukannya setelah pulang sekolah.
"Ternyata Irene orang yang penakut?"
Aria berkata kepadaku kemudian tertawa.
"Apakah kamu tidak mendengar jika sekolah kita ada hantu?"
"Maksudmu siswa yang bunuh diri itu. Tenang aja itu hanya cerita kebohongan. Tidak ada hantu di sekolah."
Hatiku sudah mulai tenang setelah mendengar perkataan dari Ariana. Sesuai dengan rencana. Kami datang ke sekolah pada malam hari. Ariana lalu berjalan ke arah sisi bangunan. Ada sebuah lubang kecil.
"Ayo kita masuk!"
Ariana masuk ke dalam lubang itu. Aku mengikutinya dari belakang. Ternyata ada lubang di sisi bangunan. Aku baru mengetahuinya. Para siswa bisa dengan mudah untuk pergi melalui lubang meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan guru. Lubang itu pasti di buat oleh siswa yang bersekolah disini. Kami kemudian masuk ke gedung sekolah. Lantai satu terlihat terang. Kelas kami berada di lantai dua. Kami menaiki tangga dengan perlahan menuju ke kelas. Berbeda dengan lantai satu. Ruangan lantai dua sangat gelap. Aku lalu mendekati Ariana dan memegang erat tangannya. Ariana menyalakan lampu di handphone.
"Kita sudah tiba di lantai dua."
Ariana berkata kepadaku.
"Sebenarnya siswa itu adalah teman kelas kita."
"Teman kelas kita. Siapa?"
Ariana bertanya kepadaku dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.
"Bagaimana kalau kita masuk ke dalam kelas sebelum ada yang melihatnya.
Aku kemudian mengatakannya. Beruntung sekali kalau Ariana mau mendengarkan perkataanku. Kami berdua dengan segera berjalan menuju ke ruangan kelas. Setelah masuk ke dalam. Ariana mengambil perekat yang berada di dalam sakunya dan memberikan perekat itu kepadaku.
"Kamu tuangkan perekat ini ke kursi siswa itu. Ketika dia duduk. Perekat ini akan menempel dengan erat di pakaiannya. Saat dia bangun. Dia tidak akan bisa lepas dari kursi itu. Semua teman kita pasti akan tertawa melihatnya."
Aku mengangguk kepala dan menerima perekat itu. Kursi milik William berada di tempat paling ujung. Aku kemudian mendekati tempat duduknya. Membuka tutup perekat dan akan menuangkan perekat ke atas kursi milik William.
"Tunggu sebentar Irene!"
Ariana memegang tanganku dan berusaha untuk menghalangi.
"Kenapa memegang tanganku? Bukankah kamu yang menyuruhku untuk meletakkan perekat ini."
Aku bertanya kepadanya. Ariana lalu mengalihkan pandangan ke arahku.
"Apakah siswa yang kamu ceritakan kepadaku adalah William?"
Ariana bertanya dengan ekspresi wajah yang pucat.
"Iya benar."
Aku kemudian menjawabnya. Ariana terlihat seperti sangat terkejut setelah mengetahui siapa siswa pria itu.