Kembali ke acara pertemuan makan malam antara Irene dengan William, keduanya sudah selesai bicara empat mata dan mengatakan alasan kenapa William menerima perjodohan itu. Irene sendiri sudah memikirkan semuanya, dia juga telah mengambil langkah apa yang akan menjadi keputusannya dalam hal ini.
"Lihatlah, nyonya Alexia. Mereka berdua sangat serasi sekali, aku sudah tidak sabar lagi berada di pelaminan mendampingi mereka."
Nyonya Victoria berseru bahagia, matanya mengembun mungkin karena terharu putra bungsunya akan mempunyai istri dari putri temannya. Itu hanya dugaanku saja.
"Kamu benar nyonya Victoria, aku juga demikian. Akhirnya apa yang kita berdua inginkan sejak lama, sebentar lagi akan terwujud. Hubungan keluarga akan berlanjut menjadi besan."
Ibuku juga tidak kalah bahagia dari nyonya Victoria, dia merasa beruntung putrinya punya suami seperti William sesuai dengan impiannya selama ini.
Dan sekarang tinggalah aku seoarang diri yang belum menyatakan reaksi apapun, atau menjawab apakah menerima perjodohan ini atau tidak. Sepertinya aku tidak punya alasan untuk menolaknya, sebab yang di katakan William ada benarnya juga. Lihat saja wajah ibu yang begitu sumringah, seolah telah mendapatkan lotre dengan jumlah besar. Mana tega aku mengecewakannya.
"Tapi nyonya Alexia harus menanyakan terlebih dulu pada Putri Anda, apakah bersedia menerima perjodohan ini? Menjadi istriku?"
William melirik sekilas ke arahku yang tengah menatap piring di hadapanku, perutku sudah tidak berselera lagi dengan makanan lezat yang tersaji di atas meja. Jika bisa aku ingin menghilang dari tempat ini.
"Irene, kamu bersedia kan menerima perjodohan ini?"
Nada suara ibu terdengar cemas, dan aku bisa melihat itu dari wajahnya. Padahal barusan dia sangat bahagia sekali.
"Hmmm. Iya." Hanya dua kata itu yang bisa aku katakan, tapi sungguh efeknya sangat luar biasa sekali. Seketika ibu kembali ceria dan bersorak bahagia, memeluk wanita di sampingnya.
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa perasaanku saat ini, mau menolak tidak tega melihat wajah sedih ibu. Menerima pun juga tidak lebih baik dari itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Biar William yang mengantar kalian pulang, aku bisa pulang dengan sopir."
Nyonya Victoria meminta putranya untuk mengantar aku dan juga ibu pulang, dan ibu langsung menyambutnya dengan suka cita.
"Terima kasih banyak, nyonya. Kalau begitu anda hati-hati di jalan. Kami pulang dulu."
Ibu menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam mobil William, bagai kerbau yang di cucuk hidupnya aku menurut saja.
"Iya, iya. Kalian juga hati-hati di jalan, antar mereka sampai rumah dengan selamat. Sampai jumpa lagi."
Nyonya Victoria melambaikan tangan saat mobil William mulai meninggalkan restoran.
Sepanjang perjalanan ibu melihat kekaguman pada kendaraan yang dia naiki sekarang, bisa duduk di dalam mobil yang sama dengan calon menantunya. Aku sendiri tidak berselera untuk bicara apapun.
"Maaf, nyonya apakah boleh besok aku mengajak Irene untuk pergi makan malam?"
William membuka percakapan setelah lumayan cukup lama terdiam, fokus matanya tetap ke depan.
"Tentu saja boleh, aku senang sekali mendengarnya."
Jawaban ibu adalah yang umum terjadi ketika seorang pria meminta ijin mengajak anak gadisnya pergi berkencan. Dan William berhasil mengambil hati ibu dengan sikapnya yang ramah.
Keesokan harinya aku bekerja seperti biasanya dan berusaha melupakan tentang pertemuan semalam dengan William dan ibunya, sekarang aku hanya ingin fokus bekerja dan setelah selesai pulang lalu istirahat.
"Kamu sudah pulang kerja?"
Kak Sai menyapa saat aku baru saja sampai rumah.
"Hmmm. Aku langsung ke kamar ya kak, lelah sekali rasanya. Aku ingin segera tidur."
Aku melewati kak Sai yang sedang duduk di beranda luar. Dia lalu mengatakan satu hal yang membuat rasa lelah di tubuhku seketika menghilang.
"Di ruang tamu ada William yang menunggumu, katanya mau mengajak kencan makan malam. Dan ibu sudah memberikan ijin, bersiaplah. Jangan sia-sia pria baik seperti dia."
Nada suaranya memang terdengar datar dan biasa saja, tapi justru membuatku tidak percaya kalau kak Sai sudah langsung menilai seperti apa William. Padahal mereka baru bertemu sekali dan itu juga pasti hanya sekilas, sebab kak Sai bukan tipe orang yang suka basa-basi.
"Aku memang setuju dengan perjanjian pra nikah yang kamu katakan tadi, tapi ada syaratnya dan kamu harus baca ini baik-baik, jika keberatan maka perjodohan ini batal."
Aku memberikan selembar kertas berisi syarat yang aku ajukan lada William, dan berharao kalau pria itu menolak sehingga perjodohan ini tidak berlanjut dan aku bisa hidup bebas. Tapi harapanku sepertinya gagal, Sebab melihat dari ekspresi wajah pria itu. Dia biasa saja setelah membaca semua syarat dariku.
"Baiklah, aku setuju dengan syarat yang kamu ajukan ini. Sama sekali tidak keberatan, bagiku tidak ada masalah."
Dengan santai William menaruh kertas tersebut ke atas meja. Dia malah tersenyum ke arahku.
"Apakah kamu yakin? Coba baca ulang, aku tidak mau di salahkan."
Aku menyodorkan ulang kertas tersebut agar bisa di baca baik-baik oleh William.
"Tidak perlu, aku setuju dengan persyaratan itu."
Yakin dan tegas, itulah jawaban yang aku dengar dari William.
"Tapi apa kamu tidak keberatan dengan syarat nomor satu ini? Kamu tidak di ijinkan untuk menyentuhku selama aku belum bisa menerimamu sebagai suamiku, dan juga sampai aku benar-benar mencintai kamu."
Aku membaca ulang syarat tersebut, yang menurutku adalah syarat paling berat bagi pria dewasa yang sudah menikah.
"Apa kamu tidak mendengar dengan seksama, aku sama sekali tidak kebaratan dengan syarat yang kamu ajukan. Dan tidak ada masalah akan hal itu, lagi pula pernikahan ini semata hanya untuk kebahagiaan Ibu, jadi kamu tenang saja. Tidak perlu khawatir, aku tidak akan menyentuhmu sesuai dengan yang kamu mau."
Jawaban dari William membuat aku tidak lagi khawatir atau cemas memikirkan kehidupan setelah pernikahan itu terjadi, lagi pula aku masih tetap bisa bekerja seperti biasanya. Jadi apa lagi yang harus aku takutkan.
"Baiklah, jika kamu setuju. Maka aku ucapkan terima kasih banyak atas kerjasamanya,"
Aku bisa bernapas lega dan sekarang ingin menikmati makanan yang bebarapa menit lalu aku pesan, semilir angin menerpa wajahku dan itu menambah cita rasa pada masakan ini. Semantara William juga melakukan hal yang sama, dia memakan makanannya dengan ekspresi santai dan tenang.
"Setelah makan, mau di antar ke mana lagi? Langsung pulang atau kamu ada yang ingin di beli?"
"Langsung pulang saja, aku lelah ingin cepat-cepat istirahat."
Aku menghabiskan sisa makanan, dan pamit ke kamar mandi sebentar. Setelah itu kami berdua menikmati indahnya pemandangan laut di malam hari. Suara debur ombak yang menghantam batu karang membuat suasana semakin syahdu.