Ada yang berkesan setelah kencan semalam, aku tidak tahu kenapa jadi sering memikirkan Irene. Wajah wanita itu seolah terus saya menari-nari di pelupuk mataku. Lama-kelamaan aku bisa gila dibuatnya. Syarat yang dia ajukan juga tidak berarti untukku karena alasan menerima perjodohan itu demi senyum ibu yang mulai terlihat lagi setelah bertahun-tahun lamanya.
"Sial! Kenapa wajahnya berkelebat mengganggu pekerjaanku? Dia itu hanya wanita biasa, tidak ada yang istimewa darinya. Ayolah, William fokus."
Aku bingung sendiri karena tidak bisa menguasai keadaan, membuat gagal fokus. Sementara pekerjaan sudah menumpuk menunggu untuk di selesaikan.
Ada beberapa yang membuatku tertarik pada Irene, tentang kepribadiannya yang tidak jauh denganku. Yaitu penurut sama ibunya, menjaga sekali agar ibunya tidak terluka, sama-sama gila kerja dan mementingkan karier. Dan tidak bergantung pada siapapun, punya penghasilan sendiri adalah sebuah kebanggan bagi anak muda di era digital seperti sekarang ini, jadi cukup salut dengan prinsip wanita itu karena dia ingin tetap bekerja setelah menikah, padahal penghasilanku saja lebih dari cukup tapi Irene bilang tidak ingin bergantung pada siapapun termasuk diriku.
"Sepertinya memang akan cocok kalau dia jadi istriku, membayangkannya saja sudah membuatku merasa lucu."
Ah, aku seperti orang tidak waras terus saja tentang wanita itu. Padahal baru bertemu semalam.
Saat di sekolah dulu, Irene adalah salah satu siswa yang terlihat tidak tertarik pada pamor William, sementara hampir semua siswa wanita mengidolakan pria itu. Pembawaannya yang cool, tampan, mempesona apalagi jika sedang tersenyum. Semua itu bagaikan sihir yang siap melenakan siapa saja yang menatapnya, tapi tidak dengan Irene. Wanita satu itu tetap acuh saat semua siswa membicarakan atau menggosipkan tentang William, banyak yang mengidolakan.
"Masa-masa saat sekolah dulu, aku masih mengingatnya. Bagaimana keras kepalanya dia, keberaniannya mengungkapkan saat beradu argumen baik dengan guru maupun siswa lainnya. Meski tidak di katakan cerdas, tapi percaya diri yang dia miliki sudah melebihi semuanya."
Aku tidak mungkin lupa saat tiga tahun berada dalam satu kelas bersama Irene, dia wanita yang cukup misterius. Acuh dengan setiap kehebohan yang di sebabkan oleh para siswa membicarakan William. Seolah Irene hanya seorang diri di kelas, dia bisa fokus belajar di tengah riuh suara teriakan para teman-teman wanitanya.
"Dia sangat unik, berbeda dari yang lainnya. Aku cukup memperhatikannya dari jauh, di saat teman-temannya heboh saling bersaing mencari perhatian dariku. Sementara Irene seolah tidak pernah memperdulikan atau menganggap keberadaan ku. Bagaimana bisa dia bersikap acuh seperti itu, cik."
Otakku masih saja memikirkan Irene, tidak fokus kerja dan tersenyum sendiri membayangkan masa-masa waktu sekolah dulu.
"Kamu memang berbeda, Irene. Membuatku penasaran. Tunggu saja apa yang aku perbuatan selanjutnya, aku pastikan kamu akan jatuh hati padaku."
Itu sebuah janji pada diriku sendiri, sebab banyak kenangan di masa lalu saat aku sama-sama masih sekolah bareng dengan Irene. Hingga membuatku merasa penasaran.
Menjadi anak tunggal setelah kepergian kak Aris membuatku belajar setiap harinya supaya bisa menggantikan posisi anak sulung di rumah, kebanggan orang tua juga berprestasi di sekolah. Dan usahaku membuahkan hasil. Perlahan sikap ayah yang semula keras kepala sedikit demi sedikit bisa melunak saat bicara denganku, meski tidak seperti seorang ayah pada anaknya. Tapi bagiku itu adalah sebuah kemajuan yang lumayan cukup besar dalam kehidupanku selama ini.
"Kamu sudah menunjukan kehebatan mu di sekolah, menjadi juara kelas secara berturut-turut setiap tahun. Ayah senang, pertahankan itu."
Ayah menepuk pundak ku dengan wajah terlihat penuh kekaguman, tidak mengapa aku yang menyangka itu adalah benar. Meskipun kenyataannya tidak seperti itu, sejak saat itulah aku semakin semangat belajar dan belajar lagi. Hingga satu kejadian yang membuat hati ini merasa tertarik pada lawan jenis.
"Sedang apa kamu di sini?"
Tegur ku saat melihat seorang siswa wanita baru saja masuk sekolah melalui lubang di tembok bangunan sekolah, dia terkejut karena kepergok seperti tengah mencuri. Wajahnya terlihat marah padaku.
"Kamu sendiri ngapain di sini? Menguntit ku?"
Tuduhnya dengan wajah marah dah mata mendelik, sungguh dia terlihat sangat lucu sekali. Baru pertamakali aku bisa secara dekat menatap wajahnya yang cantik dan natural, tidak seperti temannya yang berdandan bagaikan badut jalanan, bedak tebal dan lipstik merah seperti baru saja meminum darah.
"Ini sekolahan, wajar jika aku ada di sini. Yang tidak wajar itu kamu, bukanya masuk lewat pintu gerbang ini justru lewat lubang dengan mengendap seperti pencuri saja."
Tambah ku dengan perilaku wanita itu.
"Terserah."
Jawabnya, lalu pergi berjalan menuju masuk ke dalam kelas.
Aku berjalan menuju ruang di mana ada banyak layar monitor terpasang di sana, merekam dari setiap sudut sekolah. Kebetulan yang menjaga ruangan itu sedang tidak ada, jadi aku buru-buru menghapus tentang video yang merekam detik-detik seorang siswa wanita masuk ke dalam lingkungan sekolah dengan mengendap-endap melalui lubang tepat di belakang gedung sekolah. Setelah itu, barulah aku kembali ingin masuk kelas. Tapi di hadang oleh salah satu guru dan memintaku untuk ikut dengannya ke ruangan guru.
"Apa kamu masih ingin mengetahui siapa yang sudah menempelkan alat perekat di atas kursi di kelas? Aku sudah tahu siapa orangnya."
"Siapa pelakunya?"
"Irene, dia melakukannya saat malam hari bersama dengan temannya."
"Baiklah, terima kasih banyak. Beri dia hukuman yang ringan saja, agar tidak lagi mengulangi perbuatan tidak terpuji itu. Aku sudah memaafkannya, hukuman itu hanya untuk teguran semata. Sekarang aku mau kembali ke kelas."
"Ya, silahkan. Terima kasih karena kamu sangat bijaksana sekali."
Setelah selesai mengobrol dengan guru, aku kembali lagi ke kelas. Dan ternyata kembali di cegat, kali ini oleh Irene.
"Maafkan aku, tolong jangan adukan tentang perbuatan ku tadi pada pihak sekolah."
Permintaanya sangat memelas saat itu, tanpa dia ketahui jika rekaman tersebut sudah aku hapus. Tapi aku memang ingin memberinya sedikit pelajaran tapi bukan karena perbuatannya yang masuk ke sekolah lewat lubang itu, melainkan karena sudah memasang lem perekat di bangku milikku.
"Akui dulu jika kau yang sudah memasang lem perekat pada bangku tempat aku duduk."
Pintaku pada Irene waktu itu.
"Iya aku yang memasang, dan aku minta maaf." Ucapnya tulus, dia terlihat memainkan kedua jarinya. Dan aku senang sebab Irene mengakui perbuatannya.
"Tapi permintaan maaf darimu sudah Telat, sebab pihak sekolah sudah mengetahui tentang apa yang telah kamu perbuat. Dan sebentar Lagi hukuman itu akan kamu terima."
Aku berlalu meninggalkannya, tidak peduli dengan wajah Irene yang kembali memerah karena marah. Merasa telah tertipu oleh ku. Maka sejak saat itulah hubunganku dengannya tidak membaik, seperti musuh. Tatapannya selalu penuh amarah juga dendam. Tapi aku berusaha mengabaikannya.