Deadline-2

1775 Words
Alya berlari menarik kopernya dengan cepat. Rambutnya yang tadi rapi kini mulai berantakan. Gadis itu mengumpat dalam hati. Awas lo, Pakde!! Deva berdiri sambil menyilangkan tangannya di depan pintu taksi. Matanya menyipit menatap penampilan Alya yang berantakan. "Telat 3 menit 28 detik." "Ya ilah, Pak. Namanya juga cewek. Gak bisa diburu-buruin." Deva menatap koper Alya lalu menghela napas. "Alya Naura, kita ini cuma nginap 2 hari. Buat apa kamu bawa barang sebanyak ini?" "Pak Deva, tuh, gak paham karena Pak Deva bukan cewek." "Yasudah, cepat masuk!" Alya memutar bola mata malas. Alya tidak menaruh kopernya di bagasi. Ia memilih untuk menaruhnya di bawah kakinya. Alya dan Deva sama-sama duduk di belakang. Perjalanan mereka memakan waktu 4 jam. Selama itu, Alya sibuk menonton drama kesukaannya. Kapan lagi bisa nonton drama sambil santai gini? Biasanya gue nonton drama sambil nugas. Hari sudah siang. Matahari tepat berada di atas kepala. Namun, angin di sana sangat sejuk karena memang daerah pegunungan. Alya mengagumi bentangan sawah yang menyapa matanya. Mobil mereka berhenti di depan sebuah gapura bambu yang bertuliskan desa suka jati. Alya bisa melihat beberapa orang yang tengah membajak sawah juga anak-anak kecil yang bermain-main di sekitar sana. Ia tersenyum. "Alya, ambil koper kamu." Suara itu membuyarkan lamunan Alya. Ia buru-buru mengambil kopernya. "Hari ini, kita akan temui kepala desa dulu dan minta izin." "Sebenernya kita mau melakukan penelitian apa, Pak?" Deva menarik kopernya lalu berjalan diikuti Alya. "Kebiasaan, kepercayaan, dan budaya. Sebelumnya saya pernah mewawancarai salah satu warga di sini. Saya pikir, adat dan kebiasaan warga di sini menarik. Setelah ini, kamu akan saya ajarkan bagaimana caranya melakukan penelitian yang benar agar setelah itu kamu bisa mengajarkan teman-teman kamu." "Kenapa harus ada penelitian macam ini sih, Pak?" Deva menghentikan langkahnya. "Apa pantas, mahasiswa semester 6 bertanya seperti itu?" Alya diam tak lagi menyahut. Mereka berjalan menuju rumah kepala desa, namun sayang sekali kepala desa sedang tidak ada di rumahnya. Alya dan Deva memutuskan untuk bertemu belian besok. Salah satu warga mengantar mereka ke tempat penginapan. Penginapan di sana sangat bersih dan rapi. Meskipun kecil tapi sangat nyaman. Ada delapan penginapan. Empat untuk perempuan dan empat lagi untuk laki-laki. Penginapan itu saling berhadapan. Namun saat itu, hanya Deva dan Alya yang menginap. Alya menaruh kopernya di atas kasur. Ia membuka jendela kamarnya. Dari sana ia bisa melihat pemandangan sungai yang asri. Suara air mengalir yang menyejukkan pikiran. Alya senang sekali. Ia mengambil buku catatan dan pulpennya. Deva bilang, mereka akan memulai penelitian itu dari sini. Alya dan Deva memulai dari mewawancarai beberapa warga tentang kebiasaan unik mereka. Ya, kebiasaan unik itu antara lain memulai bekerja setelah jam 8 pagi dan selesai sebelum jam 6 sore. Entah itu pekerjaan sebagai nelayan, petani, dan lain-lain. Juga ada kebiasaan membunyikan kentongan mulai dari jam 7 malam, karena tidak boleh lagi ada warga yang berkeliaran di luar rumah. "Apa ada alasan kenapa warga di sini tidak boleh berada di luar rumah setelah jam 7 malam, Pak?" tanya Deva. Seorang petani kini duduk di sebelah Deva dan Alya. "Konon katanya, jam 7 malam itu adalah jam sakral. Penjaga desa ini akan berkeliaran untuk menghapus pengaruh buruk setiap malamnya." Alya mengerutkan dahinya. "Penjaga desa?" "Iya. Roh yang menjaga desa ini." Alya mengusap tangannya. Bulu kuduknya merinding. "Udah tahun segini, masih percaya roh, Pak?" tanya Alya. "Neng enggak percaya? Banyak warga di sini yang pernah lihat wujudnya." Deva mengangguk mengerti. Meskipun sebenarnya ia sepemikiran dengan Alya. Sudah tahun secanggih ini, masih ada saja yang percaya dengan bangsa roh. "Terima kasih atas waktunya, Pak. Saya kira cukup untuk wawancaranya." Deva memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Alya lebih dulu pergi dari sana karena perutnya sakit, sedangkan Deva masih berbincang-bincang dengan petani itu. "Kalian ini, suami-istri?" Deva menggelang cepat. "Bukan, Pak. Dia mahasiswi saya.” Petani itu mengerutkan dahinya. “Yaudah, saya permisi dulu, Pak. Assalamualaikum.” Deva tersenyum simpul setelah mengucapkam salam dan pergi dari sana. *** Alya mengeluarkan beberapa alat mandinya. Ia harus mandi karena badannya terasa lengket. Alya mengambil handuknya dan masuk ke kamar mandi. Jam menunjukkan pukul 17.30 Alya berpikir pasti suasana desa sudah mulai sepi. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Alya mempercepat mandinya. Setelah selesai, ia buru-buru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di tubuhnya, menutupi d**a hingga paha. Ia mengambil ponselnya, lalu menyetel lagu untuk menghilangkan ketakutannya. Gadis itu mengambil pakaian dari kopernya. Alya yang sedang menyisir rambut tiba-tiba saja mendengar suara aneh dari dekat jendela. Gadis itu menelan ludah. Ia meraih ponselnya yang ada di meja dan mencoba menelepon Deva. Tak butuh waktu lama, panggilan itu diangkat. Halo, ada apa, Alya? "Pak, saya takut." Takut kenapa? "Tadi saya dengar suara aneh dari jendela." Kamu salah dengar. "Ih, beneran, Pak." Tiba-tiba saja, jendela di kamar itu bergerak, dan ada sesuatu yang melompat ke arahnya. Alya menjatuhkan ponselnya dan berteriak dengan keras. Deva yang mendengarnya buru-buru keluar dari kamar inapnya lalu berlari tanpa alas kaki menuju kamar inap di Alya. Deva hanya perlu berjalan beberapa langkah untuk sampai di sana. Pria itu mengetuk pintu kamar inap Alya beberapa kali. "Alya, buka pintunya! Kamu gapapa?" Di dalam, Alya merasakan sesuatu menjilat kakinya. Ia tidak berani bergerak bahkan sekadar menjawab Deva. Semakin lama jilatan itu semakin nyata. Alya sudah tidak tahan lagi. Ia pun berteriak sambil mendorong makhluk yang ada di kakinya. Deva memutuskan mendobrak pintu kamar inap Alya. Saat itu, Alya masih memakai handuknya. Deva bahkan tidak peduli dengan hal itu dan langsung berjalan mendekati Alya di sudut ruangan. Alya masih menutup matanya. "Alya, ini saya, Deva." Alya membuka matanya. Bibirnya gemetar, ia pun langsung menarik lengan Deva dan menjadikan penutup matanya. "Ta-tadi ... Ada ... Ada yang masuk dari jendela. Te-terus, ji-jilat ... Kaki saya, Pak," adu Alya sambil terisak. Deva menoleh ke kanan-kiri dan tak melihat ada sosok apapun. Namun, ia melihat seekor kucing yang tengah duduk di dekat kasur. Deva menghela napas. "Itu cuma kucing, Alya," kata Deva agak frustrasi. Alya melirik ke arah yang ditunjuk Deva. Ternyata memang benar itu kucing. Disaat itu juga, beberapa warga datang menghampiri kamar inap Alya. "Ada apa ini? Saya dengar ada yang teriak?" tanya salah satu warga yang membawa kentongan. Ya ... Ini sudah jam 6, harusnya tidak ada lagi yang berada di luar, namun suara Alya begitu keras hingga beberapa warga memutuskan untuk memeriksa. Salah satu wanita paruh baya membuka suara, "Kalian ini, suami-istri?" Alya dan Deva saling tatap. Petani yang tadi diwawancarai oleh mereka berdua muncul sambil berkata, "Mereka cuma mahasiswi dan Dosen." Mendengar itu, wajah para warga yang tadi khawatir berubah menjadi tidak suka. Semua mata tertuju pada Alya yang hanya memakai handuk. "Kalian habis apa?" Deva yang menyadari situasi itu langsung melepas pegangan Alya pada lengan kaosnya. "Kami gak melakukan apa-apa, Pak. Saya ke sini karena saya dengar ada teriakan. Saya pikir terjadi sesuatu sama mahasiswi saya. Saya punya tanggung jawab untuk menjaga dia." Alya menarik selendangnya lalu menutupi bahunya yang terekspos. "Maaf, Pak. Saya tadi baru selesai mandi, dan saya lihat ada yang lompat dari jendela, makanya saya teriak." "Tapi tetap saja. Kalian sudah melanggar aturan di desa kami." "Aturan?" "Laki-laki dan perempuan tidak boleh dekat, kecuali mereka sudah terikat. Saya rasa, kamu harusnya tahu sebelum datang ke desa kami." Deva mencoba menyelesaikan kesalah-pahaman itu. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu soal itu. Tapi demi Allah, saya datang ke sini hanya karena mahasiswi saya berteriak." "Gak bisa. Kalian bisa membuat penjaga desa kami marah. Kalian harus kami nikahkan." "Pak, jangan gitu. Kami berdua gak tahu apa-apa soal aturan yang ... yang apa tadi? Pokoknya kami gak melakukan apapun, Pak. Dosen saya hanya menemui saya karena khawatir. Bapak bisa lihat kalau pintunya didobrak?" Wanita paruh baya yang tadi menegur keduanya langsung menatap Alya dengan tatapan tak suka. "Lebih baik kamu pakai baju kamu dulu. Kamu mau pamer tubuh sama warga-warga di sini?" Alya lantas mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi dengan wajah masam. Kalo gue mau pamer emang kenapa? Sewot banget jadi manusia. "Mas Deva ... Mari kita bicara," kata seseorang yang baru saja datang. Ya ... Itu adalah kepala desa. "Yang lain, kembali saja ke rumah masing-masing. Ini sudah hampir jam tujuh. Kalau kalian masih di luar, itu sama saja kalian juga melanggar aturan," kata pria bertubuh tegap itu dengan tegas. Para warga kembali ke rumah mereka masing-masing. "Mari, ikut ke rumah saya. Neng Alya juga," katanya sambil melirik Alya yang baru saja keluar dari kamar mandi. *** Pak Randu, sang kepala desa kini menatap Alya dan Deva bergantian. "Sebelumnya, maaf saya baru datang Mas Deva. Saya tidak tahu jika akan terjadi hal seperti ini. Tapi ... Seperti aturan yang ada, kalian memang harus dinikahkan." Alya mengusap wajahnya frustrasi. "Pak, apa gak ada solusi lain? Lagian, ini cuma salah paham." "Maaf, Neng Alya. Saya memang kepala desa, tapi saya tidak bisa menolak permintaan warga saya. Apalagi ... saya juga tidak bisa membuktikan bahwa yang terjadi hanya salah paham." Alya sibuk meminta agar Pak Randu tidak menikahkan mereka, sedangkan pria yang sejak tadi duduk di sebelah Alya sibuk dengan pikirannya. Alya menoleh menatap Deva. "Pak, bantu saya, dong." Deva menoleh cepat ke arah Alya. Gadis itu terlihat seperti ingin menangis. Ia menghela napas. "Alya, kita perlu bicara." Deva menarik tangan Alya dan membawa gadis ke teras. Teras di sana masih dalam satu ruangan, jadi mereka tidak keluar dari rumah. Ya ... itu artinya mereka tidak melanggar aturan ... lagi. Saat keduanya sudah berdiri saling berhadapan, Deva mulai bicara, "Telepon orang tua kamu." Alya mengerutkan dahinya. "Kenapa harus telepon orang tua saya?" "Saya akan menikahi kamu." Pernyataan itu sungguh membuat Alya terkejut. Bahkan ponselnya hampir jatuh dari genggaman jika saja Deva tidak cepat menangkapnya. "Pak Deva jangan ngaco! Nikah itu gak main-main, ya, Pak!" kata Alya sedikir kesal. "Saya gak bilang nikah itu main-main, Alya. Kalau kamu punya solusi lain, silakan! Saya serahkan semua ke kamu. Saya udah gak bisa nemuin cara lain." Alya berjongkok. Gadis itu menutup wajahnya di antara lutut. Alya menangis. Ia tidak menyangka hidupnya akan menjadi sekacau ini. Padahal malam sebelumnya, hidupnya masih baik-baik saja. Deva ikut berjongkok. Pria itu memegang kepala Alya. "Saya udah coba cari cara lain, tapi kenyataaanya mengatakan kalau kita emang salah. Kita salah karena kita gak punya bukti. Mereka butuh bukti, bukan pembelaan." Alya terus menangis, bahkan semakin kencang. "Saya yang salah. Harusnya saya gak ajak kamu ke sini." Kali ini Alya mendongakkan wajahnya. Matanya sembap dan basah. "Iya. Pak Deva yang salah. Harusnya saya gak di sini. Harusnya saya lagi tidur-tidur manja di kamar. Pak Deva yang jadi pengacau." "Saya minta maaf, Alya," kata Deva dengan nada menyesal. Ia juga tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Sekarang ia juga bingung harus berbuat apa. "Jadi gimana, Pak?" Deva menatap Alya dengan wajah menyesal. "Ayo kita menikah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD