Rama dan Janda Tak Bercelana

887 Words
Satu-satunya yang bisa dilakukan agar tidak terlambat sekarang adalah berlari sekencang mungkin. Rama telah berhasil menerobos gerbang dan itu sedikit banyak membuatnya lega. Dia melambatkan langkahnya. Pelajaran pertama kelas 10-1 pagi ini Fisika. Gurunya Pak Hatta yang kepalanya ditumbuhi rambut macam mangkok yang dikerik bagian tengahnya, wajahnya selalu tampak cemberut seperti memikirkan utang yang tak lunas-lunas, lalu pelampiasan kemarahannya adalah setiap murid yang tak mengerjakan PR. Dia adalah salah satu guru yang paling galak di SMA Paradiso ini. Rama Dirgantara, cowok yang selalu terlihat santai, tapi memiliki jiwa pembantai, pembantai hati wanita maksudnya, berjalan tergopoh-gopoh menuju kelasnya yang terletak di seberang lapangan sekolah dan tak terlalu jauh dari kantor. Ada satu hal penting yang kini membuatnya tak bisa santai, dia lupa mengerjakan PR Fisika. Seketika hukuman-hukuman dari guru kampret itu terproyeksi dengan jelas di kepalanya. Sambil berjalan, dia menggerutu pelan, "Ah, sial, kenapa gue bisa lupa ngerjain, sih? Ini semua gara-gara Edi tadi malam ngajakin gue ngintipin janda nggak pake celana, jadi lupa waktu, kan, kita. Eh, tapi, tu janda oke juga, sih!" Rama tertawa kecil sendiri membayangkan janda seksi yang merupakan tetangga barunya itu. Kabarnya, dia telah menjanda kurang lebih satu setengah tahun akibat ditinggal selingkuh oleh mantan suaminya. Entah dapat dari mana Edi informasi itu. Rama cukup senang punya teman yang paling cepat tanggap kalau ada gosip tentang janda baru. "Ah, kok gue malah mikirin janda kembang itu, sih!" katanya ketika muka Pak Hatta yang sangarnya mengalahkan suramnya tujuh benua tandus dilalap badai pasir itu tiba-tiba memenuhi isi kepala. "Gue harus pikirin, nih, gimana caranya bisa ngerjain tu PR sebelum guru kampret itu masuk." "Aha! Nyontek sama Asep adalah pilihan yang tepat. Tapi gue musti buru-buru, nih. Bukunya Asep saat ini pasti lagi rame direbutin sama anak sekelasan." Tak buang tempo lagi, Rama langsung melangkah setengah berlari. Waktu tiba di kelasnya, benar dugaannya, buku PR Fisika Asep sedang menjadi rebutan bagai menemukan durian di tengah musim rambutan. Rama putus asa. Dia memilih menaruh tasnya saja ke laci mejanya, lalu berdiri di depan pintu kelas sambil menyandarkan kepala dan menatap kosong ke arah lapangan sekolah. Dia hanya bisa pasrah sekarang, pasrah dan menyiapkan mental untuk menerima hukuman. Andika, teman sebangkunya, menghampirinya, lalu menepuk pundaknya. "Tenang aja, bro, ngapain lo ambil pusing. Udah, lo liat PR gue aja, gimana?" Rama langsung menoleh seperti baru saja mendengar Andika mengajaknya ke belakang sekolah buat mengintip guru baru yang bohai. "Ya elah, kenapa nggak dari tadi, sih, lo nawarinnya, Dika. Tadi, kan, lo liat gue naroh tas di laci." "Ya, habisnya gue kira lo udah ngerjain. Tapi, kok, tumben, sih, lo nggak ngerjain PR, Ram? Lo, kan, jago Matematika." "Tapi gue nggak ngerti Fisika, pesek!" "Iya, hidung bolong. Sialan lo, ditolongin malah ngina gue lo. Udalah! Jadi nggak, nih, liat PR gue?" "Serius lo udah ngerjain PR Fisika, Dik?" tanya Rama dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan. "Oh, PR Fisika, toh!" pekik Andika sedikit ada rasa kaget di mimik wajahnya. Mata bulat dan pipi hitamnya mendadak merosot. "Maksud gue, kalo PR Bahasa gue udah ngerjain, tapi kalo PR Fisika belum." "Duda pesek lo!" umpat Rama sambil memalingkan wajah kesalnya. "Kalo PR Bahasa gue juga udah, kampret! Cuma disuruh ngarang satu paragraf aja, apa susahnya." "Lo ngarang tentang apa, Ram?" "Tentang janda." Rama terkikik dan seolah melupakan sejenak hukuman yang akan diterimanya sebagai konsekuensi dari tidak mengerjakan PR Fisika. "a***y bener lo. Baru kali ini gue nemu ada cowok anak SMA, tapi isi otaknya cuma janda doang. Lo nggak tertarik apa sama cewek-cewek di sekolah kita?" "Aih," Rama menyilangkan lengannya di d**a, lalu memiringkan bibir tanda meremehkan. "Cewek di sekolah kita mah apaan, rata, nggak ada menarik-menariknya sama sekali. Emang cantik-cantik, sih, tapi nggak ada isinya, apa enaknya, kayak ngeliat sapu lidi jalan aja." Andika cemberut. "Jadi lo nilai cewek dari segi itunya?" "Halah, muna lo, Dik! Lo juga, kan," Rama langsung menoleh dan menatap wajah Andika serius. "Eh, gue kasitau, ya, Dik, kita ini cowok normal, jadi wajar aja kalo nilai fisiknya cewek. Emangnya lo mau dapat cewek rata, hah?" Andika tak menjawab pertanyaan itu. "Trus, apa enaknya sama janda yang udah bekas om-om gitu?" "Mereka lebih berpengalaman, njir, ah, udahlah, lo nggak bakalan ngerti dunia beginian. Sekarang kita pikirin aja, nih, hukuman apa yang bakal kita terima dari Pak Hatta entar." "Ah, gue, sih, pasrah aja sudah." Rama kembali melemparkan pandangannya ke arah lapangan. Tatapannya kian lekat ketika ada seorang cewek yang digiring oleh Pak Firman, guru Penjaskes. Cewek itu kemudian diberdirikan tepat di depan tiang bendera. Dia tampak mendapatkan ocehan dari guru kurus itu. Entah kenapa Rama jadi penasaran. Penampilan cewek itu memang agak aneh. "Dik, Dik," Rama mencuil lengan Andika, lalu menunjuk ke arah lapangan. "Lo liat, tuh, ada yang dihukum pagi-pagi gini. Cewek lagi. Tapi penampilannya memang aneh, sih, ya, masa pake celana olahraga padahal bukan pelajaran Penjas. Atau mungkin dia lupa bawa baju olahraga kali, ya, Dik!" Andika mengernyit. "Tu cewek bukan anak kelas 10-3, kok, Ram. Kelas yang jam pertamanya Penjas di hari Selasa, kan, kelas 10-3. Gue punya teman di situ. Lagian gue sering, kok, main ke kelas itu, makanya tau. Anak kelas sepuluh berapa, ya, tu cewek? Kok, aneh banget, sih, penampilannya!" Bel masukan pun berbunyi. Rama dan Andika tak lagi memikirkan cewek eksentrik itu, tapi mereka lebih memikirkan sanksi apa yang akan diterima nanti karena mangkir mengerjakan tugas dari Pak Hatta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD