BAB 51

1050 Words
                Viola benar-benar senang bukan main, saat Panji membawanya ke pantai parangtritis yang selama ini dia sukai. Viola selalu saja menyempatkan diri setiap kali main ke Jogja. Sekedar duduk menikmati deburan ombak dan desiran angin di tepi pantai, atau sekedar menikmati minuman dan makanan yang dijual di luar area pantai hingga sore datang.                 Viola tidak menyangka, kali ini dia hadir kembali ke tempat kesukaannya dengan sang suami. Sebenarnya dulu Viola dan Panji sering ke mari bersama. Namun kali ini dengan status yang berbeda. Viola yang merasakan haru luar biasa, langsung menarik pandangannya ke Panji yang sudah duduk di sampingnya sembari memeluk kedua kakinya. Kaca mata hitam dia kenakan, sembari menikmati pemandangan laut yang terbentang luas di depan mata.                 Masih teringat jelas rengekan Panji untuk mengajak Viola ke luar dari rumah dan berjalan-jalan bersamanya. Sejak bangun tidur hingga setelah sarapan selesai, Panji terus saja membujuknya. Bahkan melalui Nenek Uti juga yang ikut membujuknya untuk berjalan-jalan. Viola sebenarnya masih malas untuk ke luar. Dia masih betah di rumah menikmati sulaman di kainnya yang mulai terlihat polanya. Namun Panji yang terus saja merengek, ditambah lagi suara Nenek Uti yang terus saja mengomel di telinganya, membuat Viola menyerah dan akhirnya menyetujinya. Dengan syarat, habis makan siang keduanya pergi agar bisa menikmati Mentari sore nantinya.                 Viola melirik ke jam tangannya. Sebenarnya sudah lewat dari jam yang dijanjikan semula. Seharusnya keduanya pergi habis makan siang tadi, kira-kira pukul dua siang. Namun Nenek Uti yang kedatangan tamu jauh yang tidak lain keluarganya sendiri, membuat Panji dan Viola mengurungkan niatnya untuk pergi sesuai jadwal. Panji merasa tidak enak jika meninggalkan rumah begitu saja, sementara yang datang adalah keluarga dari suami Nenek Uti sendiri yang sudah pergi meninggalkannya selamanya. Panji tahu, keluarga jauh itu datang hanya untuk bertemu dengannya. Mereka yang tidak bisa datang saat pernikahan berlangsung, membuat mereka hadir menemui Panji dan Viola saat mengetahui keduanya datang ke Jogja. Dan semua itu atas pemberitahuan Nenek Uti via telepon. Dan Panji tidak mungkin mengecewakannya. Walau Viola bisa lihat jelas kegelisahan Panji saat duduk di ruang tamu bersama semua tamu yang masih saja betah mengobrol panjang.                 “Cuacanya teduh ya?” ucap Panji tiba-tiba sembari mengalihkan pandangan ke Viola yang masih menatapnya. Viola mengembangkan senyuman, sembari mengangguk pelan. Menarik perlahan kepalanya untuk kembali menjatuhkan pandangan ke laut lepas.                 “Hampir saja kita tidak jadi ke sini ya?” tanya Viola yang sebenarnya menyinggung Panji.                 Panji tertawa, memegang kepala Viola sesaat, lantas kembali menikmati gulungan ombak, “Kamu menyindir abang?”                 “Sedikit,” ucap Viola lantas tertawa. “Hari ini kamu sudah nelepon mama dan papa?” tanya Viola yang langsung dijawab anggukan oleh Panji.                 “Seperti biasa, mama duluan yang ngehubungi abang buat nanyain anak kesayangannya,” keluh Panji dengan ekspresi kesal.                 Viola tertwa melihatnya. Dia tahu Panji geram melihat sikap Alia yang selalu saja seperti itu. Berbeda dengan Herman yang tampak santai dan hanya sesekalli menghubungi. Itu pun sambilan membicarakan tentang kerjaan yang selama Panji liburan, kembali dia handle sendiri. Selebihnya, pria itu sama sekali tidak pernah mengusik liburan keduanya. Hanya sesekali terdengar tawanya di seberang saat Alia menghubungi keduanya. Tawa renyahnya seperti biasa.                 Angin kembali berembus cukup kencang namun menenangkan. Viola yang mulai merasa silau dengan cahaya yang walau pun cuaca mendung, namun cukup menyilaukan mata, langsung memakai kaca mata hitamnya yang sejak tadi dia pegang. Viola menyapukan pandangan ke sekeliling. Ada beberapa pemilik kuda dan sado yang lalu lalang di sekitarnya. Ada yang membawa penumpang, dan ada yang malah nongkrong bersama hewan peliharaannya itu di sisi pantai yang cukup jauh dari tempat Viola dan Panji berada. Hari ini pengunjung memang tidak terlalu ramai seperti biasanya. Mungkin karena hari kerja, jadi tidak seramai pada saat hari libur atau weekend tiba.                 Viola sendiri lebih suka menikmatinya saat tidak terlalu ramai. Baginya, lebih puas jika bisa duduk berlama-lama dengan ditemani suara deburan ombak dan bisikan angin di telinganya. Viola menyandarkan kepalanya di bahu Panji, yang sesaat tersenyum mendapati sandaran kepala Viola. Dia suka jika Viola menyandarkan kepala di bahunya, seolah menjadikannya tumpuan dan percaya padanya. Panji merangkulnya yang membuat Viola tersenyum tulus.                 “Kalau kita punya anak nanti, kamu mau cewek apa cowok?”                 Pertanyaan Panji jelas membuat Viola tertawa mendengarnya. Viola sendiri saja sbeenarnya tidak pernah membayangkan dirinya dan Panji memiliki seorang anak dari pernikahan mereka. Viola hanya fokus selama ini dengan kedua kakinya, tidak pernah fokus dengan yang lain. Pertanyaan Panjj membuatnya sadar, bahwa selain masalah ketidak mampuannya dalam berjalan dan melakukan apa pun sebebas wanita lain, dia juga harus memikirkan apa yang diinginkan Panji dari pernikahannya. Yaitu keturunan.                 Viola menatap Panji yang juga mengarahkan wajahnya ke arahnya. Panji membalas senyuman Viola, menggenggam kedua tangan sang istri yang sangat dia cintai. Panji merasa bersyukur memiliki Viola yang sejak dulu dia cintai begitu dalam. Hingga saat ini pun, Panji sendiri tidak pernah menyangka kalau dirinya berhasil mendapatkan Viola. Dia hanya berpikir, kalau Viola hanya akan menjadi adiknya selamanya, tidak akan pernah lebih sampai kapan pun. Namun semua itu berbalik. Apa yang dianggap mustahil oleh panji, malah kini menjadi miliknya seutuhnya. Viola kini berstatus istri baginya, bukan lagi sebagai seornag adik.                 “Kamu mau kan?” tanya Panji yang perlahan, dijawab Viola dengan anggukan kepala. “Kamu tidak takut lagi?”                 “Takut karena apa?” tanya Viola.                 Panji menundukkan kepala, dia sebenarnya ragu mengatakannya. Panji pernah mendengarnya langsung dari Alia kalau Viola belum siap memiliki anak karena takut sang anak tidak bisa menerima kondisinya. Di sisi lain, Viola juga takut kalau dia hanya akan menyusahkan Panji saja. Dia tidka akan bisa melakukan segalanya tanpa Panji. Bahkan dia hanya bisa menggndong dan memangku sang anak. Namun dia tidak akan bisa mengayunkannya dengan cara berdiri dengan kedua kakinya sendiri.                 “Takut kalau anakku nanti tidak bisa menerimaku?” tanya Viola yang berhasil menarik tatapan Panji kembali padanya. Viola tersenyum saat Panji mengangguk pelan sekedar menjawab pertanyaannya.                 “Ketakutan itu jelas ada, Bang, tapi benar apa kata mama, mau sampai kapan?” tanya Viola dengan nada suara menenangkan. “Lagian, aku merasa aku tidak bisa jadi istri yang bisa melakukan apa pun untuk memenuhi keperluan kamu. jadi satu-satunya cara agar aku bisa jadi istri seutuhnya, adalah melahirkan anak kamu. dan aku mau.”                 Panji langsung memeluk Viola haru. Dia tidak menyangka permintaannya langsung dikabulkan Viola dengan meyentujuinya. Viola sendiri tersenyum haru, sembari menikmati suara deburan ombak, semilir angin dan hangatnya pelukan Panji. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD