BAB 17

1067 Words
           Mawar dibuat kaget bukan main saat mendapati sosok Aldo hadir di depan rumahnya. Sore hari yang seharusnya dihabiskan Mawar duduk sendirian di dalam kamar sambil menikmati cemilan cokelat favoritnya ditambah acara TV, kini harus ia bagi untuk Aldo yang terlihat kacau.             Mawar langsung memintanya duduk di kursi teras dan menyuguhkannya dengan segelas minuman dingin yang sebelumnya ia minta pada pembantu rumah tangganya. Menatapnya lamat-lamat yang sama sekali belum dibalas Aldo yang masih tertunduk sedih.             “Ada masalah, Al?” Pertanyaan basa-basi. Itulah yang disadari Mawar. Dia jelas-jelas tahu kenapa sikap Aldo seperti sekarang ini. Namun rasanya, mustahil jika Mawar langsung menembaknya dengan kalimat yang di dalamnya membahas tentang Viola. “Bukannya seharusnya sore ini kamu ke toko buku sama Viola?” Mawar kembali mengeluarkan pertanyaan setelah melihat Aldo kembali menundukkan kepalanya. Aldo menghela napas, lalu menarik kedua sudut bibirnya.              “Sebenarnya gue salah gak sih, cemburu sama Bang Panji?”             Pertanyan Aldo yang terdengar lirih itu, berhasil melesatkan kebingungan di hati Mawar. Dia sendiri juga pernah dibuat bingung semenjak bersahabat dengan Viola sejak sekolah dasar. Kedekatan Panji yang seakan melebihi seorang abang, sempat membuat Mawar curiga. Namun melihat kejadian yang dialami Mawar sejak SD dulu, jelas membuatnya mengerti mengapa Panji begitu menjaga Viola. Kepintaran Viola ditambah dengan hampir semua guru memuji-mujinya tanpa henti, membuat Viola terus saja dijadikan bual-bualan semua teman sekelasnya. Dan bukan juga karena itu, sikapnya yang selalu manja pada Panji, juga menjadi satu dasar ledekan temannya di sekolah.             “Siapapun yang melihat keduanya, juga bakalan nganggap mereka pacaran.” Mawar menyandarkan tubuhnya. “Dulu juga banyak yang cemburu sama Panji. Bahkan ada yang sampai ngejahilin dia gara-gara mereka ngira Panji itu, pacarnya Viola. Mereka yang sempat suka sama Viola gak terima ngelihat Panji yang terus aja ngantar jemput Viola. Bahkan pernah nunggui di halaman sekolah.”             “Sampai segitunya?” Jidat Aldo mengerut dengan ekspresi tidak percaya. Segitu peduli dan sayangnya Panji, hingga dia terus menjaga Viola luar dalam. Bahkan merelakan waktunya untuk sekedar menanti Viola di depan sekolah.             Mawar mengangguk, “Jujur, gue sendiri gak tahu harus ngejawab apa sama pertanyaan awal dari loe tadi. Tapi rasanya sikap keduanya wajar sih. Mereka abang adik dan semua yang mereka lakukan, masih dalam batas normal juga.”             “Tapi gue ….” Aldo menghentikan kalimatnya. Menghela napas lalu menatap Mawar yang masih menatapnya. “War, apa mungkin gue jatuh cinta sama orang yang salah?”             Mawar terpekik kaget mendengarnya. Hawa panas terasa di kedua pipi hingga membuat Mawar memilih menundukkan kepala. Dia takut Aldo sampai tahu kemerahan yang hadir di wajahnya. Rasa malu hadir. Membuatnya masih tak berani menatap Aldo.   “Gue … gue juga gak bisa jawab soal itu.”             Aldo menatapnya dengan mengernyitkan dahi, “Kenapa? Apa pertanyaan gue salah?”             Mawar menggelengkan kepala. Dia menghela napas, mencoba menetralkan perasaan deg-degan di dadanya, “Loe gak salah.”             “Terus, kenapa loe gak bisa jawab?” Kalimat bernada paksaan itu membuat Mawar harus memutar otak, mencari kalimat yang pas agar Aldo tidak menaruh curiga dengan perubahan sikapnya.             “Ya … gue kan sahabatnya Viola. Kalau seandainya gue bilang loe salah orang, berarti sama aja gue pengen hubungan kalian berakhir.”             Aldo mengangguk pelan. Kalimat Mawar begitu menjelaskan maksud dari sikapnya yang sempat berubah drastis. Aldo terdiam. Dia tidak ingin membahas lagi soal yang sama. Biar gimana pun saat ini dialah yang salah. Cemburu yang terasa di hatinya, jelas tidak tepat ia taruhkan di atas hubungan Panji dan Viola. Keduanya tidak mungkin dipisahkan. Hubungan itu, bukan sekedar hubungan yang bisa putus walau masalah besar menghantamnya.             Luna tidak tahan lagi menahan gejolak cemburu di hatinya. Perintah Aldo yang memintanya untuk tidak bilang apa pun pada kedua orang tua Viola, benar-benar tidak bisa ia tahankan lagi. Luna yang sejak tadi mengemudikan mobilnya, langsung berbelok di persimpangan dan berhenti tepat di toko bunga milik orang tua perempuan Panji itu. menatapnya dari mobil lalu turun dengan emosi yang masih meledak meletup di hatinya.             Mama menyambutnya dengan sikap ramah. Memintanya untuk duduk di sofa tamu lalu menyuguhkan minuman yang dibawakan Shinta beberapa menit setelah Luna duduk. Wajah Luna yang kali ini, terlihat jelas menyiratkan kegalauan hatinya. Mama yang mampu membacanya, langsung menatapnya lamat-lamat seakan ingin lebih tahu apa yang ia rasakan.             “Ada masalah, Lun?” Mama melangkahkan kakinya mendekati sofa di mana Luna duduk. Lalu duduk di sampingnya tanpa melepaskan tatapan serius ke arah Luna.             Luna tersenyum tipis, “Masih boleh Luna curhat sama tante?”             “Ya boleh dong, Sayang. Mau curhat apaan?”             Sesaat Luna terdiam. Dalam hatinya, ia sudah terlalu muak dengan sikap Panji yang seakan menolaknya mentah-mentah tanpa memberikan sedikit waktu untuk mempelajari hatinya. Luna juga muak dengan Viola yang selalu mengarahkan senjata tajam yang siap melukai tubuhnya jika dia masih saja mengusik kehidupan Panji. Kali ini Luna tidak akan lagi tinggal diam. Dia sudah lelah dan ingin keduanya mendapatkan pembalasan yang dia lakukan lewat mama.             “Sebenarnya Panji dan Viola kenapa sih, Tante?”             Pertanyaan Luna membuat mama terpekik kaget. Rasa bingung ikut menghampirinya. Pertanyaan Luna mengandung satu keganjilan yang mampu ditangkap mama hingga membuatnya menghela napas lalu menuai senyuman lebar.             “Kok kamu nanya gitu, Sayang?”             “Maaf nih tante sebelumnya, Luna kok ngerasa mereka … bukan seperti abang adik ya?”             Sesaat mama merasakan detakan jantungnya berhenti seketika. Mama mengalihkan tatapannya ke arah lain. Mencoba menyembunyikan raut kagetnya lalu beberapa menit kemudian, kembali menuai senyuman. Menatap Luna yang masih menanti jawaban.             “Mereka emang kayak gitu, Sayang. Kayak pacaran, padahal abang adik.” Mama terlihat santai sambil menggenggam kedua tangan Luna.             “Tapi, Tante. Sikap keduanya terlalu berlebihan. Luna jadi … cemburu.”             Mama tertawa mendengarnya. Jemari tangannya menyelusup ke helaian rambut Luna yang lurus dan panjang. Luna mencoba tersenyum walau masih tipis terlihat di bibirnya.             “Sejak dulu, Viola itu gak punya temen. Semuanya ngejauh. Dan hanya Panji yang selalu ada buat dia. Sementara tante dan om, sibuk di kerjaan.”             Luna mengernyitkan dahi, “Dia gak punya temen?”             Mama mengangguk, “Sikapnya dulu terlalu egois. Maunya menang sendiri, gak pernah mau kalah asal main-main sama temennya. Cuma Mawar deh yang bisa nerima dia sejak keduanya duduk di sekolah dasar.”             Luna mencoba mengingat satu nama yang baru saja disebutkan mama. Satu kejadian di kampus berputar di kepalanya. Satu kejadian di mana Viola datang menemui Panji bersama satu orang perempuan sebayanya yang saat itu dia panggil Mawar. Luna mengangguk mengerti. Namun diam-diam, segaris senyuman hadir di bibirnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD