BAB 37

1974 Words
                Viola menoleh ke handphonenya saat duduk di depan cermin. Suara deringan membuatnya sedikit terusik, namun perlahan senyumannya hadir saat mendapati sebuah nama di layar handphonenya. Ada nama Mawar di sana. Sudah cukup lama Viola tidak berbicara dengannya. Dan semua itu diakui Viola karenanya.                 Dia masih ingat, betapa sedihnya Mawar saat Viola memintanya pergi dari rumahnya, saat datang berkunjung. Wajar sedih Mawar beserta air matanya yang menetes, membuat hati Viola sakit bukan main. Senja kala itu pun semakin mendukung kesedihan yang terjalin antara kedua sahabatnya, yang di hari itu seakan berakhir begitu saja. Viola menghela napas panjang, kembali tersenyum, lantas menjawab telepon Mawar sebelum panggilan itu berakhir seperti sebelumnya. Saat Viola membiarkannya begitu saja.                 “Vio!!” jerit Mawar yang terdengar senang bukan main saat mendengar suara Viola, menjawab panggilannya.                 Viola tersenyum lucu mendengar suara Mawar yang renyah seperti biasanya. Viola menoleh ke pintu kamar mandi yang terbuka di dalam kamarnya, lantas kembali memeprlebar senyuman saat melihat Panji ke luar dari sana dengan handuk menutupi pinggang ke lututnya, sedangkan bagian atas tubuhnya sudah ditutupi kaos oblong berwarna merah maroon.                 “Akhirnya loe ngejawab panggilan gue, Vi, gue benar-benar rindu sama loe!” seru Mawar lagi yang kini membuat Viola tertawa mendengarnya.                 Panji mendekat, bertanya siapa yang menghubungi Viola pagi-pagi begini dengan tanpa suara. Viola menajwabnya dengan menyebutkan nama Mawar juga tanpa suara. Pannji mengangguk tanda mengerti, lantas melangkah menuju lemari setelah menyentuh kepala Viola sesaat.                 “Baik, loe gimana kabarnya?” tanya Viola yang membuat Panji tersenyum lega.                 Panji benar-benar lega bukan main saat menyadari Viola mulai mau berkomunikasi dengan Mawar, setelah sebelumnya menutup diri. Masih teringat jelas suara sedih Mawar yang menangis di telepon saat hari sebelumnya, dia diusir oleh Viola. Bersama Aldo, Mawar terus memohon pada Panji agar bisa membujuk Viola untuk kembali menerimanya sebagai sahabat. Mawar hancur bukan main saat itu. Mawar merasa bahwa hari itu adalah hari terakhir baginya, untuk  bersahabat dengan Viola. Padahal saat itu, Viola hanya ingin sendiri dulu, meratapi nasibnya yang tidak sesempurna sebelumnya. Walau dia tahu, Mawar tidak pernah mempermasalakan soal itu.                 “Datanglah, gue tunggu loe di rumah hari ini,” ajak Viola yang langsung membuat Panji menoleh.                 Jawaban Viola semakin membuat Panji yakin, bahwa Viola kini sudah kembali ke sosok wanita yang dia kenal dulu. Ceria, dan bercerita banyak hal pada semua orang. Melihatnya sudah kembali ke sosoknya lagi, Panji semakin yakin untuk mengatakan segalanya tentang rencana pembuatan kedua kaki palsu untuk Viola. Walau dia harus menunggu waktu yang tepat agar bisa menceritakan hal itu pada istrinya itu.                 “Iya, gue tunggu. Sekalian bantuin gue masak buat makan siang ya. Loe makan siang juga di rumah gue, tapi sorry, gak bakalan bisa kayak dulu, loe sudah gak bisa tidur lagi bareng  gue!” canda Viola yang jelas saja membuat Mawar manyun di seberang sana. Ucapan Viola seakan menyindirnya yang belum bisa menikah seperti halnya Viola. Walau Mawar sangat ingin, namun dia sadar kalau Aldo masih belum ingin menikah di usianya yang masih muda saat ini. Ditambah lagi, Mawar bisa mengerti posisi Aldo yang belum punya kerjaan dan masih duduk di bangku kuliah. Akan sulit baginya dan Aldo jika harus dipaksa menikah juga. Meski pun Mawar melihat, kedua orang tua Aldo adalah orang yang berada, namun tetap saja, sifat Aldo yang tanggung jawab membuatnya tidak ingin melangkah jauh dulu sebelum bisa berdiri di kedua kakinya sendiri.                 Viola menutup panggilan telepon Mawar setelah mengucapkan salam, dan dibalas salam oleh Mawar. Viola meletakkannya ke tempat semula, ke atas meja rias di samping beberapa alat make upnya, lantas membalikkan kursi rodanya mendekati Panji yang sudah berpakaian lengkap berniat ke kantor hari ini.                 Panji tersenyum, duduk di tepi tempat tidur lantas mengusap pipi Viola yang sudah duduk di hadapannya, membiarkan Viola memakaikan dasinya. Dia sudah mulai lihai memakaikannya, padahal dulu di awal-awal pernikahan, hal kecil itu selalu jadi bahan candaan bagi Panji saat mendapati Viola, kesulitan memakaikan dasi untuknya.                 “Mawar mau datang hari ini, bolehkan?” tanya Viola yang sesaat membuat Panji mengerutkan kening, lantas tertawa. Viola menatapnya bingung.                 “Kok malah nanya, ya… bolehlah, Sayang,” jawab Panji.                 Viola tersenyum sembari menyelesaikan pemakaian dasinya, “Mana tau kamu gak ngebolehin aku ngobrol sama Mawar.”                 “Bukan aku yang gak ngebolehin kamu, Dek, tapi kamu yang gak ngebolehin Mawar datang buat ketemu sama kamu. kamu sudah nutup jalan buat Mawar untuk hadir di rumah ini, abang benar, kan?” tanya Panji sekedar mengingatkannya yang membuat Viola tertunduk sedih. Panji kembali mengusap pipi Viola sembari mengangkat kepalanya agar kembali menatapnya.                 “Vio tau itu, Viola udah salah karena sudah ngusir Mawar waktu itu,” jawab Viola dengan ekspresi sedih di wajahnya. “Vio hanya malu saat itu dengan keadaan Viola. Vio ngerasa semua yang terjadi sama Vio gak adil.”                 “Emangnya kalau kamu kayak gitu, bisa ngubah semuanya kemmbali ke semula?” tanya Panji yang langsung dijawab Viola dengan gelengan kepala. “Nah, itu tau. Mawar kan gak salah apa-apa dalam hal masalah kamu, kan? Kenapa harus dia yang kena imbasnya. Seharusnya malah dengan kehadiran Mawar yang sebagai sahabat gak pernah mau ninggalin kamu dalam kondisi apa ppun, seharusnya malah buat kamu ngerasa beruntung. Bukan malah malu.”                 Viola menghela napas panjang. Panji yang mendapati sikapnya, langsung mencoba mengerti apa yang dia rasakan. Berat memang jika berada di posisi Viola saat ini. Tidak semudah apa yang dia ucapkan. Panji merasa, jika dia berada di posisi Viola pun, dia tidak akan sanggup menerima apa yang kini terjadi pada kedua kakinya. Panji merasa tidak akan sekuat Viola yang kini sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya. Panji menggenggam kedua tangan Viola yang sejak tadi berada di pangkuan istrinya itu.                 “Abang minta maaf kalau kalimat abang jadi buat kamu tersinggung,” ucap Panji yang langsung kembali menarik tatapan Viola ke arahnya. “Yang ngerti posisi dan perasaan kamu juga kamu, kami semua gak ada yang ngerti. Maaf ya.”                 Viola menggelengkan kepala, “Enggak, abang gak salah, abang gak perlu minta maaf,” jawab Viola lantas menarik napas panjang lantas mengembuskannnya. “Viola yang salah, Viola yang terlalu jahat sama Mawar dan diri Vio sendiri. Seharusnya Viola gak seperti itu sama Mawar.”                 Panji kembali tersenyum lebar. Dia kembali dibuat lega bukan main menyadari kini Viola sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Panji merasa, sudah saatnya dia menceritakan niatannya untuk membuat kaki palsu itu. Berharap Viola tidak tersinggung padanya, atau malah sampai marah dan mendiamkannya kembali, sepeprti dulu saat dia belum bisa menerima dirinya sendiri.                 “Vi, ada yang ingin abang tanya sama kamu,” ucap Panji memulai pembicaraannya.                 Viola menatapnya serius, “Ada apa, Bang? Kayaknya serius banget sampai bilang segala gitu.”                 Panji tersenyum, “Tapi janji ya, jangan marah sama abang setelah dengar apa yang abang bilang kali ini. Kalau pun kamu tidak setuju, kita gak akan lakukan. Semua terserah kamu, semua ada di tangan kamu. abang gak akan maksa kamu untuk nerima apa yang Bara sarankan buat kita, terutama kamu.”                 “Mas Bara?” tanya Viola heran saat nama Bara dibawa-bawa dalam pembicaraan kali ini. “Kenapa bisa lari ke Mas Bara, Bang? Ini soal pekerjaan kamu? kamu dipindah tugaskan ke luar kota? Kalau gitu, Viola ikut ke mana pun abang pergi.”                 Panji tertawa kecil lantas menggelengkan kepala, “Ini gak ada hubungannya tentang pekerjaan, Dek. Ini tentang kamu.”                 “Vio?” tanya Viola yang langsung dijawab Panji dengan anggukan kepala. “Kenapa tentang Vio ada Mas Baranya juga? Emang ada apa, Bang? Ayo cerita.”                 Panji menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. Dia berusaha menyiapkan dirinya sendiri untuk semua kemungkinan yang ada. Sejujurnya ada rasa takut di hatinya akan sikap Viola yang bisa saja di luar kendali. Namun mau tidak mau dan cepat atau lambat, dia harus melakukannya. Viola harus tahu apa yang ingin dia rencanakan. Dan Panji, tidak ingin menjadikan masalah ini sebagai kejutan dengan tidak mengatakannya terlebih dulu sebelum bertindak.                 “Sebelumnya, abang mau tanya… kamu mau kembali berjalan?” tanya Panji yang sesaat mengerutkan kening Viola. Dia tampak bingung dengan pertanyaan Panji yang baginya cukup aneh. Seakan ada jalan untuk mengembalikan kedua kakinya yang sudah menghilang akibat kecelakaa itu.                 “Abang lagi becanda ya?” tanya Viola.                 “Abang gak lagi becanda, Dek,” jawab Panji cepat. “Abang serius kali ini nanya sama kamu.”                 “Bua tapa nanya gitu kalau akhirnya Viola juga gak bisa jalan juga.” Viola menekan nada suaranya yang menandakan bahwa kini, dia mulai tersinggung dengan pertanyaan Panji. “Abang mau main-main sama Vio?”                 “Bukan gitu, Sayang,” ucap Panji berusaha tetap tenang. “Bara menyarankan untuk membawa kamu ke dokter yang dia kenal. Dulu dokter itu pernah membuat sahabat atau saudara Dira, istrinya Bara, kembali berjalan. Dan sampai sekarang dia tetap bisa berjalan seperti baisa, padahal dulunya dia sama seperti kamu.”                 “Maksud abang… kaki palsu?” tanya Viola yang sesaat membuat Panji kaget. Dia tidak menyangka Viola bisa langsung menebak maksud dari arah pembicaraannya. Dengan keraguan di hatinya, Panji mengangguk pelan yang membuat Viola terdiam. Tatapannya terus tertuju ke Panji yang masih menatapnya penuh harap.                 “Kamu akan kembali berjalan, Vi, walau harus dengan kedua kaki palsu,” tambah Panji. “dan menurut cerita Bara, keduakaki palsu itu sama sekali tidak bisa dibedakan dengan kaki asli. Semua sama saja. Bahkan Bara sendiri baru bisa tau setelah orang itu, melepaskan kedua kakinya di hadapan Bara. Itu berarti….”                 “Kamu malu dengan kondisiku, Bang?” potong Viola yang membuat Panji terdiam sesaat, lantas menggelengkan kepala cepat. “Kamu malu, punya istri tanpa kedua kaki dan harus duduk di kursi roda sepanjang waktu?”                 “Bukan begitu, Vi, abang gak bermaksud kayak gitu,” jawab Panji cepat. “Abang cuma gak suka lihat kamu terus menerus menderita dengan duduk di kursi roda. Kamu selalu bilang, kalau kamu inggi kembali berjalan dan melakukan apa pun yang menjadi kewajiban kamu, kan? Abang hanya ingin wujudkan itu. Abang benar-benar gak ada maksud lain, Sayang.”                 “Atau kamu malah gak percaya sama istri kamu sendiri, kalau Vio bisa melakukan segalanya dari kursi roda?” tanya Viola lagi yang kini terlihat setetes air mata, jatuh melintasi pipinya.                 “Vio, tolong jangan berpikiran yang tidak-tidak tentang abang. Abang benar-benar gak punya niat buruk sama kamu. abang cuma ingin kamu bisa berjalan lagi,” ucap Panji yang terus mencoba meyakinkan Viola yang kini tertunduk sembari menangis. “Abang gak ada maksud seperti yang kamu pikirkan itu, Dek. Kamu harus percaya sama abang ya? Abang benar-benar….”                 “Vio mau!” potong Viola lagi yang kembali membuat Panji terdiam kaget. Dia tidak menyangka, Viola langsung menyetujui permintaannya walau dengan air mata yang terus saja membanjiri kedua pipinya kini. Dia tampak benar-benar sedih. Padahal sebelumnya, Panji berharap bisa mendapati ekspresi wajah bahagia tanda dia senang dengan rencana itu. Namun yang diterima Panji hanyalah wajah sedih dengan jawaban yang Panji inginkan.                 “Apa pun yang menurut abang baik, lakukan saja,” jawab Viola lagi sembari menghapus air matanya. “Vio gak mau ngebebanin abang dengan kondisi Vio. Vio gak mau abang terus menerus memikirkan istri yang gak sempurna kayak Vio. Jadi… kalau menurut abang ini adalah rencana yang terbaik agar Viola tidak menyusahkan abang setiap waktu, lakukan saja, Bang. Vio siap apa pun prosesnya.” Viola tersenyum lebar walau terlihat terpaksa. “Yang terpenting, abang bahagia bersama Viola. Yang terpenting, Viola gak buat abang malu dengan kondisi Viola saat ini. Lakukkan saja, Bang. Viola setuju apa pun itu.”                 “Vi…,” panggil Panji sembari meneteskan air mata. “Abang gak ada maksud kayak gitu.”                 “Iya, Viola tau. Lupakan saja,” jawab Viola. “Viola mau ke dapur dulu ya, nyiapkan sarapan buat abang. Abang bersiap-siap saja di kamar. Oke?”                 Viola mendorong kursi rodanya meninggalkan Panji sendirian di kamar. Panji tertunduk sedih, membiarkan Viola pergi dari kamar dengan perasaan yang entah seperti apa. Panji menghapus air matanya, mencoba menguatkan dirinya sendiri lantas menarik napas panjang dan mengembuskannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD