BAB 6

1039 Words
            Brak!             Sebuah bola basket berhasil melesat masuk ke ring. Sorak sorai terdengar. Beberapa pemain mulai mengatur posisi, dan kembali bermain. Cuaca pagi itu cukup cerah, angin masih saja bersahabat walau pun mentari kian melesatkan sengatannya hingga berhasil melelehkan peluh.             Viola berlari dan berhenti di luar lapangan. Dia menatap dengan mata berbinar-binar satu sosok bercahaya di tengah lapangan. Satu sosok yang sejak kelas satu, mulai menyematkan rasa di hatinya. Satu sosok yang belum mampu ia gapai. Dan satu sosok yang sulit untuk dia tepis di hati kecilnya.             Mawar yang baru hadir di sampingnya, menggelengkan kepala. Menepuk jidatnya sendiri saat kalimat yang sama harus dia terima dari Viola. Sahabatnya itu terus saja memuji Aldo sampai-sampai tak menghiraukannya yang sejak tadi mengajaknya masuk ke dalam kelas. Mata pelajaran Pak Argo, guru Fisika yang terkenal killer itu, membuat Mawar cukup dibuat gregetan melihat Viola yang enggan mengikutinya.             Mawar menghela napas, lalu sesaat melihat ke sosok Aldo yang saat itu menanti bola datang ke tangannya. Mawar juga menarik pandangannya ke sisi kanan lapangan. Terlihat beberapa cewek sedang asik berteriak menyerukan nama Aldo. Memberi semangat tapi lebih pantas terlihat seperti tawuran.             “Vi, ayo dong!”             “Aldooo, semangaaat!!!” teriak Viola yang spontan membuat Mawar terpekik kaget. Mawar menepuk kembali keningnya mendengar suara Viola ditambah dengan tingkahnya yang melompat-lompat persis seperti para murid cewek yang masih saja berteriak menyemangati sang penguasa lapangan itu.             “Dia ganteng banget kan, War?” puji Viola tanpa beralih melihat ke Mawar yang mulai kesal.             “Viola!!!”             “Apaan sih, War!!!”             Baru saja Viola beralih menatap Mawar, secara tiba-tiba bola basket membentur pagar lapangan tepat di depan Viola. Viola terpekik kaget. Mawar pun demikian. Keduanya menyentuh d**a masing-masing mencoba memeriksa detak jantungnya sendiri.             Aldo mendekat lalu meraih bola, “Kalian gak pa-pa?” tanya Aldo yang spontan menghadirkan gelengan kepala dari Viola dengan wajah bego.             Aldo tersenyum dan kembali ke tengah lapangan. Viola membalikkan tubuhnya menghadap Mawar yang melihatnya dengan ekspresi heran. Warna kemerahan hadir di kedua pipi Viola, persis seperti tomat. Mulutnya menganga. Kedua matanya menyipit seperti orang yang bersiap-siap terbang ke langit ketujuh.             “Gue kagak mimpi kan, War?”             Mawar memutar jemarinya di lengan Viola yang disusul jeritan kecilnya.             “Sakit!!!”             “Berarti loe kagak mimpi, udah ayo!” Mawar langsung menarik tangannya untuk kembali ke kelas. Viola yang masih terpana dengan sosok Aldo, sekilas melihat pangeran hatinya itu di tengah lapangan. Dan secara bersamaan, Aldo melihatnya sambil melempar senyuman. Viola semakin melayang dibuatnya.             Suara bel pintu tanda seseorang masuk berbunyi di toko bunga mama. Shinta yang asik merapikan susunan bunga, langsung menyambut Luna yang tanpa basa-basi menanyakan keberadaan mama.             Shinta langsung mengarahkan Luna untuk mengikutinya masuk lebih dalam. Satu ruangan dengan pintu terbuka membuat Luna kembali mengembangkan senyuman. Dua bola mata melayangkan tatapan penuh keramahan ke arahnya.             Mama memang masih tetap duduk di kursi pribadinya. Menulis beberapa angka ke dalam buku agenda setelah sesaat menyuruh Luna untuk duduk di sofa panjang. Luna mengarahkan tatapannya ke seluruh ruangan. Beberapa aneka bunga tertancap di sebuah pot yang telah diisi tanah. Berjajar rapi di lantai.             Bunga mawar menjadi satu hal yang membuat Luna menatap lumayan lama. Dia begitu menyukai bunga itu. Lebih tepatnya setelah tahu Panji menyukainya. Ralat, menyukai bunga mawar itu. Luna yang menganggap dengan mengikuti apa yang menjadi kesukaan Panji, akan berhasil menarik hati Panji untuknya. Namun sayangnya, Panji tetap saja bersikap dingin. Dingin sedingin es.             Hawa dingin keluar melalui celah-celah pendingin yang tergantung di dinding. ruangan bercat putih itu, sudah sejak sepuluh tahun tahun lalu menjadi tempat mama menghabiskan waktunya. Dia memang terlihat telaten menyusun dan merangkai bunga dengan berbagai bentuk. Bahkan tak jarang beberapa orang memakai jasanya untuk sekedar menghias tatanan bunga di acara pernikahan.             Tatapan Luna mengarah ke satu bingkai foto yang cukup besar tergantung di dinding. Ada Panji di sana yang duduk tepat di samping Viola. Merangkul Viola dengan penuh kasih sayang. Sedangkan Viola, terlihat mengarahkan tatapannya ke Panji dengan senyuman manis. Panji juga menatapnya. Dan semua itu, membuat Luna mendengus kesal.             “Ternyata kamu nepatin janji juga sama tante.” Suara mama mengagetkan Luna yang masih asik merutuki sosok Viola. Seharusnya dia yang ada di foto itu. Bersama Panji. Sebagai pacar.             “Iya dong, Tan. Masa Luna ingkar janji sih.” Luna mengarahkan tatapannya ke mama yang sudah duduk di sampingnya.             “Kamu suka bunga, Lun?” tanya mama sesaat setelah Shinta hadir memberikan orange jus ke hadapan Luna.             “Suka banget, Tante!”             “Wah, sama dong kayak tante,” jawab mama santai. “Sayangnya anak tante yang perempuan gak suka bunga.”             “Kurcaci?” Mama mengernyitkan dahi. “Eh, maksud Luna … Viola?” Luna menggigit bibir bawahnya. “Maaf, Tan, Luna salah sebut. Itu julukan buat adik sepupu Luna.” Luna menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mati gue kalau sampai ketahuan.             “Oh.” Mama meraih seikat bunga mawar yang belum tersusun rapi. “Tapi beda sama anak laki-laki tante. Dia pencinta bunga. Malah dia buatin taman kecil di depan rumah buat tante. Kebalik ya, Lun. Seharusnya Viola yang suka. Ini malah Panji.” Mama tertawa mengingat perbedaan di kedua anaknya.             “Biasanya cowok kalau suka bunga, pasti orangnya romantis.” Luna tersenyum dengan pipi merona.                Mama menoleh ke Luna dengan raut wajah menaruh curiga, “Kamu suka sama Panji?”             Luna menyilang kedua kakinya. Wajahnya semakin memerah. Sesaat ia menundukkan kepalanya, lalu kembali menatap mama dengan senyuman di bibir. Anggukan kepalanya berhasil menarik kedua sudut bibir mama untuk tersenyum. Melihat senyuman itu, Luna bersorak girang dalam hati karena telah berhasil memancing pembicaraan mengenai perasaannya ke Panji.             Mama meletakkan bunga mawar di tangannya ke atas meja. Lalu kembali menatap Luna, “Sudah tante duga. Terus Panjinya gimana?”             Luna mengangkat kedua bahunya, “Luna gak tahu, Tan. Panji kan orangnya susah ditebak.”             Mama mengerti sekarang permasalahan yang dihadapi Luna. Ia membelai lembut rambut Luna penuh kasih sayang. Senyuman masih hadir di bibirnya, “Mau tante bantu?”             Kedua mata Luna terbelalak, “Tante serius?”             Mama mengangguk. Hati Luna seakan melompat kegirangan. Akhirnya rencananya berhasil. Sesuai dengan susunan rencana dan harapan yang ia ukir sebelum menemui mama. Senyuman penuh kemenangan terlukis di bibirnya. Langkahnya untuk mendekati Panji, tinggal sedikit lagi. Dengan mendapatkan hati mama, otomatis penghalang sesulit apapun, bakalan musnah seketika. Termasuk Viola. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD