Nikita memutuskan untuk menemui Panji di kampus. Hampir satu malaman dia tak bisa memejamkan kedua matanya. Kalimat demi kalimat yang diberitahukan Aldo dan Mawar, membuatnya sulit menyambut mimpi indah. Rasa sakit di hati, membuatnya tidak kuasa terus bertahan. Dia ingin mengakhiri segalanya. Dan hari inilah waktu yang pas untuk dia melakukannya.
Dari kejauhan terlihat Panji melangkah mendekatinya yang saat itu duduk di tempat duduk taman depan kampus. Tak ada senyuman yang tergaris di bibirnya untuk sekedar membalas senyuman Nikita. Panji berhenti dan duduk di samping Nikita. Dan tanpa keduanya sadari, sejak tadi Luna yang mengikuti Panji terlihat berdiri tidak terlalu jauh dari tempat keduanya duduk. Tepatnya di belakang Panji dan Nikita.
“Ada apa?” Nada Panji masih terdengar sama. Datar dan dingin. Hal itu membuat Nikita bertambah yakin dengan keputusan yang dia ambil.
Nikita kembali memperlebar senyuman, “Gue kemari, cuma mau bilang kalau kita … sampai di sini aja yah.”
Panji yang semula enggan menatap Nikita, kini malah langsung mengarahkan kedua matanya tajam ke Nikita yang melihatnya dengan tatapan teduh.
“Gue bakalan pergi dari kehidupan loe. Mungkin lusa, gue bakalan ke Italy. Dan gak bakalan balik lagi.”
“Kok bisa?”
“Ji, gue udah tahu semuanya,” ucapnya. “Loe dan Viola, pacaran kan?”
Panji kaget mendengarnya. Luna sendiri juga terpekik kaget. Dia tak menyangka akan mendengar semua itu di siang bolong begini.
“Gue ….”
“Loe gak perlu nyangkal kok. Aldo dan Mawar sendiri yang bilang ke gue. Dan gue janji gak bakalan bilang siapa pun.”
Panji terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Nikita akan secepat ini tahu segalanya. Nikita menggenggam kedua tangan Panji hingga membuat Panji kembali menatapnya.
“Cinta kalian, gak bisa selamanya kan?” tanyanya. “Makanya itu gue ngasih waktu buat kalian untuk menikmatinya. Dan kalau waktunya tiba, loe bisa kan hubungi gue? Gue masih nunggu dengan rasa yang gak bakalan berubah buat elo. Bisa kan?” Panji menatapnya lamat-lamat. Ada air mata yang ingin melesat dari kedua matanya. Panji sendiri bisa merasakan bahwa semua itu, terlalu sakit untuk Nikita terima seorang diri. Ingin rasanya dia memeluk erat tubuh Nikita, mencoba menenangkannya. Namun dia sadar, kampus bukanlah tempat yang pas untuk melakukan hal itu. Dia sendiri pun tidak ingin membuat Nikita jelek di mata orang lain.
“Sialan, gila aja. Ini gak bisa dibiarin!” Luna langsung berlalu dengan emosi yang tidak tertahankan. Melangkah pergi menuju parkiran. Dia ingin secepatnya memberiahukan semua ini pada mama.
Senyuman ramah hadir di bibir mama saat mendapati Luna melangkah memasuki ruang kerjanya. Mama langsung berdiri mendekat dan mengajak Luna untuk duduk di sofa tamu. Meminta Shinta untuk menyediakan segelas minuman lalu kembali menatap Luna dengan tatapan tak enak hati.
“Kamu kemari mau marah ya sama tante, gara-gara tante gak bisa bantuin?”
Luna tersenyum tipis, “Luna memang kecewa sama tante. Tapi ada yang lebih membuat Luna kecewa, Tante.”
Mama menatap heran. Nada suara Luna dan ekspresi yang sengaja dia buat kecewa itu, berhasil menarik minat mama untuk tahu lebih jauh apa yang kini menyesakkan hati gadis di hadapannya.
Luna menghela napasnya lalu mulai menceritakan segalanya. Semua yang dia dengar langsung dari pembicaraan Nikita dan Panji. Terlihat wajah kaget mama. Mulutnya menganga tak percaya. Ada kesedihan yang terpancar di kedua matanya. Berulang kali mama menghela napas. Rasa kecewa begitu besar di hatinya dan hal itu membuat Luna tersenyum sinis.
Mama terlihat memegang kepalanya. Rasa sakit seketika menusuk kepalanya yang semula ringan. Air mata jatuh membasahi pipi mama. Sedangkan Luna tetap saja menceritakan segalanya dengan emosi yang tidak tertahankan. Apa yang ditakutkan mama, kini terjadi. Selama ini, mama berusaha memisahkan keduanya dengan meminta Panji dan Viola untuk memiliki pacar. Namun semuanya terlambat.
“Maaf, Tante. Luna gak ada maksud apa-apa ngasih tahu semua ini. Luna hanya takut, hubungan mereka itu terlarang. Kalau bukan sekarang dipisahkan, kapan lagi?”
Mama mengangguk setuju dengan kalimat Luna, “Iya. Ini gak bisa dibiarin, Lun. Tante benar-benar kecewa sama sikap mereka berdua. Seharusnya sejak kecil tante sudah pisahin mereka. Apa yang tante takutkan, terjadi. Andai saja dulu ….” Mama menghentikan kalimatnya. Raut wajahnya berubah. Napasnya memburu hebat. Luna menatapnya bingung.
“Dulu kenapa, Tan?”
Mama panik. Dia langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Cukup lama hingga membuat Luna kembali bertanya. Mama menatapnya dengan senyuman terpaksa yang dia tarik agar Luna tidak terus mendesaknya.
“Gak ada apa-apa, Lun,” ucap mama. “Kira-kira apa yang harus tante lakukan.” Mama mencoba mengalihkan pembicaraan. Semula Luna menatapnya curiga. Namun saat melihat senyuman dan sikap tenang mama, Luna langsung menghela napas dan tersenyum penuh arti.
“Cuma satu, Tante.”
Mama menatap ke arah Luna. Dahi mama mengernyit menanti rencana Luna. Tanpa mama ketahui, saat ini hati Luna bersorak penuh kemenangan karena telah menghancurkan Panji dan Viola yang selalu menyakitinya.
Panji membuka pintu kamar Viola. Terlihat Viola duduk di kursi belajar sambil bermain laptopnya. Sesaat tatapannya tertuju ke Panji yang melangkah mendekat. Namun sesaat kemudian, Viola menghentikan ketikannya saat mendengar permintaan Panji untuk meluangkan waktunya sesaat sekedar membahas apa yang Nikita katakan tadi siang.
Viola bangkit dari kursi belajar dan duduk di tepi tempat tidur. Menatap Panji yang tampak tak tenang, dan lebih memilih berdiri dari pada mengabulkan permintaan Viola untuk duduk di sampingnya.
“Ngapain kamu kasih tahu sama cowok kamu itu kalau kita pacaran?!”
Sesaat Viola terpekik kaget mendengar kalimat Panji. Namun beberapa menit kemudian, dia kembali menatap Panji yang masih menatapnya penuh keseriusan.
“Viola gak sengaja. Awalnya Viola ngasih tahu Mawar, tapi gak tahunya Aldo dengarin pembicaraan kami.”
“Viola … kamu tahu gak kalau semua itu membahayakan hubungan kita?!”
“Maafin Viola, Bang.” Viola tertunduk menyesali perbuatannya.
Panji menghela napasnya. Mencoba menenangkan emosi yang sempat memanas di hatinya, “Tadi Nikita datang ke kampus dan minta putus. Dia tahu semuanya dari kedua orang kepercayaan kamu itu!”
Viola kembali terpekik kaget. Dia langsung bangkit dan berdiri di hadapan Panji. Semua ini semakin rumit untuk dihadapi. Panji menatapnya dengan ekspresi kebingungan.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Panji. “Mereka itu buat kita gak dicurigai sama mama. Tapi sekarang, Nikita mutusin abang. Dan hal itu bakalan buat mama marah besar dan ujung-ujungnya nyariin cewek lagi buat dijodohin ke abang. Itu yang adek mau?”
“Enggak, Bang. Maafin Viola.”
“Vi, hubungan kita ini terlarang. Seharusnya kamu sadar itu. seharusnya kamu bisa jaga semuanya. Termasuk perjanjian kita!” Panji melekatkan pandangannya ke kedua mata Viola yang kini terlihat sendu.
“Perjanjian apa lagi itu?!” Sebuah suara mengagetkan keduanya. Baik Panji maupun Viola langsung mengalihkan pandangannya menuju ke sosok mama yang sudah berdiri di dekat pintu kamar. Menatap tajam dengan wajah memerah penuh emosi.
“Perjanjian apa itu!!!” Mama mendekat dan berhenti di antara Panji dan Viola. “Viola! Panji!”
Viola menundukkan kepalanya. Rasa takut benar-benar menyergapnya begitu kuat. Kemarahan mama pernah dia terima saat dia duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu Viola pernah memecahkan vas bunga kesayangan sang mama hingga membuatnya harus menerima hukuman di kurung di kamar. Mama juga memarahinya tanpa henti hingga melarang Panji untuk membelanya. Dan kali ini, Viola harus menerima kembali kemarahan itu. Bahkan lebih dahsyat lagi.
“Ayo kasih tahu mama!”
“Panji pacaran sama Viola.” Kalimat Panji berhasil menarik tatapan Viola terjurus padanya. Viola tidak menyangka, Panji akan senekat itu mengatakan segalanya. Mama terlihat kaget bukan main. Sementara Panji tampak tenang.
Sebuah tamparan melesat ke pipi kanan Panji. Suasana semakin tak terkendali. Bahkan ketika papa tiba-tiba hadir dan menarik mama untuk melesatkan tamparannya ke Viola pun, mama tetap saja berontak. Panji berdiri tak gentar di hadapan Viola. Mencoba menghalangi tindakan mama yang berniat melakukan hal yang sama seperti yang dia terima.
“Tenang, Ma!” bentak papa sambil terus menahan tubuh mama.
“Pa, mereka ini pacaran!” bentak mama. “Berdosa buat kita kalau tetap tenang!”
“Tapi gak baik memukul anak sampai segitunya, Ma!”
Mama menghentakkan tangan kanannya hingga membuat genggaman papa terlepas, “Mereka pantas dipukul, biar mereka sadar kalau perbuatan mereka salah!!!”
“Cinta gak pernah salah, Ma.” Panji memberanikan diri kembali mengeluarkan suara.
“Panji, hentikan!” ucap papa dengan wajah memerah.
“Panji cuma ingin mama dan papa tahu, kalau kami saling mencintai,” ucapnya. “Kami sadar suatu hari nanti, kami gak bakalan bersatu. Dan gak ada salahnya kan, Pa. kalau saat ini kami nikmati rasa ini.”
“Anak gak tahu diri!!” bentak Mama kembali murka sambil menarik rambut Panji. Viola menutup mulutnya. Air matanya mengalir melihat semua itu. Mama juga berusaha menggapai tubuh Viola. Namun dengan cepat, Panji dan papa melindunginya yang masih berada di belakang Panji.
“Mama gak mau tahu, lusa … kamu bakalan mama kirim ke rumah nenek!!!” bentak mama. “Kamu tinggal di sana dan kamu Panji, bakalan tetap di sini sama mama!!!”
Viola kaget bukan main mendengar ucapan mama. Panji sendiri berusaha menolak, namun sikap keras mama membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan usahanya yang langsung berlutut di depan mama pun, tak dihiraukan mama yang langsung pergi dari kamar. Papa menyentuh bahu Panji dan mencoba menenangkan kedua anaknya. Termasuk memeluk Viola yang kini menangis.
“Viola gak mau jauh dari abang. Viola gak mau,” isaknya di pelukan Panji saat papa keluar menyusul mama.
“Kita gak bakalan pisah, Dek. Tenang aja ya.”
Viola mempererat pelukannya. Mencoba merasakan kehangatan Panji yang nantinyan tak akan mampu lagi dia rasakan. Panji sendiri berulang kali mendaratkan kecupan di puncak kepala Viola. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya.