BAGIAN DUA

1558 Words
  Usai melakukan serangkaian tes kesehatan sederhana, saat ini Bara berada diruang direktur yang menjadi ruangan ayahnya. Ruangan itu cukup luas, penempatan jendela besar menghadap ke arah barat membuatnya dapat melihat kondisi jalanan kota Bekasi yang selalu ramai, terlebih jika cahaya jingga melukis langit pada sore hari, menjelang matahari terbenam menambah estetika pemandangan yang dilihatnya. Bara menghirup napas dalam-dalam sambil berdiri tepat di depan jendela besar itu. Tiba-tiba saja napasnya tercekat saat melihat sesuatu terjatuh dari balik jendela, matanya menangkap sekilas wajah perawat yang dia temui dan mengira menggunakan kostum light in the dark. Tak berapa lama suara teriakkan dari lantai dasar membuat Bara tersadar, dia menengok ke bawah dan seseorang tergeletak tak sadarkan diri, darah mengucur cepat dari tubuhnya, beberapa orang mengelilinginya lalu petugas kesehatan datang mengevakuasi. Bara bergegas keluar, dia berlari mengarah ke tangga darurat dan turun menuju ruang IGD. Bara mengatur napasnya yang terengah-engah ketika sampai di depan IGD yang cukup ramai, beberapa orang di depan IGD saling bertukar cerita mengenai perawat yang terjatuh dari rooftop. IGD nampak sibuk, beberapa tenaga medis berlalu-lalang hingga Bara pun tak sengaja menabrak perawat yang tertutup rapi menggunakan maskernya terburu-buru keluar dari IGD. Sontak Bara memundurkan langkahnya, bukan karena menabrak, melainkan karena ia terkejut melihat cahaya biru disekitar tubuh perawat itu seperti cahaya merah yang dilihatnya pada perawat yang saat ini tekulai lemas di ranjang rumah sakit. Bara memegang kepalanya yang mulai berdenyut, kedua matanya masih dapat melihat perawat bercahaya biru itu berjalan cepat keluar dari rumah sakit, Bara hendak mengejar tetapi tidak sampai langkah ketiga, dia meringis memegangi kepalanya kuat-kuat, rasanya seperti dihantam benda berat, perlahan pendengaran dan penglihatannya memudar, tubuhnya ambruk ke lantai berbarengan dengan kesadarannya yang menghilang. ••• Hari sudah gelap ketika Bara menginjakkan kaki di apartemen orang tuanya, disambut ibunya, pria itu melangkah masuk. Dia merebahkan diri pada sofa panjang ruang tamu. "Kamu yakin baik-baik aja? Kenapa nggak di rumah sakit sampai hasil MRI nya keluar?" Wanita paruh baya itu membawa teh hangat lalu menyimpannya di meja. Bara mengubah posisi duduk, menatap ibunya. "Bara nggak habis kecelakaan besar bu, cuma kejebak di lift. Ayah berlebihan mendiagnosa sampai harus MRI segala." Wanita itu tersenyum, dia mengambil duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangan kanan putranya dengan kedua tangannya. "Biarpun dia ayah kamu, tapi dia juga dokter, Nak. Sebagai dokter, ayahmu tahu tindakan apa yang tepat untuk pasiennya." Bara mengulum senyum, dia menyimpan tangan kirinya diatas kedua tangan ibunya. "Maka dari itu, ibu nggak perlu khawatir sama Bara, karena Bara punya ayah dan dokter hebat." Wanita itu memberengut. "Emangnya nggak boleh khawatir sama anak sendiri." Bara menampakkan jajaran giginya, dia memeluk manja ibunya. "Boleh dong..."  Lalu dia melanjutkan." Hm... Bu, Bara laper... Terus nanti Bara minta stok lauk buat besok pagi ya." Wanita paruh baya yang masih di dalam pelukannya itu pun menepuk lengan putranya. "Hauhh... Ibu bilang juga apa, nggak usah ngekos segala." "Kalo Bara berangkat ke kampus dari sini, macet dijalan, tiap hari telat ngampus nanti." Dia melepas pelukannya. Ibunya mengangguk saja, lalu bangkit untuk menyiapkan makan malam putranya. "Tapi kamu juga bawa mobil kan? nambah-nambah polusi aja. Percuma cari kosan deket sama kampus." Bara mengekor ibunya. "Tadi kan emang rencana Bara mau ketemu ayah, nggak ke kampus doang. Hehe." "Iya, iya."  Sementara Bara yang sudah duduk di meja makan dan menyantap makanannya, ibunya mempersiapkan beberapa Tupperware untuk diisi lauk pauk kebutuhan Bara. "Ayah kamu bentar lagi datang kan?" "Iya, kalo hasil MRI nya keluar ayah ke rumah. Makanya Bara disini." Ucap Bara disela-sela mulutnya yang masih penuh dengan makanan. "Bukan gitu, ibu mau buat teh. Kalau masih lama, ibu buat nanti saja." "Ooohhh, bentar lagi mungkin. Ibu buat sekarang aja." "Iya udah. Kamu mau?" Bara menggeleng, ia lalu fokus menghabiskan makanannya. Setelah menghabiskan satu piring penuh, Bara berjalan ke sofa tempatnya menyimpan tas, lalu mengambil ponselnya. Dari arah pintu, seseorang terdengar membuka sandi apartemen, tak lama pintu terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan membawa tas gendong nya. Pria itu tersenyum melihat Bara yang berdiri di ujung sofa. "Gimana yah hasilnya?" Tanya Bara. Dia menghampiri pria paruh baya itu. Ayahnya berjalan lurus lalu duduk di sofa. "Nggak ada yang aneh sama hasil MRI nya." Ibu Bara keluar dari dapur membawa teh hangat, menyimpan teh hangat itu di atas meja, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa sebelah suaminya. "Beneran?" Bara duduk di depan kedua orang tuanya. Ayahnya mengangguk, ia menyeruput teh hangat yang sudah disediakan istrinya. "Sementara, ayah rasa itu karena efek dari kejadian yang kamu lihat, kamu shock dan mengalami disfungsi fokus." "Semacam halusinasi." Lanjutnya. "Berarti cuma trauma sementara aja kan?" Tanya Bara. Ayahnya mengangguk. "Awalnya ayah kira Palinopsia." "Tapi, hasil MRI nggak nunjukin ke arah diagnosa ayah." Potong Bara. Pria paruh baya itu menyunggingkan sudut bibirnya. "Nah itu tahu." "Tapi, kalau ilusi itu berulang tanpa stimulus yang jelas. Kamu harus kasih tahu ayah, atau nanti ayah rekomendasikan dokter saraf buat kamu." “Nggak usah, yah.” “Cuma konsultasi doang, kalo kamu udah ngerasa baik-baik aja boleh nanti nggak usah konsultasi.” “Yaudah—“ Bara mengangguk patuh. Pria itu kemudian mengambil tasnya.  “Kalo gitu, Bara pergi dulu, takut kemalaman." "Kaya di mana aja." Ucap ayahnya sambil menyenderkan punggungnya di sofa. "Bukan gitu yah, Bara ada janji sama teman." "Teman apa teman..." Goda ayahnya. Bara langsung bangkit. "Teman, ayah juga tahu para kutukupret yang biasa main sama Bara.” “Jangan main yang nggak-nggak. Udah mahasiswa, jangan nakal, berhenti main-main.” “Baik bos!" "Awas aja ya kalo bikin malu ayah--" "Udah ah nggak mau kelamaan disini lagi." Bara menepis. Ayahnya terkekeh, sementara ibunya berjalan menuju meja makan. "Ini jangan lupa dibawa." "Oh iya." Bara yang sudah menggendong ransel berjalan menuju ibunya. “Nanti besok pagi diangetin dulu sebelum dimakan.” "Thank you." Ucapnya menerima paper bag berisi lauk pauk, lalu ia tak sungkan mencium pipi ibunya. "Ayah nggak dicium?" “Ah, ibu itu ayah minta cium." Bara terkekeh, seketika itu juga dia berlari keluar dari apartemen orang tuanya.   ** Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB, semakin malam tak urung membuat jalanan Kota Bekasi sepi, rupanya macet masih menjadi headline yang pas untuk mendeskripsikan jalanan kota. Bara bersenandung  mengusir rasa bosan di dalam mobilnya yang hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Tangan kirinya dengan lincah mencari kontak seseorang dan menelponnya. Seseorang dari seberang telepon dengan pekikkan keras membuat Bara sedikit terkejut. "Lo dimana?!" "Masih dijalan nih." "Halahh, bilang otw tapi masih rebahan." "Si anjir nggak gitu konsepnya." "Yaudah kita tunggu ya. Ngaret lama awas lo, bayarin bill kita." Bara mematikan teleponnya sepihak. Dia lalu melempar handphone ke jok di sebelahnya. Dalam kemacetan itu, sesekali dia melihat jalanan atau ruko-ruko yang ramai disekelilingnya, juga dengan kejadian-kejadian yang tak terduga. Seperti saat ini, ia melihat dua pengendara motor bermesraan di samping mobilnya ditengah-tengah kemacetan. Tak ingin matanya melihat yang tidak-tidak Bara memfokuskan pandangannya ke jalanan depannya. Sesuai dugaannya, ia sampai di pelataran Bar dalam waktu dua puluh menit. Ia kemudian bergegas masuk, mencari teman-temannya di area billiar. "Woee pak dokter baru nyampe." Bara menghela napas, agaknya teman-temannya sudah sedikit mabuk. tiga orang itu tersenyum ke arah Bara. "Minum dulu nih." Bara menerima snifter kosong yang disodorkan temannya, ia juga menerima Tequila yang di tuang oleh teman yang lainnya. Bara mengangkat snifter itu lalu membuat gerakan memutar dengan tangan secara perlahan, lalu menyesapnya perlahan. Rasa pahit menjalar dilidahnya, ia merasakan saraf-saraf tubuhnya ikut terpengaruh karena itu. Ke empat pria ini membuat janji temu sebelum memulai kesibukan mereka di bangku kuliah, katanya. Takut-takut sudah tidak bisa nongkrong bareng lagi karena berbeda kesibukan. Dua dari teman Bara mengambil jurusan Teknik Sipil, satu temannya lagi mengambil jurusan Teknik Informatika, mereka berkuliah ditempat yang berbeda. Kecuali Bara dan Danu, temannya yang mengambil jurusan Teknik Informatika, mereka satu kampus namun tentunya berbeda fakultas dengan Bara. Bara menyimpan gelas tequila nya yang masih tersisa di atas nakas. Mereka kemudian mulai bermain billiar. Sementara itu Bara berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu mabuk, selain karena dia menyetir mobil sendiri, besok juga ia ada janji temu dengan dosen Biosains. ••• Bara sedikit meringis saat bangkit dari kasurnya, dia menatap jam dinding dan langsung melompat keluar dari selimutnya. Sial! Jam tujuh lebih! Masih dengan kepala yang sedikit pening, Bara bergegas ke kamar mandi yang ada di dalam kamar kost nya, dengan skill yang dimilikinya ia berhasil mandi hanya dalam dua menit. Tanpa menyisir rambutnya, pria itu menyambar ransel, memakai sepatu tanpa mengikat talinya, lalu bergegas membuka pintu kos, tak lupa menutupnya kembali saat ia sudah berada di luar. Walau kepalanya yang masih pening, dia berlari ke kampus, selain lebih cepat sampai ke kampus, Bara merasa akan lebih efektif menghilangkan efek alkohol dengan mengeluarkan keringat saat berlari. Bara sampai di lingkungan fakultasnya dengan napas terengah-engah, dia mengurangi kecepatan berlarinya menuju ruang dosen. "Pagi..." Bara membuka pintu ruang dosen. Ia melangkahkan kakinya ke dalam lalu celingukan mencari Profesor Reino, dosen Biosainsnya. "Kamu mencari saya?" Bara menengok pada sumber suara, matanya membulat mendapati Profesor Reino yang baru masuk ke dalam ruangan. Cahaya itu... Dia mengucek matanya. Profesor Reino berjalan ke arah kursinya. "Kenapa Bara? Kamu baru bangun tidur?" Bara mengangguk. Dia masih tetap menggosok-gosok matanya, tapi yang membuatnya menggosokkan matanya bukan karena ia belum sepenuhnya sadar dari tidur, tapi karena dia melihat cahaya yang sama lagi, namun cahaya ini tidak sepekat yang dilihatnya di perawat wanita itu. Mungkin efek hangover. "Kamu ingat tugas yang saya berikan untuk penanggungjawab mata kuliah saya?" Blank. Bara mendapat satu pelajaran hidup pagi ini, dia tidak bisa menjadi sempurna diberbagai peran dengan kecerobohannya. Untuk menyenangkan temannya dia ikut meminum alkohol melebihi batas maksimum tubuhnya, untuk menjadi mahasiswa yang baik dia berani menjadi penanggungjawab mata kuliah tetapi ia lupa tugas pertamanya, ingin menjadi anak yang baik, tapi ia lupa makanan yang diberikan ibunya masih berada di jok belakang mobil, entah nanti akan menjadi apa rasanya jika tetap berada disana dalam waktu yang lama. Astaga, Bara.  ••• Breaking News, Diduga mendapat tekanan bekerja, seorang perawat wanita nekat melompat dari atas gedung rumah sakit. Sempat kritis, kini meninggal dunia. Diketahui ternyata perawat wanita tersebut baru dua minggu diangkat menjadi kepala bagian rawat inap.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD