BAGIAN SATU

1182 Words
Setelah satu pekan lebih melewati masa bimbingan mahasiswa baru, akhirnya para mahasiswa yang beberapa bulan yang lalu baru lulus masa sekolah kini menjadi mahasiswa resmi yang mulai jadwal perkuliahan, drama tugas kampus, praktikum, percintaan, dan drama-drama kampus lainnya, biasanya mahasiswa juga diberi jatah 'bolos' yang bisa dimanfaatkan, kegiatan nongkrong-nongkrong bakal terjadi untuk menghilangkan kegabutan sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya karena terkadang jarak antar sesi sangat lama. Masih pukul enam pagi kurang lima menit, seorang pria dengan tas punggung hitamnya berjalan santai menyusuri pelataran kampus setelah memarkirkan mobilnya, ia berbelok ke lobby salah satu gedung fakultas. Di tembok lobby itu terdapat plakat besar bertulis Fakultas Kedokteran. Dia berhenti sesaat, lalu melihat peta tata letak ruangan yang tertempel di dinding kaca. "Lima belas... lima belas..." Ia bergumam sambil jari telunjuknya menerawang pada peta ruangan. Dia tersenyum ketika matanya sudah menemukan ruangan yang dimaksud. "Lantai tiga, lorong kedua." Ia berjalan lagi dengan santai sambil tangannya sibuk menggulung lengan kemejanya. Dia langsung berbelok menaiki anak tangga yang berada di ujung lobby. Anak tangga demi anak tangga ia naiki. Suasana di fakultas masih cukup sepi, tak heran karena sebenarnya jadwal masuk pukul delapan untuk mahasiswa semester satu dan untuk semester lainnya mulai mengisi kuliah minggu depan. Pria itu tetap berjalan sambil bersenandung. Kakinya kemudian berhenti tepat di depan pintu yang bertag Ruang 15. Dengan semangat ia membuka pintu ruangan, dan berteriak. "Selamat datang kehidupan kampus." "Oh Astaga!" Pria itu terkejut ketika mendapati ia tak sendirian di sana, seorang gadis dengan rambut tergerai yang hampir menutupi seluruh wajahnya terlihat duduk pada kursi ujung tembok sebelah kiri. Tidak seperti dirinya, gadis itu tidak menampakkan keterkejutannya. Ia hanya mendongak lalu menatap pria yang berisik itu dalam beberapa detik lalu kembali menundukkan pandangannya terfokus pada buku yang sedari tadi ia baca sehingga rambutnya yang digerai itu kembali menutupi wajahnya. Dengan menggaruk tengkuknya pria itu menutup kembali pintu ruangan dan berjalan ke salah satu kursi. Ia memutuskan duduk tepat di depan gadis itu. Setelah menyimpan tasnya, ia kemudian memutar posisi tubuh sehingga menghadap tepat di depan gadis yang benar-benar fokus melihat tulisan-tulisan dibuku tersebut. Merasa terlalu diperhatikan gadis itu mengangkat sedikit kepalanya. Mereka saling berkontak mata cukup lama, pria itu memandang kosong menatap kedua bola mata gadis itu dari jarak dekat, matanya yang cukup sendu mampu menghipnotis dia untuk beberapa saat  hingga akhirnya dia terlihat kikuk lalu mengalihkan pandangannya. Melihat pria tersebut yang sudah tidak menatapnya dan tidak berkata apapun, gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Tetapi kemudian pria itu mulai terusik dengan satu hal. Ia menatap kembali gadis di depannya baik-baik. Ia menatap garis-garis wajah gadis itu yang tersamar oleh rambut panjangnya. Lalu serangkaian kejadian kecil melintas cepat di dalam otaknya. Pria itu kemudian mengambil tasnya lalu mencari sesuatu dari dalamnya. "Ini punya lo, kan?" Ia menyerahkan benda persegi yang berukuran cukup kecil di atas buku yang tengah gadis itu baca. Gadis itu kembali menatap pria pengganggu di depannya. Setelah memperhatikan benda itu, otaknya mulai merespon. Rupanya pria itu orang yang dimintai tolong olehnya beberapa bulan yang lalu, di depan rumah sakit saat atmnya tertelan. Dengan cepat ia mengambil benda itu dan menyelipkannya diantara halaman bukunya. "Senang bisa ketemu lo disini. Nggak nyangka bisa satu kampus, satu jurusan, satu kelas lagi." Pria itu menaikkan satu alis, ia menunggu gadis itu bersuara. Namun karena tetap pada bukunya, pria itu menyerah. Ia kembali memutar posisi tubuhnya sehingga membelakangi gadis itu. Selang beberapa waktu yang cukup lama, satu persatu ruang kelas mulai terisi. Pria "atm" itu juga langsung berbaur dengan teman-teman kelas lainnya, dengan alami membuat lingkaran kecil saling bertukar obrolan. Tunggu. Agar mudah, mari kita berkenalan dengan pria itu, dia bernama; Bara Tanunggala Kusuma. "Panggilan lo Bara? Wah bakalan bingung nih ada nama yang bunyinya terdengar sama." Ucap pria berkacamata yang baru saja nimbrung dengan lingkaran Bara. Lantas Bara mengerutkan alis. "Itu lho yang di belakang lo, namanya Dara." Pria berkacamata itu menambahkan kalimat untuk menjelaskan perkataan sebelumnya. Bara menoleh, gadis yang masih terpaku pada kegiatannya itu bernama Dara, gadis itu juga yang meminta tolong padanya di depan atm beberapa bulan yang lalu. Bara kembali fokus pada lingkaran pembicaraan mereka, beberapa orang ikut bergabung dalam perbincangan abstrak yang membahas banyak topik berbeda, hingga menghapus waktu-waktu kosong mereka sebelum sesipertama mata kuliah dimulai. °°° Bara memarkirkan mobilnya di pelataran rumah sakit, usai mata kuliah ia ingin berbincang sedikit dengan sang ayah yang merupakan dokter sekaligus direktur di salah satu rumah sakit swasta di daerah Jawa Barat. "Sore pak..." Dengan ramah ia memberi sapaan pada dua orang satpam yang bertugas di depan rumah sakit. "Sore mbak.." Ia juga menyapa staff administrasi yang sibuk berkutat dengan komputernya. Bara berhenti di lift pertama, lift khusus petugas rumah sakit, bukan khusus pasien, ia menekan salah satu tombol call button yang menunjukkan arah ke atas. Tak lama, lift itu terbuka lalu Bara masuk ke dalamnya. Ia menekan tombol lima, lantai dimana ruangan direktur berada. Ayahnya baru diangkat menjadi direktur rumah sakit satu bulan yang lalu. Semua itu merupakan hasil kerja keras ayahnya selama menekuni profesinya. Bara sangat bangga pada ayahnya itu, sebab di matanya sang ayah merupakan dokter yang sempurna. Walaupun sesekali mengalami kegagalan, sebagai dokter ia mampu bersikap bijaksana dan berusaha memperbaiki kegagalannya dikemudian waktu. Di luar kendali, belum tiba di lantai lima, tiba-tiba lift mengeluarkan bunyi berdengung amat nyaring yang memekakan telinga. Bara menutup telinganya dengan kedua tangan, dia melihat tampilan Floor Designator dan Hall Button yang berada di atas pintu lift yang menampilkan lokasi kabin lift dan pergerakannya mendadak berhenti. Kepala Bara terasa pening karena suara itu, setelah cukup lama suara itu akhirnya mereda, ia bergegas mengambil handphone dan berniat menghubungi ayahnya namun ternyata signal dalam handphone nya sudah menghilang. lalu dengan cepat ia menekan Emergency Button. Dia juga menggedor-gedor pintu lift sambil berteriak minta tolong. "Anda baik-baik saja?  Kami akan berusaha membuka pintu liftnya." Bara menghela napas lega ketika mendegar suara seseorang dari luar lift. "Silakan." Bara bersandar pada dinding lift sambil menunggu pintu lift yang terbuka. "Apa semua lift rusak?" Tanya Bara pada orang-orang yang di luar. "Tidak. Hanya lift ini saja." Bara bernapas lega, ia tak bisa membayangkan bagaimana jika lift pasien juga mengalami kerusakan. Akan lebih sangat berbahaya. Bara mulai tidak bisa diam, pintu lift nya sama sekali belum terbuka. Namun seiring keringatnya yang menetes, pintu lift perlahan terbuka sedikit demi sedikit dengan beberapa jari tangan yang masuk berusaha memisahkan antara kedua pintu lift itu. Bara bisa merasakan aroma khas rumah sakit kembali tercium pada indranya setelah ia terkurung dalam lift itu. Seseorang teknisi mengulurkan tangan, Bara meraih uluran tangan itu kemudian berusaha keluar dari lift yang baru sampai setengahnya di permukaan lantai. Saat kedua kakinya sudah berhasil menapaki lantai, pandangan matanya terlihat tidak fokus, bayangan-bayangan muncul secara abstrak. Entah ini karena retina nya yang menyesuaikan kontras cahaya yang diterima atau karena hal lain. "Argh.." Bara menutup matanya lalu memijat pelipisnya. "Mas... Mas nggak apa-apa?" Tanya salah satu teknisi mesin. Alih-alih menjawab, Bara perlahan membuka matanya lalu melihat pada sekelilingnya. beberapa teknisi mesin dan perawat yang menatap ke arahnya. Bara mengusap matanya antar sepersekian detik. Kemudian matanya menatap tajam pada perawat yang berdiri paling dekat dengannya. "Cahaya apa itu?" Tanyanya pelan. "Iya mas?" Merasa berbicara dengannya lantas perawat itu menyahut. "Cahaya merah! Mbak lagi pakai kostum light in the dark apa gimana?" Perkataan Bara yang melantur itu membuat yang lain menatapnya heran, Bara terus mengatakan cahaya yang dilihatnya, merasa ada yang salah dengan kondisi Bara, beberapa perawat menuntun Bara untuk mendapatkan perawatan, pria itu juga terlihat sedikit shock akibat kejadian yang ia alami. Sementara perawat yang dilihat Bara dengan cahaya merahnya masih berdiam di tempat, kemudian berjalan keluar dari koridor yang berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD