Desa Terpencil

1375 Words
Tuan Gothe dan Anasthasia memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas backpack yang lebar. Perabotan rumah sudah diangkut oleh mobil pick up yang telah meluncur mendahului mereka. Anasthasia membungkuk untuk meraih kotak yang ada di bawah kolong kasurnya, sebuah kotak berisikan benda-benda yang ia pakai semasa kecil. Nampak sebuah kalung dengan permata berwarna merah delima berada di dekat kotak. "Anathasia De Valencia!" panggil Gothe dari lantai bawah. Anasthasia segera meraih dan memasukkan kalung tersebut ke dalam kotak. Ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, dan menghampiri pamannya. "Aku sudah siapa Paman!" ujar Anasthasia saat ia sudah tiba di hadapan pamannya. Gothe mengusap puncak kepala Anasthasia, tangannya seketika berdenyar seperti habis tersetrum oleh listrik saat menyentuh kepala keponakannya itu. "Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang!" ajak Gothe masih dengan kebingungan di benaknya. Mobil berjalan dengan cepat, melewati jalanan yang sepi dengan pohon pinus berjajar dengan rapih di sepanjang jalan, di beberapa bagian ditemukan pohon oak dan pinus yang menjulang tinggi dengan ranting daun yang melebar menutupi langit dari jalanan hingga suasana jalanan menjadi gelap. Anasthasia melihat sudut-sudut jalan yang ia lewati, ia sedikit terkejut melihat daerah yang dilaluinya nampak sepi, seperti sedang melewati jalanan pedesaan. "Sebenarnya kita akan berpindah ke kota mana, Paman?" tanya Anasthasia penasaran. "Hm... tidak ada lagi kota, gadis kecil. Aku akan mengajakmu pindah ke rumah nenekmu yang sudah lama meninggal. Suasana disana sangatlah damai dan indah, aku yakin bahwa kau akan langsung menyukainya saat pertama kali kau datang ke tempat itu," ujar Gothe. "Hm. Padahal suasana perkotaan lebih asik dan modern hingga segalanya menjadi mudah," keluh Anasthasia. Gothe tersenyum kecil. "Kau juga akan menemukan kemudahan disana, bahkan hidupmu akan menjadi sangat mudah berkali-kali lipat,orang-orang disana pun sangat ramah" balas Gothe sambil tersenyum, mencoba meyakinkan Anathasia bahwa desa yang akan mereka tinggali adalah tempat yang tepat, meskipun sebenarnya alasan Gothe membawa Anasthasia ke desa tersebut karena biaya hidup disana yang murah. ***** Setelah menempuh perjalanan empat jam dengan menggunakan mobil sedan Gothe, akhirnya mereka pun tiba. Kabut putih segera menyapa kedatangan mereka. Hening sekali suasana yang ada. Namun, keindahan pemandangannya memang tidak bisa ditolak begitu saja. Gothe membangunkan Anasthasia yang tertidur pulas di mobil. Anasthasia mengerjapkan matanya beberapa kali, hingga ia bisa melihat rumah neneknya dengan jelas. Sebuah rumah bernuansa gothic dengan lantai berkayu, lebih seperti sebuah kabin ketimbang sebuah rumah, namun ukiran di rumah tersebut nampak unik, seperti ukiran dengan bentuk akar tanaman yang menjuntai tak karuan. Anasthasia berjalan menelusuri pemandangan di sekitar rumah, sebuah danau dengan airnya yang jernih namun tidak terdapat ikan atau hewan lainnya disana. Dan di seberang danau terdapat hutan pinus yang menjulang tinggi menutupi sinar matahari yang akan masuk ke daerah tersebut. Beberapa rumah terlihat kosong. Daerah itu benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni. Anasthasia mengeratkan jaket berbulu yang ia kenakan, hawa dingin benar-benar terasa disana, terlebih lagi sinar matahari tak bisa masuk akibat terhalang oleh dedaunan dari pohon-pohon pinus dan oak yang lebat. Tanah berumput hijau yang diinjaknya nampak basah oleh embun yang tak henti-hentinya muncul. Anasthasia membalikan badannya, menatap punggung Tuan Gothe "Kemana tukang mobil yang membawa perabotan rumah kita?" tanya Ansthasia mengikuti langkah pamannya ke dalam rumah. "Yah, aku pun tidak tahu, mungkin mereka sedang tersesat di suatu tempat atau sedang beristirahat," jawab Gothe sambil menyimpan tas punggungnya di sofa yang masih dilapisi oleh kain berwarna putih dengan debu di atasnya. "Bukankah itu aneh? Mereka kan sudah berangkat mendahului kita, selang waktunya sekitar satu jam, tapi kenapa malah kita duluan yang sampai?" tanya Anasthasia, curiga. "Tidak ada yang aneh, gadis kecil. Aku memang sengaja menempuh jalan pintas untuk tiba di tempat ini lebih cepat, karena jika tidak, kau akan segera bosan berada di jalanan dengan pemandangan yang itu-itu saja," balas Gothe dengan tenang. Gothe merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone dari sana. "Kau tunggulah disini, aku ingin menghubungi kurir pengakut barang untuk menanyakan keberadaan mereka," titah Gothe. Ia segera keluar dari rumah. Anasthasia menyimpan tasnya di meja, ia berjalan menyusuri rumah, mengamati foto-foto yang tergantung di dinding, wajah neneknya, ibu dan pamannya nampak di foto tersebut dengan nuansa hitam putih, dan pakaian tempo dulu yang seperti mengenakan pakaian kerajaan dengan gaun bagian bawah yang lebar dan menjuntai hingga tanah. Sebuah topi berbentuk kerucut dikenakan oleh keluarga itu, topi yang biasa dikenakan oleh para penyihir di serial televisi favoritnya. GEDUBRAK Sebuah suara tiba-tiba muncul dari bagian belakang rumah. "Paman?!" panggil Anasthasia dengan was-was. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan, tak ada suara langkah kaki yang terdengar. Sebuah cahaya berwarna merah muda nampak melesat dengan cepat di balik pintu dapur yang terbuat dari kaca. "Apa itu tadi?" tanya Anasthasia seorang diri. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, takut ia hanya salah lihat, namun sialnya ia sama sekali tidak salah lihat, cahaya merah muda itu terpantul di kaca pintu. Anasthasia mengikuti pantulan cahaya merah muda tersebut, ia penasaran akan sumber cahaya yang terus saja bergerak kesana kemari, seolah sumber cahaya tersebut memiliki kaki untuk bergerak sesuka hati. Suara-suara nyaring mulai terdengar saat Anasthasia berada di ambang pintu dapur. "Siapa disana?" tanya Anasthasia dengan was-was. Namun, tak ada suara yang menjawab pertanyaannya. TRIIIING TRIIIIING Telepon genggam Anasthasia berdering, menghentikan rasa penasaran yang menghampirinya.Ia mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Paman Gothe. “Hallo, Paman. Ada apa?” tanya Anasthasia sambil membalikkan badannya dan berjalan kembali ke teras rumah. Nampak Paman Gothe berdiri di halaman depan. Paman Gothe berbalik dan tersenyum pada Anasthasia. “Ah, aku hanya sedang menguji sinyal telepon di daerah sini,” jawab Paman Gothe sambil menggoyang-goyangkan telepon genggamnya. “Sepertinya para pengangkut barang itu benar-benar tersesat, mungkin mereka akan lama sampai sini karena daerah ini tidak terdeteksi oleh navigasi. Sebaiknya kita beres-beres terlebih dahulu dan menyiapkan makan malam.” Lanjut Gothe. ***** Gothe mengajak Anasthasia ke pusat perbelanjaan yang letaknya cukup jauh dari rumah. Sepanjang jalan yang di tempuh hanya nampak beberapa orang saja yang lewat, namun saat tiba di pusat perbelanjaan, suasana berubah menjadi sangat ramai. Orang-orang dengan antusias melakukan kegiatan jual beli. Membuat Anasthasia cukup tercengang dengan perubahan suasana yang ada. “Aku tidak tahu bahwa penduduknya masih sebanyak ini,” ujar Anasthasia sambil terus mengamati sekitar. Gothe hanya tersenyum dan mendepak pundak Anasthasia, memberi kode untuk mengikuti langkahnya. “Kau akan kehabisan bahan makanan jika hanya diam seperti itu,” ujar Gothe. Anasthasia dan pamannya berkeliling membeli bahan makanan dan kebutuhan hidup lainnya, di tengah keramaian yang ada, tiba-tiba bulu kuduk Anasthasia berdiri, tengkuk lehernya terasa dingin seolah seseorang meletakan es di kulitnya. Anasthasia menengok ke belakang sambil memegang tengkuk lehernya, namun tak ada sesuatu yang aneh ataupun mencurigakan disana. Anasthasia mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepala. Mungkin ia hanya sedang lelah hingga merasakan sesuatu yang tidak-tidak. “Coba cicipi ini!” seru Gothe sambil menyodorkan sosis kambing dengan saus blackpaper hitam di atasnya. Anasthasia mengigit sosis tersebut dan mengunyahnya dengan lembut, enak rasanya “Kau harus membeli sosis itu beberapa untuk dibawa pulang,” ujar Anasthasia. Gothe pun langsung membungkus banyak sosis kambing itu untuk dibawa pulang sesuai dengan permintaan keponakannya. Sudah cukup banyak yang mereka beli, Gothe dan Anasthasia pun pulang dengan lengan dipenuhi oleh kantong belanjaan. “Aku membelikanmu seragam sekolah. Kau bisa mulai bersekolah besok. Aku harap kau akan menyukai sekolah itu karena dahulu aku dan ibumu pun bersekolah disana dan kita memiliki banyak cerita yang menyenangkan,” celoteh Gothe di dalam mobil sambil mengemudikan mobil. “Ya, aku hanya berharap tidak akan bertemu lagi seseorang seperti Angelic” jawab Anasthasia. Gothe tertawa dengan renyah “Maksudmu anak Wali Kota yang menyalahgunakan kekuasaan ayahnya itu?” tanya Gothe. “Ya, tentu saja dia,” balas Anasthasia. “Tidak. Tidak. Aku jamin, kau tidak akan menemukan seseorang seperti dirinya disini,” balas Gothe. Anasthasia membantu Gothe membereskan alat bekas makan malam mereka. Gothe dan Anasthasia memang selalu melakukan pekerjaan rumah bersama untuk menguatkan hubungan yang ada di antara mereka, sesekali Gothe akan menjahili Anasthasia dengan cara berpura-pura sakit hingga Anasthasia harus melakukan pekerjaan rumah seorang diri, dan Anasthasia akan membalas menjahili pamannya dengan cara memaksa sang paman untuk meminum obat herbal yang pahitnya luar biasa. Mereka berdua akan tertawa bersama saat niat usilnya sama-sama terbongkar. Kehidupan sederhana yang membahagiakan dan membuat Anasthasia cukup bersyukur karena masih memiliki Gothe sebagai satu-satunya keluarga di dunia. Orang yang selalu memperhatikan dan menemaninya dalam situasi apapun, Anasthasia berharap bahwa dirinya akan bisa membalas kebaikan sang paman, mungkin dengan cara mencarikan pasangan untuknya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD