Kepindahan

1094 Words
Fredrick dengan badannya yang gembul membuat para anak-anak merasa takut dan berhamburan begitu saja menjauhinya. "EKHEM" Kepala sekolah berdeham dengan suaranya yang serak akibat terlalu sering mengisap asap rokok. Bola mata Fredrick membulat, ia berkacak pinggang, seolah menantang Angelic dan Anasthasia yang ribut di depannya. Angelic mendongakan kepala, ia menyunggingkan senyuman kemenangan saat melihat sosok Fredrick. Angelic mendorong Anathsia dengan keras hingga ia terjerambab ke tanah yang kering dan kotor. Angelic bersembunyi di belakang punggung Fredrick sambil menggenggam seragam Fredrick dengan erat "Aku ingin dia dihukum, Pak! Dia anak nakal yang senang membuat keributan," tuduh Angelic. Sudah pasti Fredrick akan menuruti kemauan gadis tambun itu agar posisinya di sekolah tersebut tetap aman, dan wali kota bisa memberikan sumbangan lebih tinggi pada sekolahnya untuk menutupi kenakalan puterinya. "ANSTHASIA DE VALERIA!" Panggil Kepala Sekolah Fredrick dengan suaranya yang tinggi, persis seperti orang yang sedang membentak "Ikut aku ke ruangan!" titah Fredrick dengan tegas dan penuh penekanan. Anasthasia membuntuti Kepala Sekolah Fredrick ke ruangan kantornya. Ruangan yang dipenuhi oleh lemari berisikan makanan dan minuman untuk cemilan Fredrick selama berada di sekolah. Anasthasia menundukan kepalanya, ia merasa sedih namun tidak ada penyesalan di wajahnya. Untuk apa pula ia menyesal karena telah membuat anak menyebalkan seperti Angelic itu terluka. Ia bahkan merasa sangat puas karena bisa memberikan luka pada tangan Angelic. Fredrick mengacak-acak meja kerjanya yang sebenarnya sudah berantakan semenjak tadi, ia mencari stempel sekolah berwarna merah, dan setelah pencarian yang cukup lama itu, Fredrick akhirnya menemukan stempel yang ia cari di bawah meja kerja. Ia membungkukan badan namun badannya yang tambun terlalu sulit untuk membungkuk dengan sempurna, tumpukan lemak dibagian perutnya mengganjal pergerakannya, beberapa kali Fredrick menghela napas kesal karena tak berhasil menggapai stempel yang ada di dekat kaki. Ia memerintahkan Anasthasia untuk membantunya mengambil stempel tersebut setelah ia menyerah dengan tubuhnya yang sulit diajak kerjasama "Hei kau!" panggil Fredrick dengan ragu. Anathasia melirik dan menatap Kepala Sekolah Fredrick dengan tanda tanya. "Membungkuklah dan ambilkan stempel yang ada di bawah mejaku," titah Fredrick sembari mendelikan bola matanya ke arah bawah. Anasthasia mengikuti arah tatapannya dan melihat sebuah stempel yang dimaksudkan oleh Fredrick. "Kau lihat bukan stempel itu? Ayo cepat ambilkan barang itu untukku," titah Fredrick lagi. Anathasia yang memang terlahir sebagai seorang yang penurut pun akhirnya membantu Fredrick mendapatkan stempel itu, tanpa berpikir bahwa stempel itu akan digunakan untuk pengesahan pengusiran dirinya dari sekolah. Anasthasia memberikan benda kecil berwana merah itu setelah berhasil mengambilnya dari bawah meja, dekat kaki Fredrick yang baunya sudah seperti muntahan manusia, perut Ansthasia seketika menjadi mual saat mencium bau kaki lelaki tua itu. TAP Fredrick berhasil memberikan stempel pada surat pengusiran yang sudah ia siapkan di lacinya, setidaknya ada seratus buah surat pengusiran anak dari sekolah yang akan ia gunakan tiap kali ada seseorang yang berani membangkang terhadap Angelic. Ia sudah menduga bahwa akan banyak anak yang keluar dari sekolahnya akibat ulah Angelic. Namun, tentu saja Fredrick tidak pernah mempermasalhkan soal hal tersebut, karena dirinya sama sekali tidak dirugikan tiap kali terdapat murida yang keluar dari sekolahnya, malah sekolah itu menjadi semkain berjaya dengan cap sebagai sekolah anti pembuat onar. Fredrick melipat surat dan memberikannya pada Anasthasia "Berikan surat ini pada orang tua atau walimu dan minta mereka untuk segera menyiapkan kepindahanmu," ujar Fredrick tanpa rasa bersalah atau ragu sedikitpun. ***** Anasthasia duduk di anak tangga dalam rumah sambil memandangi surat yang ia genggam. Semenjak ia menerima surat tersebut, ia sudah bukan merupakan siswa di sekolahan itu lagi, terkecuali jika walinya mengajukan protes akan keputusan yang telah dibuat oleh kepala sekolah. Wajah Anasthasia terlihat kalut saat membayangkan ekspreasi dan respon Paman Gothe terhadap surat dan kejadian pagi tadi di sekolah, apakah lelaki itu akan kecewa kepadanya karena sudah berbuat suatu kehebohan semcam itu karena tidak sanggup mengontrol emosi? "Argh!" Anasthasia mendengus kesal, ia menundukan kepalanya dengan lemas hingga dahinya bisa menyentuh lutut kaki. Anasthasia bangkit dari duduknya setelah ia mendengar derap langkah seseorang memasuki rumah. Ia menghampiri pintu rumah dan membukakan pintu itu untuk orang yang baru saja sampai di rumahnya. Nampak Gothe dengan wajahnya yang lelah sedang menunggu pintu rumah terbuka. KRIEEET Pintu pun terbuka. Raut wajah Gothe yang lelah memudar, dan digantikan senyum sumringah untuk menyembunyikan rasa lelah dari keponakannya. Gothe menyodorkan tas kertas berwarna coklat yang memunculkan aroma roti s**u bercampur coklat yang baru saja keluar dari alat pemanggangan. "Apa ini?" tanya Anasthasia penasaran "Roti kesukaanmu yang ku beli dari toko roti Paman Sam," jawab Gothe sambil mengacak-acak rambut Anasthasia. "Hm..." Anathasia berdeham, ia menyimpan bungkusan roti pemberian Gothe di meja yang ada di sampingnya. "Paman..." panggil Anasthasia "Ya? Ada apa gadis kecilku? Apakah ada hal lain yang kau inginkan selain roti isi?" jawab Gothe. Anasthasia menghampiri Gothe dan menyodorkan surat yang semenjak tadi tersembunyi di dalam saku celana. "Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu," ucap Anasthasia. Gothe memndangi surat itu dan Anasthasia secara bergantian, di wajahnya tersirat tanda tanya besar "Apa ini?" tanya Gothe "Surat pemberitahuan tentang pemberhentian sekolah," jawab Anasthasia dengan lemas. "Pemberhentian sekolah?" tanya Gothe, memastikan apakah yang didengar olehnya adalah benar atau hanya kesalahan semata. Anasthasia mengangguk dengan lemas, ia merasa bersalah atas masalah yang telah ia bawa pada pamannya. Gothe menghela napas, ia memegang pundak Anasthasia dengan lembut dan memandang mata Anasthasia dengan damai "Sepertinya kau memang harus berhenti dari sekolah itu dan kita memang sudah diharuskan pergi dari sini," ujar Tuan Gothe dengan suaranya yang terkesan serius. Mata Anasthasia melebar, ia terkejut melihat respon Gothe yang tenang, "Kau tidak marah padaku?" tanya Anasthasia. Gothe tertawa kecil sambil menepuk pundak Anasthasia beberapa kali. "Tentu saja tidak, gadis kecil. Sebenarnya aku sendiri sudah muak dengan pekerjaanku disini. Aku rasa bahwa aku membutuhkan suasana yang baru, dan tenang. Aku rasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk membawamu pindah dari kota ini," jawab Gothe. Lagi-lagi Anasthasia dibuat bingung oleh pamannya, ia merasa akan lebih baik jika pamannya itu memarahinya atau menasehatinya atas permaslahan yang ia timbulkan. Ia ingin pamannya mempertahankan keberadaan mereka di kota itu, tepatnya di rumah ibu Anasthasia yang penuh akan kenangan. "Kau tidak ingin menunjukan rasa keberatan?" tanya Anasthasia. "Tidak. Lagipula, tempat ini sangat tidak cocok untuk perkembanganmu. Kau bisa tumbuh sebagai gadis yang bar-bar jika terus berada disini," jawab Gothe dengan penuh keyakinan. Ia nampak sumringah, namun kenyataannya, surat pemberhentian sekolah dan rencana kepindahan itu bukanlah sesuatu yang ia harapkan. Ia berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dengan semua itu, karena Tuan Gothe tidak ingin keponakannya harus merasakan rasa bersalah atas permasalahan yang telah terjadi. Malam itu juga, Tuan Gothe langsung mengurus surat resign untuk tempatnya bekerja, dan menyiapkan uang denda yang lumayan banyak akibat melanggar kontrak kerja yang sudah ia tanda tangani sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD