BAB 2

722 Words
"Woi... Melamun!" Aku tersentak saat sebuah tangan menepuk pundakku. Sahabatku itu ternyata sudah menjulang tinggi di depanku. "Loh, sudah selesai? Kok cepat?" Tanyaku heran. "Cepat? Padahal aku setengah jam loh di dalam. Bahkan aku sudah khawatir membayangkan omelanmu karena terlalu lama di dalam. Eh rupanya yang dikhawatirkan malah asik melamun sambil lihat foto cowok. Aku menatap ponselku yang menampilkan sesosok pria tampan disana. Seriusan? Aku menatapnya selama hampir setengah jam? WOW! "Siapa, sih itu?" Tanya Wulan kepo. Langsung saja aku mematikan ponselku sebelum ia melihatnya lebih teliti. "Bukan siapa-siapa! Kepo kali! Ayo, katanya tadi mau ditemani belanja?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya. "Ah ya! Aku perlu baju baru untuk wawancara besok." "Wawancara?" Tanyaku heran. "Eumm... Ma'am Tasya rupanya merekomendasikanku ke majalah Elle dan mereka memanggilku untuk wawancara!!!" Wulan terlihat bahagia. Sama halnya denganku saat mendengar tuturannya. "Serius!!! Alhamdulillah! Ayo kita cari baju baru untukmu. Kali ini biar aku bayarkan. Hadiah dariku, anggap saja begitu." Wulan menahan tanganku. "Kali ini? Ya ampun, De. Ini sudah berkali-kali. Biar aku bayar sendiri. Lagipula tabunganku masih cukup." Kilahnya. "Simpan saja tabunganmu. Ayolah, aku akan membelikan baju kerja untukmu. Dari atas sampai bawah." Sahutku. Meski ia kuliah di luar negeri, di kota New York dengan biaya hidup yang besar, Wulan memiliki kondisi ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata. Ia pun mendapatkan beasiswa untuk bekerja disini. Maka tak heran kalau dia menjadi mahasiswi kesayangan di jurusan kami.  Aku kerap sekali memintanya untuk tinggal saja di apartemenku, namun ia selalu menolak. Ia merasa enggan, terlebih aku sering mentraktirnya. Jadi, kubiarkan saja ia tetap tinggal di apartemen kecil dan sederhananya itu. Aku juga tidak ingin memaksanya yang justru akan membuat ia menjadi kecil hati.  *** "Bye, Wulan!" "Bye, De!" Ia melambaikan tangannya padaku. Dia baru saja mengantarku pulang sampai ke depan gedung apartemenku. Lalu ia berjalan kaki ke apartemennya yang kebetulan sejalan dengan apartemenku. Kaki rasanya pegal sekali setelah berputar-putar di pusat perbelanjaan. Dengan omelan Wulan yang selalu terdengar di telingaku. Aku menggandrolnya dengan berbagai papperbag yang berisikan setelan baju kerja untuknya yang kelewat banyak. Namun, yang membuatku tersentuh saat aku memberikan belanjaan tadi padanya, ia terlihat menyeka sudut matanya.  Dering ponselku terdengar. Aku membuka tasku dan menjatuhkan diri ke atas sofa setelah melihat nama penelpon yang tertera. Tentu saja, Kanjeng Ratu, Mamaku. Langsung saja aku meraih ponselku dan menjawab panggilannya. "Halo, Ma." "Halo, De? Minggu depan kamu wisuda kan? Mama dan Papa sepertinya gak bisa datang, Sayang. Gak apa-apa?" "Gak apa-apa, aman tu!" "Syukurlah. Rencana mau kerja dimana kamu setelah lulus nanti?" "Hmm, ada beberapa perusahaan yang sudah aku survei dan lihat latar belakangnya. Yang pastinya perusahaan di kota ini." "Wah, bagus itu. Harus rajin belajar kamu. Biar diterima nanti." Jawab mama senang. "Iya, pasti!" "Oh iya, mama punya calon buat kamu!" Ujar mama. "Aduh maaaa... sudah berapa kali sih Dea bilang? Dea baru saja mau wisuda. Gak mau nikah dulu." Kesalku. "Apa salahnya, sih? Dia itu ganteng, loh, baik pula tiga bulan lagi mama bakal temuin kalian!  Coba saja dulu kenalan, ya?" Katanya dengan nada memelas. "Hhh... iya, deh. Kalau aku gak mau, jangan paksa. Deal, Ma?" "Hhhhh... deal! Kamu ini! Ya sudah mama pergi dulu. Mama sayang kamu." "Iya aku juga." TUT. Entah apa yang mama pikirkan? Demi Tuhan! Aku masih muda! Ya kali disuruh nikah? Emang aku ini Siti Nurbaya versi modern? No way. Aku sudah bilang ke seribu kalinya ke mama. Aku-Menolak-Yang-Namanya-'Perjodohan'! Aku berhak memilih hidupku. Tapi setiap kali aku mengatakan itu pada Mama, ia selalu mencapku sebagai 'anak durhaka'! Pasrah. Aku sayang Mamaku. Aku sayang Papaku. Aku sayang Adik-Kakakku. Well, lagipula aku tidak memiliki kandidat 'calon suami',sih. Tapi aku masih mau menikmati hidupku dulu! *** Perayaan wisuda telah berlalu. Aku mulai memasukkan lamaran kerjaku dimana-mana. Sebenarnya, papa sempat menawariku bantuannya. Dengan relasi yang banyak, tentu saja papa bisa lnagsung memasukkan ke salah satu perusahaan disini. Namun, aku menolak dengan ikhlas. Aku ingin berusaha dengan kemampuanku. Aku ingin membukgtikan kepada orang-orang bahkan pada diriku sendiri kalau aku tidak hanya bisa mengandalkan nama keluarga saja. Tapi, aku juga berkualitas. Suara bel terdengar dari di depan. Aku beranjak dari kasurku dan berlari kecil ke pintu. "Ms. Carpenter?" Sapa tukang pengantar surat di depan apartemenku. "Yes, sir?" "Here are some letters for you, Ms. (Ini ada beberapa surat untuk anda)." Jawabnya dan memberikanku surat itu. "Thanks!" Aku menutup pintuku dan duduk di sofa. Kupandangi lima surat yang ada digenggamanku. Surat keputusan lamaranku. Deg..deg...deg.. Kubuka satu persatu surat itu dan semuanya, menerima lamaranku! Astaga! Terima kasih, Tuhan. Tinggal aku yang memutuskan dan aku memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan yang besar. Anderson's Grup. Perusahaan yang menerimaku meletakkan posisiku sebagai sekretaris pertama Direktur Utama. O My God. Kudengar gaji untuk sekretaris pertama lumayan besar! Di surat, aku di perbolehkan bekerja mulai besok dan aku harus datang sebelum Direktur Utama datang.  Buru-buru aku pergi ke butik untuk membeli beberapa helai baju kantor untuk kupakai besok. 'Everything will be alright' batinku. ===== Siapa ya, kira-kira yang mau dijodohkan dengan Dea???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD