BERTEMU SI JAHAT

1091 Words
POV NURMALA. Dua minggu sudah berlalu, kini keadaanku mulai membaik. Aku tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus aku lakukan. Meratap tidak akan mengembalikan kesucianku, meski hati ini masih terasa hancur, tapi masih banyak yang harus aku lakukan daripada harus meratapi nasibku. Aku mengganti semua nomor kontak hp-ku agar Mas Firman tak lagi bisa menghubungiku. Sudah satu minggu aku bekerja di sebuah restoran besar sebagai waiters. Kini, aku sedang menyajikan hidangan di atas meja untuk tamu elit. Aku kembali memasuki dapur. Pak Pram melambaikan tangan padaku. Aku mengangguk lalu menghampiri pak Pram yang berdiri di sisi Bu Laras, manajer restoran ini. Sedangkan Pak Pram adalah koki andalan di restoran ini. "Nurmala, tolong kamu hidangkan makanan ini di ruang VIP." Bu Laras menunjuk troli yang berisi makanan. "Ingat, jangan sampai melakukan kesalahan sekecil apapun, karena mereka adalah tamu kehormatan dan salah satunya adalah pemilik restoran ini," perintah Bu Laras dengan tegas. "Baik, Bu." Aku mengangguk paham walaupun gugup, karena aku tak pernah tahu siapa pemilik restoran ini sebelumnya! Yang aku tahu, pemilik restoran ini memiliki banyak usaha dan salah satunya adalah restoran ini. Aku mendorong troli makanan menuju ruang VIP untuk tamu khusus. Di depan pintu ruang VIP, aku menghela napas. Entah kenapa aku merasa gugup! Setelah cukup tenang, aku membuka pintu. Dengan kepala menunduk, aku melangkah sembari mendorong troli makanan dan menggiringnya menuju meja yang di kelilingi oleh 5 pria yang mengenakan balutan blazer. 5 pria itu berbincang-bincang dengan bahasa inggris. Mereka fokus membicarakan masalah bisnis, hingga tak peduli dengan kehadiranku. Aku berdiri di samping meja, mulai menyajikan satu-persatu makanan di atas meja tanpa mau melihat wajah tamu yang sedang kulayani. Aku menoleh ke arah samping. Aku dan Alfian sama-sama terkejut saat kedua mata kami saling beradu. Mataku mulai mengembun, tanganku gemetaran seperti tak memiliki tenaga. Jantungku berdegup kencang saat melihat pria yang duduk di sampingku. Dia adalah pria yang sudah merusak hidupku. Aku mundur beberapa langkah dengan tubuh gemetaran, aku tak menyangka akan bertemu dengan pria kejam ini lagi. Bayang-bayang itu kembali mencuat dan membuat dadaku terasa sesak. Sebelum aku meneteskan air mata di sini, aku berlari keluar dari ruang VIP menuju toilet. Di dalam toilet, aku menangis sejadi-jadinya. Aku menutup mulut agar isak tangisku tak terdengar. Aku sudah berusaha melupakan kejadian itu, tapi kenangan pahit itu masih terus mengusikku. Dadaku terasa sesak, ini terlalu menyakitkan. "Kenapa aku harus ketemu dia lagi?" aku kembali terisak, menangis tergugu. "Aku nggak mau ketemu dia lagi." Setelah cukup lama menangis untuk meluapkan emosiku, aku menghapus air mataku lalu keluar dari toilet. Aku melihat punggung Alfian, ia baru saja keluar dari toilet pria. Aku menahan langkah teman kerjaku yang lebih senior saat baru keluar dari toilet. "Maaf, mau tanya! Kamu tahu siapa Alfian?" "Tuan Alfian yang baru saja keluar dari toilet ini maksudmu?" pemuda di depanku menunjuk toilet pria. "Iya." Aku mengangguk. "Oh, dia pemilik restoran ini. Cuma tanya itu doang 'kan!" "Iya." pemuda itu pergi setelah aku mengangguk. Bahuku terkulai lemas. Kebetulan macam ini. Kenapa aku harus berputar di lingkaran yang sama. Mencari pekerjaan sangatlah sulit, tapi aku tidak mau bekerja dengan pria yang sudah merusak hidupku. *** POV ALFIAN. Setelah aku selesai rapat dengan rekan bisnisku, aku pergi mencari keberadaan Nurmala. Mataku memindai setiap tempat, tapi tak kunjung menemukan subjek yang kucari. "Maaf, bapak cari siapa?" Laras yang tiba-tiba muncul mengejutkanku. Namun aku tetap bersikap tenang. "Nurmala," jawabku singkat. "Oh, dia sudah mengundurkan diri," jawab Laras. "Kenapa?" keningku berkerut saking penasarannya. "Maaf, Pak. Tapi dia menolak memberikan alasan. Mungkin saja karena dia sakit. Tadi, saya lihat dia gemetaran dan matanya sembab, seperti habis nangis." Aku menghela nafas berat. Pikiranku bertanya-tanya, apakah Nurmala trauma karena perbuatanku? Dan sekarang aku kembali menyesal. "Maaf, Pak. Kenapa anda mencari Nurmala?" Laras menatapku dengan heran. "Tidak apa-apa." Aku pergi begitu saja tanpa memberikan jawaban. Biarlah aku tak perlu menghiraukannya, aku sudah membayar jasanya malam itu. *** POV NURMALA Satu bulan sudah berlalu setelah pertemuanku dengan Alfian. Selama 2 minggu ini aku bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian. Beruntung aku masih memiliki ijazah SMA. Aku tetap tinggal bersama dengan Ratna di kosannya. Dan biaya sewa, kami patungan untuk menekan biaya pengeluaran kami. Entah kenapa beberapa hari ini kepalaku sering pusing, tubuhku sering meriang seperti orang yang sedang masuk angin. Padahal semalam Ratna sudah mengerok punggungku. Walaupun kepala terasa berdenyut, aku tetap melayani pengunjung yang datang untuk membeli pakaian. Aku bekerja dari jam 10.00 WIB hingga jam 15.00 WIB. Aku pulang berjalan kaki. Sesampainya di kosan, aku langsung merebahkan diri di atas ranjang. Jujur saja, sampai detik ini hatiku masih terasa hampa. "Assalamualaikum." Ratna yang baru pulang mengucapkan salam. "Wa alaikumsalam." Aku menyambut kedatangan Ratna dengan sebuah senyuman. "Nih, aku bawa oleh-oleh buat kamu." Ratna memberikan satu bungkus makanan padaku. "Kenapa mesti repot-repot, Na!" protesku. "Jangan khawatir, ini gratis dari Farel. Kayaknya dia naksir kamu, deh." gadis berkaca mata tebal itu tersenyum jenaka. "Jangan ngawur kamu." "loh, beneran. Dia minta nomor hp kamu terus, tuh. Kukasih ya?" "Jangan macam-macam. Aku masih ingin sendiri, Na." rasa sakitku masih belum sembuh, tapi aku berusaha untuk tegar. Meratap tidak akan mengubah segala yang sudah terjadi. "Kok bukan aku sih, yang cantik dan di kejar banyak cowok!" ujar Ratna dengan wajah bersungut-sungut. Aku hanya mengulas senyum menanggapi candaan Ratna. Aku membuka bungkusan makanan. Tiba-tiba perutku terasa seperti di aduk-aduk, aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutku. Ratna mengejarku ke kamar mandi, membantu memijat tengkukku untuk meredakan mual yang sedang kudera. "Bau makanannya bikin aku mual, Na," ucapku dengan nafas ngos-ngosan. "Kok, bisa sih! Padahal dulu kamu doyan makanan itu." "Nggak tahu." Aku menggeleng. "Mungkin karena nggak enak badan," lanjutku, peluh sudah membasahi wajah dan leherku. Setelah menguras semua isi perut, aku kembali duduk di atas kasur lantai. Ratna menjauhkan makanan itu dariku, takut aku kembali mual. "Kamu Sakit, ya?" Ratna terlihat cemas. "Paling cuma masuk angin." "Ayo periksa ke dokter!" ajak Ratna. "Nggak usah, di kerok biasanya juga sembuh." "Takut sakitmu tambah parah kalau di biarin." "Aku cuma nggak biasa pakai AC." "Duh, gimana ya! Kamu kerjanya ber-AC. Kalau cari kerjaan lain gimana?" usul Ratna. "Sayang Na, gajinya lumayan. UMR. Lagian cari kerja tuh susah, aku cepat keterima kerja juga karena bantuan dari teman kamu." "Iya, sih! Eh, tapi kok gejala yang kamu alami kayak orang hamil, ya!" ujar Ratna dengan kening berkerut. Aku terbelalak mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Ratna. Tubuhku gemetaran ketakutan memikirkan kemungkinan yang ada, tapi aku tetap berusaha tenang. Aku melakukannya hanya satu kali, jadi tidak mungkin aku bisa hamil. Iya, aku tidak mungkin hamil. Aku mensugesti diriku sendiri agar tetap tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD